Cermis.id - Bulan purnama pada malam ini benar-benar bulat dan mentereng. Disinarinya sebuah kampung yang sunyi dengan cahaya hangat. Tampaklah rumah-rumah berdinding sesek (anyaman bambu) tanpa satu pun orang di latarnya.

Satu keluarga berkumpul di ruang tamu sambil berebahan di atas selembar klasa. Di dinding sesek, ada damar teplok yang menyala redup. Tapi, purnama malam ini seolah menyinari kegelisahan orang-orang kampung tanpa terkecuali. Tadi pagi, kentongan berbunyi tiga kali dengan ritme lambat.

Sembilan bunyi kentongan yang berjeda setiap bunyi ketiga, adalah pengabar sebuah kematian. Sebelumnya, Kliwon, anak Pakde Damar yang mati kecemplung sungai tak begitu menggelisahkan.

Mbok Surti yang mati di atas dipan (ranjang) berbeda sama sekali. Kematiannya menebar kegelisahan yang serius. Tak satu pun orang berani meronda. Mereka memilih berumah bersama masing-masing keluarga.

Dinding sesek seolah membuka celah diri untuk dimasuki angin malam dan tanah setiap rumah tampaknya makin dingin pula. Jadilah, keberanian benar-benar membeku.

Mugi-mugi mboten wonten malih ingkang sedo, Gusti (Semoga saja tidak ada yang meninggal lagi ya Tuhan)” Mbok Inem membatin sambil mengelus-elus kepala anaknya, Sri, yang sembari tadi tertidur pulas.

Sementara Pak Tono, suami Mbok Inem, tampak duduk sambil ngudud. Lambat-lambat, Mbok Inem tertidur dan Pak Tono berdiri meniup api damar teplok sampai benar-benar mati. Gelap.


Sebelum Mbok Surti, Bejo dan Anam juga mati di atas ranjang. Dan selalu demikian. Setiap ada yang mati tanpa sebab di atas ranjang, diisukan korban Lampor.

Kisah tentang Lampor sebenarnya tak asing, ia seperti penyakit yang sudah dipahami ciri-cirinya. Jika pada malam hari, ada orang mati di pinggiran sungai dengan luka bakar, ia korban Banaspati; jika ada yang jatuh ke sungai dan baru ketemu setelah tiga hari, ia korban Kalap; jika ada anak kecil hilang malam hari dan ketemu di atas pohon dengan tetap hidup, ia korban Genderuwo.

Dan seperti Mbok Surti, barang siapa mati di atas dipan tanpa penyakit, Lampor-lah terduga pelakunya. Lampor adalah jin hasil dari praktik ilmu hitam seorang manusia. Ilmu hitam yang sedang dilakoni menyaratkan tumbal manusia.

Dan entah siapa yang melakoni ilmu kuno terlarang itu, sehingga Lampor muncul kembali. Jin ini berperawakan layaknya manusia biasa, hanya saja ia tak memiliki dua kaki.

Bawahannya nampak segitiga lancip seperti ujung ekor ular piton yang kaku. Sebab itulah, Lampor tidak bisa merunduk. Ia diiringi empat kerdil yang pembawa keranda. Satu tangan seluruh kerdil tidak pernah lepas dari pikulan keranda dan tangan lainnya memukul keranda perlahan.

Kadang bunyi sentuhan kayu yang dipukulkan kerdil pada keranda, didengar samar-samar banyak orang. Kadang pula hanya satu orang saja dalam sebuah perkumpulan yang mendengarnya.

“Tokk… Tokk… Tokk… Tokk”

Para kerdil bergantian memukul keranda tanpa pernah berhenti bersahutan. Umumnya, jika ada bayi menangis di larut malam, maka ia diyakini sedang mendengar ketokan rombongan kerdil itu.

Lampor membunuh korbannya dengan cara mengafaninya. Dibungkusnya kaki korbannyadengan melingkar-lingkarkan kain kaci seperti perban. Proses ini agak lama, karena Lampor mesti mengemas tubuh manusia dengan rapat, agar nyawanya benar-benar bisa terbungkus lalu dipindahkan ke dalam keranda.

Beruntunglah korban yang mampu melek sebelum sekujur tubuhnya terbungkus kain kafan. Ia dipastikan selamat, sebab setiap kali korbannya membuka mata, Lampor pergi meninggalkannya begitu saja. Menjauh lalu hilang dari pandangan. Sedangkan kain kafan yang terlanjur membungkus sebagian tubuh, hilang bagaikan embus angin yang dingin.

Mbah Karjo konon pernah menjadi korban selamat di masa mudanya. Malam itu, ia tiduran di atas kursi bambu. Tanpa sadar, ia tertidur. Ia merasa tubuhnya dingin. Mulai dari ujung kaki, merembet ke atas sampai dada dan terus merembet naik.

Saat dingin menjalar ke lehernya, ia berhasil melek. Dilihatnya seseorang pergi diikuti empat kerdil yang memikul sambil memukul keranda. Menjauh dan semakin menjauh. Ia sudah berusaha berteriak, tapi suaranya seolah habis. Sampai rombongan jin itu tak lagi tampak di matanya.

Lalu tubuhnya mendadak dingin seperti tersapu angin dan kain yang terlihat membungkus sebagian besar tubuhnya, sirna. Paginya, ia dimandikan dengan air comboran sebagai penolak bala dan pembersih pengaruh jin yang menyentuh tubuhnya.

