Butiran embun di atas rerumputan belum kering, saat Laksmi keluar rumah pagi itu. Tapi, kilaunya saat tertimpa sinar matahari, belum cukup mampu menghangatkan suasana hati Laksmi yang dingin.

Bahkan, sapaan hangat mentari, yang masih sedikit malu menampakkan diri, tak bisa mencerahkan perasaan Laksmi.

Wajahnya muram. Seperti kaca jendela yang buram. Tatap matanya terlihat seram, menyimpan geram yang cukup lama terpendam.

Cicit burung-burung pagi mengiringi langkah kecil Laksmi, melintasi rerumputan basah di pematang sawah. Beberapa serangga melompat menjauh, saat kaki Laksmi menggoyangkan rumput tempat persembunyian mereka.

Laksmi ingin berlari, agar dia segera tiba di tepi sungai. Tempat yang beberapa hari terakhir selalu hadir dalam mimpi. Tapi, dia mengurungkan niatnya. Dia tak ingin para petani yang ada di sawah itu menanyainya.

Tidak jauh lagi dia akan tiba di sungai. Pematang sawah sudah cukup jauh tertinggal di belakangnya. Berganti dengan jalan setapak berbatu yang cukup curam.

Suara gesekan batang bambu yang berderit, mencumbu samar gemericik air sungai yang mengalir di antara bebatuan.

Laksmi sangat hafal lokasi di tempat itu. Sejak kecil dia sering bermain di situ. Berenang, bermain air, hingga menjaring ikan-ikan kecil dengan saringan teh milik ibunya.

Tapi, beberapa tahun terakhir, dia sama sekali tidak pernah lagi mendatangi tempat itu. Tugas-tugas kuliahnya menumpuk. Belum lagi aktivitas lain, seperti jalan-jalan ke mal atau nonton bareng Sulis, mantan kekasihnya.

Sebetulnya Laksmi sangat enggan membicarakan tentang Sulis. Mengingatnya pun Laksmi tidak mau, karena baginya Sulis adalah masa lalu. Sulis adalah kenangan yang harus dipendam.

Sejak Sulis ditemukan meninggal di salah satu gunung, setahun lalu, Sulis selalu berusaha melupakan dan membuka hati untuk lelaki lain. Butuh waktu cukup lama baginya untuk menghapus bayangan Sulis.

Tapi, saat dia mulai bisa kembali menjalani hidup tanpa Sulis, Laksmi mendengar cerita yang tidak mengenakkan. Sahabat dan keluarga Sulis menuding Laksmi sebagai penyebab kematian Sulis.

Mereka mengatakan, saat itu Sulis pergi mendaki karena dia sedang ada masalah dengan Laksmi.

Memang sehari sebelum Sulis berangkat mendaki, mereka bertengkar hebat. Tapi Laksmi tahu bahwa bukan pertengkaran itu yang menyebabkan Sulis mendaki. Rencana pendakian Sulis sudah ada sebulan sebelumnya, dan Laksmi baru tahu sehari sebelumnya.

Pertengkaran mereka justru karena Laksmi melarang Sulis untuk mendaki. Pertimbangan Laksmi melarang Sulis, karena saat itu masih musim hujan. Tapi Sulis ngotot untuk berangkat.

Tudingan dari keluarga dan sahabat Sulis itu menyakiti hatinya. Dia tahu, meski dia berupaya membela diri, mereka tidak akan percaya, karena selama ini Sulis memang tertutup, termasuk mengenai rencana pendakiannya.

Selama dua pekan, Laksmi mencoba mencari cara untuk membuktikan, bahwa saat itu mereka bertengkar justru karena Laksmi melarang Sulis.

Tapi, dia sama sekali tidak mempunyai bukti. Obrolannya dengan Sulis melalui aplikasi perpesanan instan, sudah lama terhapus.

Laksmi bahkan pernah mencoba menghubungi paranormal, untuk mencoba memanggil arwah Sulis, agar dia menjelaskan pada keluarga dan sahabatnya, bahwa tudingan mereka tidak benar.

