Tidak beberapa lama setelah menghubungi Bajo melalui sms, lelaki dengan badan proporsi hampir sempurna, tidak pendek dan tidak tinggi itu menghampiri saya. Dari jauh, Bajo menyunggingkan senyum yang membuat banyak teman perempuan kami saat SD naksir dengannya.

Bajo tidak berubah, saya ingat betul kejadian saat kita masih SD. Kami pernah beberapa kali bolos bersama karena ingin menonton pameran pembangunan di kota. Tidak tanggung-tanggung, kami menempuh perjalanan hampir 8 kilo untuk sampai di lokasi. Saat itu, hanya Bajo yang memiliki sepeda, saya tidak.

Kebiasaan kami adalah bergantian mengemudi, setiap Bajo mengaku lelah, saya menggantinya. Saat saya lelah, Bajo menggantikan saya dan begitu seterusnya.

Sampai suatu waktu, saat kami pulang dari pameran saya dikejutkan oleh Bajo. Ia berteriak histeris sambil meneriakkan kata “poppo”, “poppo”, “poppo” sampai berulang kali.

Persitiwa itu terjadi saat kami melewati jalan yang dikeramatkan orang. Jalan itu dikelilingi oleh tanah kosong, hutan, bukit, dan beberapa kuburan mengelilingi bukit itu.

Sejak saat itu, saya mengetahui kalau Bajo diberi kelebihan oleh Tuhan. Mata Bajo bisa melihat sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh mata biasa.

Karena tanjakan saya susah mengayuh sepeda waktu itu, sementara di belakang saya, Bajo sudah berteriak histeris tanpa henti, seperti orang kesurupan.

Keringat bercucuran di leher sampai ke bawah, saya tak tahan lagi dengan rasa takut dan teriakan yang seolah menyumbat telinga. Mungkin lelah melihat saya kewalahan mengayuh sepeda, Bajo lalu turun dan berlari dengan kecepatan 10 kali lipat dari kecepatan sepeda sambil berteriak histeris,”poppo”, “poppo”, “poppo.”

Di tengah kegelapan Bajo berlari, saya serasa ingin melompat juga. Parahnya, bayangan hantu di belakang menguasai pikiran dan membentuk alam bawah sadar saya. Sesosok hantu perempuan berbaju putih seperti ada di atas kepala. Sedang bergelantungan.

Semua peristiwa itu terekam jelas dalam ingatan saya sampai hari ini.

Bajo terlahir sungsang. Katanya orang yang terlahir sungsang saat lahir tidak menangis. Ia akan menangis saat ari-arinya digantung. Orang-orang seperti ini juga tidak memiliki banyak teman, karena ia selalu merasa ada sosok yang menemaninya. Bajo salah satunya.

Akan tetapi, Bajo berbeda. Setelah berpuluh-puluh tahun bekerja sebagai petugas keamanan di Puskesmas Saraweang, Pangkep, Bajo mempelajari banyak hal. Ia bisa mengatur kesaktiannya itu dengan tenang. Kelebihannya yang bisa melihat makhluk lain digunakan untuk menyelamatkan orang lain.

Saat menjadi petugas keamanan di puskesmas, Bajo mengaku sudah berpuluh-puluh kali melihat parakang. Meskipun parakang tidak tergolong hantu, melainkan manusia jadi-jadian tapi Bajo mengaku tetap bisa merasakannya.

“Saya tahu jika ada parakang, apalagi kalau ada pasien bersalin pasti akan ramai. Itu juga salah satu tanda-tanda akan kehadiran parakang karena mereka ingin memakan bayi merah.”

Setelah menceritakan kronologi dari masalah saya, Bajo dengan cepat mengerti. Ia memperingatkan agar berhati-hati mengambil keputusan. Menurutnya, parakang juga manusia bahkan ada parakang yang sebenarnya bukan parakang.

“Kita tidak tahu, barangkali isterimu itu parakang karena diturunkan oleh orang tuanya. Mau tidak mau. Roh seseorang yang memiliki ilmu parakang tidak bisa berpindah dari jasadnya jika ilmu itu tidak pindah kepada anggota keluarganya. Ada beberapa kasus, yang anaknya terpaksa menerima ilmu parakang karena kasihan melihat orang tuanya tersiksa saat sakaratul maut dan tidak bisa meninggal,” tandas Bajo.

“Kau harus memastikan itu dulu, Mapta,” sambungnya.

Saya merasa semakin khawatir. Saya takut menghadapi kenyataan yang lebih mengenaskan di depan, meski kenyataan sekarangpun tak kalah pahit. Cinta saya kepada Aru tak hilang sedikitpun, entah kenapa. Tapi juga berat menerima kenyataan ini.

Jika benar, Aru terpaksa menerima ilmu itu dari orangtuanya tapi mengapa ia tidak menceritakannya terlebih dahulu kepada saya. Apalagi saat ini, ia sedang mengandung.

“Lalu, apa nasihatmu sekarang Bajo? Apa yang harus kita lakukan pertama untuk menemukan Aru,” kata saya sambil menahan air mata.
“Yang pertama kembalilah ke yang asali, ke tempat muasal mu. Aru orang mana?”
“Kami bertetangga kampung,” ungkap saya.
“Sekarang pergilah ke tempatnya, ke rumahnya, di situ pasti kau akan mendapatkan petunjuk,” ucap bajo sambil menyeruput kopi hitamnya sampai sempurna.
“Lalu?”
“Kau pergilah dulu, Mapta.”
“Sendiri?” tanya saya.

Bersambung...