Istri Saya Seorang Parakang VI

Pertemuan saya dengan Bajo membuat saya berpikir lebih panjang namun di saat yang sama, saya tiba-tiba dihampiri keraguan dan khawatir apa yang akan saya dapatkan di rumah Aru membuat semua masalah lebih rumit. Hal yang paling berat adalah ketika mengingat bayi dalam kandungan Aru. Bagaimana anak itu tumbuh kelak?

Setelah berdialog dengan diri sendiri, saya memutuskan untuk tidak pergi setidaknya sampai saya bisa menenangkan diri terlebih dahulu. Bajo juga berpesan agar sebaiknya tidak berangkat ke rumah asal Aru jika masih ada sedikit ragu dan tidak siap. Memang sebaik-baik waktu adalah ketika kita telah melihat diri kita sampai terlebih dahulu di tempat itu. Jika belum, sebaiknya tidak berangkat.

Dalam filosofi Bugis, seperti yang selalu diajarkan oleh nenek saya, sebelum berangkat ke manapun, lihatlah dirimu telah tiba terlebih dahulu. Tiba Sebelum Berangkat . Kata Nenek jika kau pergi berperang, sebelum berangkat kau sudah melihat dirimu pulang dengan kemenangan.

Satu bulan setelah pertemuan dengan Bajo, saya mulai memberanikan diri bercerita kepada Ibu. Hal itu bukan tanpa permenungan dan doa panjang di sujud terakhir, meski pada akhirnya Ibu mengatakan segala keputusan akan selalu diserahkan kepada saya.

“Bu, saya sudah putuskan akan memperjuangkan mencari isteri dan calon anak saya. Bahkan hingga nyawa yang menjadi taruhannya”. Saya mengucapkannya dengan sorotan mata hampir tak ada keraguan di dalamnya.

Ibu seperti biasa selalu mengiyakan dan mengantar kepergian saya dengan doa dan shalat malam panjang yang tak pernah alpa. Ibu juga bilang akan setiap hari berpuasa agar kita sama-sama diberi kekuatan. Saya mencium tangan Ibu dan berangkat dengan keyakinan akan menemukan Aru.

Kabar kepergian Aru dari rumah belum tersebar di kampung, meski demikian beberapa kerabat telah menanyakannya. Sebisa mungkin saya menjawab pertanyaan mereka. Memang harus pergi dulu agar dapat merindu. Begitu candaan yang sering saya lontarkan untuk mencairkan suasana yang sebenarnya sangat mencekam ini.

. . .

Hampir tak ada yang berubah dari rumah Aru semenjak beberapa bulan lalu kami memutuskan untuk pindah selain debu yang semakin menebal dan kotoran tikus di lantai kayu. Tempat yang pertama kali saya datangi adalah kamar. Saya percaya, kamar adalah ruang paling privat bagi setiap orang. Di dalam kamar, segala hal bisa dilakukan dan dirasakan. Segala kesedihan, kegembiraan, kekecewaan, dan rasa-rasa lain pernah kita kumpulkan di ruang kamar. Meski seperti itu, saya tak mendapatkan petunjuk apapun. Lemari, laci, kasur telah digeledah dan tak ada apa-apa di sana selain aroma bacin, yang barangkali kamar ini telah dihuni oleh kucing.

Saya mengingat-ingat kembali perkataan Bajo. Selain kamar, tempat apalagi yang menjadi tempat sakral bagi seseorang. Ruang paling depan. Dalam budaya Bugis kita kenal dengan nama lego-lego. Namun ruang yang paling awal lagi adalah tangga. Ia ada apa dengan tangga? Mungkin di sana saya bisa menemukan setidaknya secuil petunjuk.

Saya keluar dari kamar dan menuruni tangga paling bawah. Saya mencoba mengais tanah di bawah tangga dengan kaki telanjang. Terang saja, saya menemukan sebuah kertas putih di sana. Tulisannya jelas hanya saja berbahasa Bugis kuno. Saya tak mampu mengartikannya samasekali.

Bajo mengatakan jika kertas itu hanyalah sebuah mantra yang biasa digunakan oleh parakang sebelum ke luar rumah untuk memangsa. Akan tetapi menurut Bajo, itu bisa jadi petunjuk juga. Barangkali ini dapat ditafsirkan kalau isterimu sekarang sedang keluar untuk menjalankan ritual parakang dan ia meminta tolong untuk diselamatkan karena bayi dalam kandungannya. Hanya saja, kita perlu mencari tahu di mana sekarang keberadaannya.

“Kemungkinan besar, isterimu sedang dalam bahaya dan ia mengirim pesan untuk ditolong.” Ungkap Bajo dengan tenang dan tatapan lurus.

Bersambung...