Hantu-Hantu di Menara Saidah (1)
Awan-awan putih berarak, melayang seperti kapas raksasa yang bermanja pada langit biru. Bayu pun seperti berkolaborasi dengan mereka, mengembus sepoi-sepoi, membuat iringan awan berlenggak-lenggok genit menggoda.
Matahari seolah tak rela, jika tak menggoda kesejukan yang tercipta oleh mereka. Awan-awan itu seperti mencoba melawan terik yang sejak ratusan tahun lalu, dipancarkan oleh mentari.
Angin bukan hanya meniup awan-awan, tapi juga debu-debu di sekitar tempat itu, tidak jauh dari Menara Saidah, di Kelurahan Cikoko, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.
Menara itu berdiri kokoh, congkak, seperti menantang langit. Warna temboknya yang mulai memudar, seperti hendak menyampaikan, bahwa usia bangunan itu sudah belasan tahun.
Saat siang hari seperti saat ini, menara yang sudah belasan tahun tak berpenghuni itu, tidak menyeramkan. Berbeda saat senja sudah menyapa, dan mentari perlahan sembunyi.
Beberapa orang mengaku pernah mengalami kejadian mistis. Tapi, aku tidak begitu saja percaya. Aku mencoba membuktikannya sendiri. Seperti malam ini.
Sejak sore aku menunggu tak jauh dari menara itu. Mataku mengawasi orang-orang yang beraktivitas di sekitar gedung itu. Termasuk dua petugas keamanan menara.
Saat sinar matahari tak lagi terlihat, dan lampu jalan mulai dinyalakan, gedung itu tetap gelap. Hanya hitam yang terlihat di dalam menara 28 lantai tersebut. Pantulan cahaya lampu dan bulan dari kaca jendela yang pecah di menara itu, menambah kesan seram.
Aku berjalan mendekati gerbang menara itu. Petugas keamanan gedung terlihat masih ngobrol dengan rekannya. Aku yakin, mereka tidak akan membiarkan aku masuk.
Hampir setengah jam aku menunggu dan mengawasi mereka, dan mencoba mencari cara agar aku bisa masuk tanpa ketahuan.
Jika kondisinya terus begini, sepertinya aku tidak akan bisa masuk ke gedung itu. Aku harus bisa mengalihkan perhatian para petugas keamanan.
Tiba-tiba aku mendapat ide. Kuambil ponsel dari kantong celanaku. Kemudian aku membuka aplikasi ojek online, dan keluar atau logout dari akunku. Lalu, aku membuat akun baru, dan kembali login dengan nomor ponsel yang baru kubeli beberapa hari lalu.
Tidak satu pun orang yang mengetahui nomor baruku. Itu berarti, saat dicari menggunakan aplikasi pelacak nomor telepon, seperti Truecaller atau Getcontact, orang tidak akan bisa menemukan pemiliknya.
Aku memesan seporsi makanan melalui aplikasi itu, dan membayarnya dengan pembayaran online disediakan oleh aplikasi itu. Tentu saja setelah aku melakukan pengisian atau top up.
Aku memilih titik pengantaran di depan pos jaga menara, dengan harapan, perhatian petugas keamanan gedung itu dapat teralihkan.
Beberapa belas menit kemudian, pengemudi ojek online tiba. Dia membawa makanan pesananku. Seorang petugas keamanan mendatanginya. Keduanya pun bercakap.
Tapi, aku tidak mempunyai waktu untuk menyelinap masuk. Karena, tidak sampai dua menit, pengemudi ojek online itu bergegas pergi dengan terburu-buru. Mungkin dia mengira pemesan makanan itu adalah hantu.
Aku mencoba mengelilingi pagar menara yang terbuat dari seng, hingga ke bagian belakang, yang berbatasan langsung dengan perkampungan warga.
Sepertinya dari sini, peluangku untuk masuk, lebih besar. Karena penjaga di sini terlihat lebih santai. Mereka merokok sambil meminum kopi. Aku berencana menunggu hingga mereka lelah.
Azan Isya baru saja selesai berkumandang, saat aku duduk-duduk di warung, yang terletak tidak jauh dari pintu belakang menara itu. Tapi, sepertinya aku harus menunggu lebih lama. Kedua penjaga tidak beranjak dari tempatnya.
Tiba-tiba salah satu dari mereka berdiri dan melangkah keluar. Aku berpura-pura tidak memperhatikan. Sepertinya dia mencari makan malam.
Peluangku untuk bisa masuk, menjadi lebih besar. Setidaknya, tinggal satu penjaga yang harus dialihkan perhatiannya.
Tapi dugaanku salah. Penjaga yang satu juga beranjak dari tempat duduknya. Nampaknya dia berjalan ke toilet.
Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan langkah lebar dan cepat, aku memasuki halaman belakang gedung. Lalu, sedikit berlari, aku menuju area parkir di bawah gedung.
Rumput-rumput liar yang cukup tinggi, sedikit menghalangi langkahku. Untungnya aku mengenakan sepatu, sehingga rumput-rumput itu tidak terlalu mengganggu.
Suasana di bawah gedung sangat gelap. Beberapa kali aku harus membersihkan sarang laba-laba yang menempel pada wajahku.
Beberapa ekor nyamuk mulai menghisap darahku, mulai dari lengan hingga ke wajah dan leher. Tapi aku hanya mengibaskan tanganku, agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan bagi petugas keamanan gedung.
Aku kembali berjalan perlahan, mencari pintu yang bisa membawaku masuk ke dalam gedung. Tapi itu butuh waktu cukup lama, meski aku sadar, waktu yang kubutuhkan tidak lebih lama dari usahaku melupakan mantan.
Mungkin saat ini sudah pukul sembilan malam, bahkan bisa jadi lebih. Tapi itu hanya perkiraanku, karena aku tidak berani menyalakan ponselku. Aku takut cahayanya terlihat oleh para penjaga.
Aku kembali meraba-raba, mencari jalan untuk memasuki gedung. Dan, sepertinya aku beruntung. Aku menemukan pintu yang langsung terhubung dengan tangga darurat.
Meski sedikit berat, pintu itu berhasil aku buka, tanpa suara berderit. Hal yang menurutku cukup aneh, mengingat gedung ini tidak pernah lagi dimasuki oleh orang-orang luar. Tapi aku mengabaikan perasaanku.
Setelah berada di dalam, aku kembali menutup pintu besi itu. Aku sengaja tidak menutupnya rapat-rapat, agar aku mudah membukanya kembali. Tapi pintu itu seperti terdorong kuat, dan berbunyi 'klik'.
Aku mencoba untuk membukanya kembali. Namun pintu itu terkunci. Entah siapa yang menguncinya dan bagaimana. Aku yakin sekali, tadi tidak ada anak kunci yang terselip di lubangnya, baik di dalam maupun di luar ruangan.
Bersambung