Malam baru saja tiba. Menggantikan senja yang beranjak pergi. Senja yang berlalu bersama pendar emas mentari sore, meski masih menyisakan warna oranye di sebelah barat.

Suara azan magrib telah berkumandang beberapa waktu lalu. Yang tersisa hanya nyanyian jangkrik dan beberapa binatang malam. Sebentar lagi azan Isya akan segera mengalun, dari surau di dekat rumah maupun dari beberapa masjid lain.

Angin di penghujung senja ini bertiup lembut. Tidak terlalu dingin, tapi mampu mengurangi gerah.

Seperti hari-hari sebelumnya, setiap malam, beberapa belas menit menjelang azan Isya, Fathul, sudah siap untuk berangkat menuju surau di desanya, di sebelah barat Yogyakarta.

Bisa dikatakan, Fathul tidak pernah mengambil air wudhu di surau. Sebab, sebelum berangkat, dia sudah berwudhu di rumahnya.

Air wudhu malam itu tak jauh beda dengan sebelumnya, dingin, sejuk dan menyegarkan.

Sebelum suara azan pertama berkumandang, Fathul sudah berada di surau. Tak jarang dia yang melantunkan azan untuk memanggil jemaah surau. Bahkan seringkali dia menjadi imam di surau kecil itu.

Malam itu, Fathul tidak merasakan hal aneh dan berbeda. Seusai salat Isya, dia masih sempat ngobrol dengan beberapa jemaah, yang sebagian besar adalah warga kampungnya.

Hanya saja, malam itu Fathul meminta izin untuk pulang lebih cepat, karena beberapa waktu sebelumnya, dia sudah membuat janji dengan warga dari kampung lain, untuk mengisi acara pengajian.

"Nyuwun ngapunten (mohon maaf), Pak, kula wangsul rumiyin (saya pulang duluan). Kula janji ngisi pengaosan (Saya ada janji untuk mengisi pengajian)," Fathul berpamitan pada jemaah lain.

Hanya beberapa menit, Fathul tiba di rumahnya. Dia sudah menyiapkan buku yang akan dibawanya untuk memberikan ceramah.

Pekan sebelumnya ada seseorang yang datang, dan meminta Fathul untuk membawakan ceramah di masjid di kampung sebelah. Fathul sudah menyanggupi, meski dia belum tahu secara pasti lokasi pengajian.

Berdasarkan ancar-ancar yang diberikan oleh pria itu, Fathul mengendarai sepeda motornya. Yang dia ingat adalah, setelah jembatan di kampung tersebut, dia harus berbelok ke kiri, kemudian lurus hingga pertigaan kedua.

Jalanan menuju lokasi pengajian cukup gelap. Hanya ada beberapa lampu jalan dan lampu rumah warga, yang sinarnya remang-remang.

Angin malam mulai berembus dingin. Jaket yang dikenakan oleh Fathul seolah tidak mampu meredamnya. Ujung gamis yang dipakainya, sedikit berkibar ditiup angin.

Fathul melewati beberapa pohon besar sebelum tiba di pertigaan yang dimaksud. Beberapa warga yang ditemuinya di jalan, seolah heran menatapnya. Tapi Fathul tidak menyadari tatapan heran mereka.

Setibanya di pertigaan yang dimaksud, Fathul berbelok ke arah kanan, melewati gapura berwarna hijau tua. Dari kejauhan, dia melihat masjid yang dimaksud. Tampak beberapa jemaah berdiri di depan masjid dan menyambutnya.

"Maaf, saya agak terlambat, karena tadi agak bingung cari masjidnya. Warga yang saya temui juga bilang tidak tahu bahwa ada masjid di sini," ucap Fathul memohon maaf, sambil menjabat jemari beberapa jemaah yang menyambutnya.

Tangan para jemaah itu terasa dingin. Fathul berpikir, mungkin jemari itu dingin akibat cuaca malam ini.

Setelah Fathul meletakkan jaket serta bukunya, seorang jemaah mempersilakan Fathul untuk langsung menuju mimbar, dan memulai ceramahnya.