Adat mandi air comboran ini berlaku untuk korban jin lainnya seperti anak yang diculik Genderuwo. Semenjak kejadian itu, Mbah Karjo selalu tidur di
bawah beralas klasa. Tentu saja, ia trauma.


Malam Jumat Kliwon, penduduk setempat digegerkan adanya pemuda yang tidur di gardu (pos ronda) sendirian. Seorang lelaki bernama Parno, yang rumahnya tak jauh dari gardu, sudah menawari pemuda itu untuk bermalam di rumahnya saja.

Tawaranya ditolak dengan alasan ia sudah terbiasa tidur di gardu sebuah kampung yang dilintasinya. Parno sudah mencoba menjelaskan tentang wabah Lampor di kampung tersebut. Bahkan dibantu Wage, tetap saja pemuda yang mengaku bernama Kholil itu memilih tidur di gardu.

Malam mencekam dan sunyi. Parno masih belum mampu tidur dan menggelisahkan nasib Kholil yang baginya tak tahu menahu soal Lampor. Parno kebetulan sedang tinggal sendirian. Ibunya telah meninggal beberapa tahun silam. Bapaknya belum pulang dari ibadah ngilen yakni haji atau bepergian ke arah kilen (Jawa halus: Barat).

Sedangkan Kholil, yang tidur berselimut sarung, tampaknya tak kedinginan sama sekali. Rembulan malam itu semakin meninabobokkan yang lelap. Semakin lelap. Lampor, tuan dari empat kerdil penandu keranda, menemukan tumbal yang kesekian untuk menyempurnakan ilmunya.

Ia masih butuh empat nyawa manusia lagi setelah kematian Mbok Surti. Jin kafir itu berhenti di hadapan Kholil. Ia pikir, Kholil akan mati malam itu. Lampor merapalkan mantra sambil memegang kedua kaki Kholil.

Tak dinyana, Kholil lekas menendangnya sambil melemparkan berlembar-lembar daun kelor ke wajah Lampor. Seketika Lampor menjerit dan kabur. Sedang
salah satu tangan kerdil, berhasil dipegang Kholil. Ketiga kerdil lainnya tak bisa
kabur, sebab tiap-tiap satu tangannya tak bisa melepas pikulan.

Jeritan Lampor setelah dilempar daun kelor didengar Parno. Ia kemudian bergegas ke gardu sambil membawa damar teplok. Ia sungguh terkejut menyaksikan empat kerdil yang lumpuh setelah dipecuti Kholil dengan sebatang bambu kuning kecil. Malam itu, para kerdil takluk. Malam itu, malam celaka bagi mereka. Tuannya dapat lawan tangguh.

Keempatnya menangis sejadi-jadinya. Parno memukul kentongan di gardu tanpa beraturan yang membuat penduduk setempat berdatangan. Beberapa terlihat belum begitu sadar dari tidurnya, bertanya ada apa sambil mengucek-ucek mata. Setelah dikejutkan bunyi kentongan yang tak beraturan, mereka kini dikejutkan empat kerdil yang lumpuh sambil menangis di bawah tindihan keranda.

Kholil mengucapkan salam, lalu menjelaskan bahwa ia sebenarnya seorang santri yang ditugasi kiainya berjalan ke Barat dengan pesan: Nanti berdiamlah di perkampungan yang mana di pinggiran sungainya terdapat prink pethuk (bambu temu).

Ia kemudian mengajak penduduk membantunya mengunci kampung dari wabah Lampor untuk selamanya. Penduduk pun menurut apa saja yang diperintahkan Kholil, walau ia tampak lebih muda dari kebanyakan mereka.

Malam itu, seluruh penduduk dikumpulkan. Lalu bersama-sama keliling kampung sambil mengumandangkan takbir. Keempat kerdil sudah dilepaskan dari pikulan keranda. Masing-masing darinya, dimasukkan ke keranjang yang terbuat dari bambu. Diangkat oleh lelaki secara bergantian.

Di tiap pojok kampung yang bentukanya persegi panjang, satu kerdil dikubur
hidup-hidup. Saat penguburan, Kholil merapalkan ayat-ayat dengan keras dan cepat. Orang-orang hanya menyahutinya dengan aamiin. Sedangkan keranda kerdil, dibakar di tengah kampung. Abunya dilarungkan ke sungai dengan ucapan basmalah.


Sejak malam itu, kampung yang kemudian dikenal dengan nama Jiken, tak pernah mendapati wabah Lampor lagi.

Catatan:

Intisari kisah ditulis dari tutur tinular seseorang di kampung. Dan sampai saat ini, budaya keliling kampung di malam suro masih dijalankan. Pernah suatu waktu ditiadakan karena minimnya peminat. Anehnya, sekampung mendengar suara ledakan yang dahsyat.

Hanya di rumah kiai, suara ledakan itu tak terdengar. Orang-orang ketakutan, lalu meminta maaf ke ndalem kiai. Seketika, diadakan Suroan seperti biasa; berkeliling kampung. Makam Mbah Kholil pun bisa diziarahi dan dikeramatkan bersama makam Mbah Ja’far Sodiq di kampung yang berkecamatan Tulangan itu.

Ditulis oleh Mas'ud, Anggota perkumpulan sinau Detak Aksara

Editor: Almaliki