Tapi, kata paranormal itu, arwah Sulis justru akan terganggu dan tersiksa, jika dipanggil kembali ke alam manusia. Itu pun belum tentu keluarga dan sahabatnya akan percaya.

Jawaban itu tidak memuaskan untuk Laksmi. Dia merasa amat tidak nyaman dengan tudingan keluarga Sulis. Mereka tidak tahu, betapa sayangnya Laksmi pada Sulis. Meninggalnya Sulis membuat hidupnya hancur berantakan.

Ditambah lagi tudingan itu. Membuat Laksmi sempat berpikir untuk bunuh diri, agar bisa bertemu dengan Sulis di alam lain. Untungnya, akal sehat Laksmi melarang untuk melakukan itu.

Paranormal yang didatanginya, menyarankan untuk menghadirkan Sulis dalam mimpi Laksmi. Laksmi hanya harus membawa foto dan barang milik Sulis.

Laksmi setuju. Setidaknya dia bisa berkomunikasi dengan Sulis, sekadar melepas rindu atau curhat tentang masalah-masalahnya selama ini, dan tentu saja, Laksmi berharap Sulis dapat membantunya membuktikan, bahwa kematiannya bukan gegara Laksmi.

Beberapa hari Sulis hadir dalam mimpinya. Mimpi yang sama setiap malam. Sulis menjelaskan, bahwa keluarganya tidak pernah menyukai Laksmi. Bahkan sebenarnya mereka tahu, bukan Laksmi penyebab kematiannya.

Tapi, mereka ingin meneror Laksmi, agar Laksmi merasa bersalah. Apalagi sebelum berpacaran dengan Laksmi, Sulis telah dijodohkan dengan putri dari rekan bisnis ayahnya.

"Satu-satunya yang kamu bisa lakukan adalah membunuh mereka, sebelum mereka yang membuatmu gila hingga mati," kata Sulis setiap kali hadir dalam mimpi Laksmi.

Sulis juga menunjukkan cara membunuh mereka tanpa ketahuan, yakni menggunakan santet. Yang diperlukan hanya satu baskom kecil air, boneka kayu kuno, dan nama lengkap si korban.

Boneka kayu kuno yang dimaksudkan oleh Sulis, berada di salah satu cekungan di sisi tebing sungai. Laksmi mengetahuinya dari Sulis dalam mimpi.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan boneka itu, karena sejak kecil Laksmi terbiasa mencari kepiting di tebing sungai itu. Sehingga untuk menemukan boneka kayu di dalam lubang tebing, bukan hal sulit.

Laksmi membersihkan boneka itu. Dari warna dan bentuknya, dia menduga boneka kayu itu berusia ratusan tahun.

Lalu dia melaksanakan penjelasan Sulis. Laksmi menggigit ujung jari telunjuk kanannya, agar ada darah yang keluar. Kemudian dia mengusapkannya pada jidat boneka kayu.

Asap putih tipis mengepul dari tempat yang terkena darah. Perlahan warna boneka yang tadinya hitam, berubah menjadi putih. Dimulai dari tempat yang ditetesi darah, kemudian menyebar ke seluruh bagian boneka itu.

Laksmi sedikit merinding melihatnya. Tapi keinginannya untuk terbebas dari tudingan keluarga Sulis, membuat keberaniannya kembali muncul. Dia membawa boneka itu pulang.

Saat tengah hari, Laksmi sudah menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan untuk ritual. Laksmi duduk di depan pedupaan. Mulutnya komat kamit membaca mantera, juga nama lengkap calon korbannya.

Dia kemudian menusukkan paku pada  boneka kayu itu, menghujam-hujamkam pada bagian perut, mata, kemaluan, dan beberapa tempat lain.

Beberapa kilometer dari rumah Laksmi, Dede, salah salah satu keluarga Sulis, merintih-rintih karena perutnya sakit, seperi ditusuk-tusuk.

Setelah menggeliat beberapa kali, badannya melepuh. Ternyata, Laksmi sudah memulai balas dendamnya. Dia memasukkan boneka kayu ke dalam  baskom berisi air mendidih.

bersambung...