Bantuan untuk Arwah Penasaran (1)
Kopi Arabica pesananku masih ada sepertiga gelas, padahal sudah tiga jam aku duduk di sini, di sudut salah satu kafe di kota kecil ini. Jemariku tak henti memencet layar ponsel, meski indikator baterai menunjukkan sisa 37 persen.
Suara lagu bergantian mengalun, mengisi ruangan dengan beberapa set meja dan kursi. Aku tidak tahu, berapa judul lagu sudah diputar oleh operator kafe, yang jelas selera musiknya cukup lumayan, lumayan mampu membuatku menguap dan enggan bergeser dari tempat dudukku.
Sepasang perempuan dan lelaki muda duduk di sudut lain kafe. Keduanya bercanda. Sesekali si perempuan mencubit manja teman lelakinya, tanpa mereka tahu bahwa aku memerhatikan.
Di sudut lain, sejajar dengan mejaku, seorang perempuan muda bertopi biru dengan kaos merah, seolah sibuk dengan laptopnya. Padahal aku tahu, dia sesekali menatap ke arahku. Mungkin dia butuh teman bercengkrama, atau mungkin aku mirip dengan seseorang yang dikenalnya.
Aroma khas kopi kembali menyeruak, saat pelayan kafe membawa nampan berisi secangkir kopi dan segelas minuman lain, yang aku tidak tahu jenisnya. Wanginya meluncur masuk dalam rongga penciumanku, membuatku spontan menyeruput kopi di mejaku. Rasa asam bercampur pahit bercampur saat cairan berwarna cokelat gelap itu menyentuh lidahku.
Perempuan muda bertopi biru itu kembali mencuri pandang ke arahku. Tapi kali ini diiringi senyum tipis. Aku menganggapnya sebagai sapaan atau ajakan untuk berkenalan.
Aku membalas senyumnya sambil mengangkat cangkir kopiku. Bukan untuk diseruput, tetapi kubawa menuju ke arahnya. Lalu duduk tepat di sampingnya.
“Akhsan,” ucapku menyebutkan nama, sambil mengulurkan tangan, sebagai isyarat bahwa aku ingin berkenalan dengannya.
Seperti dugaanku, dia membalas uluran tanganku, dan menjabatnya. "Nila," ucapnya singkat.
Nila mematikan layar laptopnya, seolah tidak mau jika aku melihat apa yang ada di situ. Mungkin dia sedang ngobrol dengan pacarnya, atau mungkin dia sedang membuka sesuatu yang rahasia, entahlah, aku tidak mau terlalu mencampuri urusannya.
Hmmm... Ternyata Nila jauh lebih manis saat dilihat dari dekat. Pesona senyumannya tak berkurang oleh kawat gigi yang dikenakan, bahkan menjadi pemanis selain lesung pipit pada pipi kirinya.
Kacamata dengan frame berbentuk nyaris bundar, pun menambah kesan sebagai gadis lugu.
"Sendirian atau tunggu teman? Dari tadi saya perhatikan kayak sibuk dengan laptop? Ngerjain tugas kuliah atau kerjaan kantor?," cecarku dengan pertanyaan, berharap percakapan tak hanya berhenti pada perkenalan dan penyebutan nama kami masing-masing.
Aku tak ingin kehilangan momen. Setidaknya aku harus bisa mendapatkan nomor telepon atau nomor Whatsapp Nila. Aku yakin, itu bukan hal yang sulit. Ada beberapa bahan obrolan yang spontan muncul dalam benakku. Terlebih, sejak tadi aku sudah tahu, bahwa dia beberapa kali mencuri pandang padaku.
"Mmmm... Aku sendirian, nggak nungguin siapa-siapa. Ini habis ngerjain kerjaan kantor, barusan kelar," jawabnya.
"Kerja di mana Nil? eh, aku manggil kamu apa ya bagusnya? Nil atau La?," tanyaku menyambung.
"Panggil Nila aja. Aku kerja freelance, nulis artikel buat beberapa website," kata dia.
Percakapan pun semakin melebar, mulai dari membahas pekerjaan, hobi, hingga saling tukar nomor telepon. Persis seperti yang aku harapkan saat memulai obrolan.
Sekira kurang lebih satu jam kemudian, Nila pamit. Katanya masih ada yang harus diselesaikan.
"Sebenernya masih ada yang mau aku katakan, tapi sayang," ucapku tak melanjutkan kalimat.
Nila yang sudah berdiri dan akan melangkah menuju pintu keluar, berhenti. Dia menoleh. Sepertinya dia penasaran dan ingin aku melanjutkan kalimatku.
"Sayang kenapa?".
Aku tidak langsung menjawab, hanya tertawa karena merasa menang. "Nggak apa-apa, sayang. Aku baik-baik aja kok... Ha ha ha," kataku.
Nila diam seperti tidak mengerti candaanku. Tapi sejenak kemudian, dia ikut tertawa dan mendatangiku. Oh my God, dia mencubit lenganku. Lalu pergi tanpa menoleh lagi.
Video Call
Matahari sudah hampir terbenam, meski pendar jingga bercampur orange masih terlihat di sebelah barat. Aku masih di depan kafe, menyalakan mesin sepeda motorku, lalu meluncur pulang.