Seperti beberapa ceramahnya yang lain, Fathul seringkali menyisipkan candaan dalam materi ceramah, agar jemaah sedikit lebih santai dan tidak mengantuk.

Cara itu terbukti manjur. Hampir seluruh jemaah tersenyum saat Fathul berkelakar. Hanya saja, senyum dan tawa mereka seperti hambar. Wajah-wajah para jemaah terlihat pucat.

Hampir satu jam Fathul membawakan ceramah. Udara pun semakin terasa dingin. Fathul seperti berada di ruang terbuka, bukan di dalam masjid. Tapi dia berpikir bahwa itu akibat cuaca yang memang sedang dingin.

Setelah selesai membawakan ceramah dan berbasa-basi dengan beberapa jemaah, Fathul berpamitan.

"Maturnuwun nggih (terimakasih ya), Ustadz Fathul. Kami sangat tercerahkan dengan isi ceramah tadi," ucap pria yang mengundangnya.

Saat menemui Fathul pada pekan lalu, pria itu memang meminta agar Fathul membawakan materi ceramah tentang jin. Sebab, pria itu berharap agar warga atau jemaah yang datang, mengetahui tentang posisi jin dan manusia.

Saat beranjak pulang, Fathul sempat memperhatikan jam yang tergantung di dinding masjid, yakni pukul 21.43. Fathul memperkirakan, dia akan tiba di rumah sekitar pukul 22.30.

Akibat sedikit terburu-buru, Fathul tak menyadari, bahwa bukunya tertinggal di masjid. Dia mengetahui hal itu setelah tiba di rumah. Tapi Fathul merasa enggan untuk kembali mengambilnya.

Dia berencana mengambil buku itu keesokan harinya, mungkin pagi hari sebelum dia berangkat bekerja.

Seusai salat Subuh di surau, pada keesokan harinya, Fathul menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan jemaah lain.

Entah bagaimana awalnya, Fathul menceritakan tentang pengajian itu. Seorang jemaah yang dulunya tinggal di kampung sebelah, merasa penasaran mendengar cerita Fathul.

Dia mengaku sangat hafal lokasi-lokasi di kampung itu, dan sepengetahuannya, tidak ada masjid di lokasi yang diceritakan.

"Setahu saya, masjid di sana cuma satu. Itu pun lokasinya bukan di pertigaan kedua, tapi pertigaan pertama," jelasnya seperti tak percaya.

Menurutnya, lokasi yang didatangi oleh Fathul adalah pemakaman desa, yang menurut cerita beberapa orang, memang menjadi perkampungan jin. Bahkan, saat magrib tiba, tak seorang pun warga setempat yang berani melewati lokasi itu.

Fathul hanya tertawa mendengar penjelasan itu. Dia tidak percaya. Terlebih, pria itu, Lukman, mengaku tidak yakin jika lokasi itu yang didatangi oleh Fathul.

"Mungkin saya salah. Tapi kalau benar ancar-ancarnya, berarti itu kuburan, pemakaman desa," lanjutnya.

Para jemaah kemudian pulang, termasuk Fathul. Dia harus sudah berada di tempat kerjanya sebelum pukul 08.00.

Sebelum berangkat kerja, Fathul kembali mengendarai sepeda motornya menuju masjid semalam. Dia ingat betul jalanan yang dilaluinya.

Tepat di pertigaan yang kedua, Fathul menoleh ke kanan, tempat tadi malam dia memberi ceramah.

Gapura yang dilihatnya tadi malam, masih ada. Hanya saja, di situ tertulis 'Pemakaman Desa'. Tidak ada satu pun masjid terlihat di situ.

Fathul melanjutkan niatnya. Dia mengendarai sepeda motornya memasuki kompleks pemakaman. Dia sangat yakin, tadi malam dia berada di situ.

Tidak ada bangunan lain, selain cungkup dan puluhan nisan yang berjejer di situ. Jantung Fathul berdegup kencang. Tapi dia masih penasaran, karena bukunya tertinggal di mimbar masjid.

Dia memandang ke sekeliling komplesk pemakaman, dan melihat buku bersampul cokelat miliknya berada di tembok pembatas makam.