Seperti senja-senja sebelumnya, aku selalu menghabiskan sebatang rokok sebelum mandi, atau lebih tepatnya membersihkan badan. Kadang sambil menonton youtube atau sekedar chat dengan teman.
Langit mulai gelap saat aku masuk ke kamar mandi. Aku tidak harus menceritakan tentang bagaimana aku mandi kan? Ritualnya sama seperti kebanyakan orang.
Baru saja aku selesai berpakaian, tetiba ponselku berdering. Mungkin redaktur mau menanyakan sesuatu, atau ada hal yang harus ditambahkan pada naskahku tadi.
Dengan sedikit malas, aku melangkah menuju meja tempat ponselku kusimpan. Ternyata bukan redaktur, tapi Nila. Entah ada angin apa sampai dia meneleponku. Padahal sejak dia meninggalkan kafe tadi sore, aku sama sekali sudah tidak memikirkannya.
"Halo bang, lagi ngapain? Nila boleh minta tolong nggak?," ucapnya. Tapi suaranya terdengar seperti berasal dari tempat yang sangat jauh. Menurutku seperti dari alam lain, nadanya sangat rendah dan dingin.
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, sambungan telepon sudah terputus. "Nomor yang anda tuju tidak terdaftar, coba periksa kembali nomor tujuan anda," suara mesin penjawab menjawab panggilan teleponku, saat kucoba menghubunginya kembali.
Dalam waktu kurang dari tiga menit, sudah lima kali aku mencoba menghubunginya, tapi jawaban yang sama terdengar dari mesin penjawab telepon.
Aku tidak menyerah, dan mencoba menghubungi Nila melalui pesan aplikasi Whatsapp. Pada layar ponselku muncul tulisan "berdering", saat aku mencoba menghubunginya melalui panggilan Whatsapp.
"Halo mas, maaf tadi terputus. Aku mau minta tolong nih," ucapnya sambil diiringi tawa.
Meski suaranya masih terdengar seperti dari tempat yang sangat jauh, tapi aku sedikit lega, karena dia menjawab panggilan Whatsappku.
Sebetulnya aku agak merinding saat mendengar suaranya, yang walaupun empuk didengar, tapi seperti berada di alam lain. Ada sesuatu yang menurutku aneh.
"Nila di mana? Mau dibantuin apa? Aku video call ya," aku meminta agar Nila mau menerima panggilan video dari aku, tanpa menunggu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya.
"Aku di tempat tinggalku. Jangan video call dulu deh, Mas. Mas, bisa buat berita investigasi nggak? Tentang penemuan mayat yang dimasukkan dalam karung dan ditenggelamkan di tengah danau di utara kota," ucapnya.
Sejenak aku terdiam, mencoba mengingat beberapa kejadian. Aku segera ingat kasus penemuan mayat itu, karena saat itu aku meliput kasus tersebut.
Penemuan jenazah seorang wanita muda, yang diperkirakan berusia sekira 20 hingga 24 tahun. Jenazah ditemukan dalam kondisi membusuk, dengan kedua tangan diikat ke belakang dan kaki terlipat, seperti posisi janin di dalam kandungan.
Jenazah itu ditemukan dalam karung tanpa sehelai benang pun. Tim forensik menduga perempuan itu diperkosa sebelum dibunuh. Sadisnya lagi, dia diikat dan ditenggelamkan dalam kondisi hidup.
Saat ditemukan, diduga kuat wanita itu sudah meninggal lebih dari tiga hari. Hingga pekan lalu, belum ada satu orang pun yang melapor atau mengaku kehilangan anggota keluarga. Akhirnya jenazah dikuburkan.
Polisi belum menemukan titik terang mengenai pelaku pembunuhan itu, bahkan identitas korban pun belum diketahui, karena belum adanya laporan kehilangan anggota keluarga.
"Iya, aku ingat. Tapi aku nggak mau bikin liputan investigasi kalau Nila nggak mau video call," ucapku seolah merajuk sambil menekan tombol video call pada layar ponselku.
Mungkin dia merasa tidak enak menolak panggilan video call dari aku, atau dia merasa khawatir aku tidak mau menolongnya. Padahal jujur saja, aku merasa sangat antusias membuat liputan itu.
Nila menerima video callku, tapi sepertinya dia malu-malu menerimanya, karena tidak ada gambar Nila di sudut ponsel, hanya gambar berwarna hitam pekat, mungkin dia menutup kamera depan ponselnya menggunakan jari.
"Aku malu mas, jangan video call dulu. Aku punya data soal jenazah itu," tuturnya, tapi masih dengan suara yang terdengar seperti berasal dari alam lain.
Aku merinding bercampur senang. Spontan terbayang bahwa aku akan mendapatkan berita eksklusif, yang bahkan penegak hukum pun belum tahu.
"Oke, besok kasih datanya padaku ya. Sekalian kita lapor ke kantor polisi, supaya pelakunya cepat terrangkap," pintaku.
"Nggak bisa, Mas. Aku nggak bisa lapor ke kantor polisi," kata dia dengan suara yang tetap saja membuatku merinding.
(Bersambung)