Aroma anyir itu semakin menusuk hidung, tapi Anas tidak memedulikan aroma itu. Dia terus melangkah menembus gelapnya malam. Di kanan dan kirinya, pohon-pohon besar menutupi cahaya rembulan.

Sesaat kemudian, aroma anyir itu seperti berpadu dengan wangi kemenyan. Sebenarnya Anas merasa mual dengan perpaduan aroma itu. Tapi, dia harus melanjutkan perjalanannya, menuju kampung di ujung hutan ini.

Suara binatang malam dan desir angin menemani langkahnya. Derit batang bambu yang saling bergesek tertiup angjn, membuat bulu kuduknya merinding. Ditambah lagi dengan bau tanah basah akibat hujan tadi sore, membuatnya sedikit bergidik.

Namun semua hal itu, tidak menyurutkan langkahnya, untuk tetap berjalan menuju kampung di depan sana. Dia harus bertemu dengan orangtua kandungnya.

Sejak kecil Anas tinggal bersama pasangan Pak Dalimin dan istrinya. Hingga usianya menginjak 25 tahun, dia tidak tahu bahwa Pak Dalimin dan istrinya bukan orangtua kandungnya.

Pekan lalu, sebelum Pak Dalimin meninggal, dia menyampaikan pada Anas, tentang rahasia yang selama ini ditutupi.

Kata Pak Dalimin, dia sengaja tidak memberitahu Anas, karena waktunya belum tepat. Apalagi dia pernah berjanji pada orangtua kandung Anas, untuk menjaga Anas hingga akhir hayatnya. Dia hanya akan memberi tahu yang sebenarnya, setelah dia tak mampu merawat Anas.

Menurut Pak Dalimin, Anas sengaja dititipkan padanya, karena di kampung asalnya, di kaki salah satu gunung paling angker, nyawa Anas terancam. Karena ada hal gaib yang menjadi musuh ayah kandung Anas, Pak Basuki.

Pak Basuki merupakan salah satu tokoh masyarakat di kampungnya. Dia kerap membantu orang yang kesusahan, bukan hanya materi, dengan kemampuan supranaturalnya, dia juga kerap membantu warganya yang terkena guna-guna atau gangguan roh halus.

Sebagai kampung yang cukup terpencil dan dekat dengan gunung angker, guna-guna dan gangguan roh halus sangat lazim di sana.

Kebaikan Pak Basuki tersebut, menjadi ancaman bagi seorang dukun jahat di sana. Beberapa kali Pak Basuki mementahkan guna-guna yang dikirimkan pada warga.

Hingga, suatu hari Pak Basuki bertempur hebat dengan dukun itu. Mereka beradu ilmu. Saat itu Pak Basuki hampir saja kalah dan kehilangan nyawa, karena si dukun meminta bantuan dari jin kafir yang merupakan pengawal kerajaan jin di gunung itu.

Untung saja, sesosok jin kuat lainnya, yang bernama Ki Blendo, membantunya. Dulunya Ki Blendo adalah pengawal kepercayaan dan tangan kanan raja jin.

Hanya saja, entah bagaimana kejadiannya, Ki Blendo yang tadinya merupakan jin kafir, bertaubat. Tapi, meski bertaubat, sesuai kodratnya sebagai jin, dia tetap saja memiliki sisi jahat dan meminta imbalan saat membantu Pak Basuki.

"Sebaik-baiknya jin adalah seburuk-buruknya manusia. Makanya, jangan pernah percaya apa yang dikatakan oleh jin. Termasuk jin yang merasuki manusia. Jangan percaya yang dikatakan," ucap Pak Dalimin pada Anas saat mengisahkan asal-usulnya.

Pak Basuki menang dalam pertarungan itu. Dukun jahat tersebut tewas di dalam gubuknya, dan ditemukan oleh warga sekira sebulan sesudahnya, karena memang gubuk dukun itu jauh masuk ke dalam hutan.

Tapi, kemenangan itu  bukan tanpa syarat. Pak Basuki yang waktu itu masih lajang, menyetujui permintaan Ki Blendo. Dia berjanji, nantinya setelah dia menikah dan dikaruniai anak laki-laki, maka anak itu harus dikorbankan untuk menjadi 'penunggu' kampung.

Kala itu dia tidak berpikir panjang. Yang ada dalam pikirannya, hanya bagaimana bisa membantu warga dan dirinya tidak kalah oleh dukun jahat tersebut.

Hanya setahun berselang, Basuki pun menikah. Basuki dikaruniai anak perempuan setahun setelahnya. Tapi, saat istrinya akan melahirkan, Basuki membawanya ke rumah keluarganya di kota, karena dia khawatir istrinya akan melahirkan anak laki-laki.

Setelah istrinya melahirkan anak perempuan, Basuki membawanya kembali ke kampung.

Demikian pula saat istrinya hamil anak kedua. Basuki kembali membawanya ke kota, sebagai langkah antisipasi jika anaknya berjenis kelamin laki-laki.

Yang dikhawatirkan pun terjadi. Istrinya melahirkan anak laki-laki. Sehingga keduanya sepakat untuk menitipkan anak laki-lakinya itu, yakni Anas, pada kenalan baik mereka di kota. Agar Anas tidak 'diambil' oleh Ki Blendo untuk dijadikan 'penunggu' kampung.

Sebenarnya Ki Blendo tahu bahwa Pak Basuki memiliki anak laki-laki, tapi dia tidak tinggal di kampung itu. Untuk menjadi 'penunggu' kampung, anak itu harus meninggal di kampung tersebut.

Tiba-tiba Anas melihat cahaya di kejauhan, seperti seseorang yang berjalan sambil membawa obor. Api dari obor itu meliuk-liuk, bagaikan menari mengikuti nada genit angin malam.

Saat sosok itu semakin dekat, Anas dapat melihat bahwa pembawa obor itu adalah seorang nenek. Tubuhnya bungkuk, dengan rambut putih diurai menutup sebagian wajahnya. Jalannya tertatih dengan kaki telanjang.

Nenek itu mengenakan kebaya berwarna hitam, dan membawa tongkat berukir di tangan kirinya.

"Nek, numpang tanya. Apakah kampung  Winingit masih jauh?," Anas bertanya pada nenek itu.

Nenek itu berhenti, tapi dia hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Anas. Hingga Anas mengulang pertanyaannya dengan suara yang lebih lantang, karena dia mengira nenek itu tidak mendengar pertanyaannya.

Perlahan, nenek itu mendongakkan wajahnya yang tertunduk, lalu menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

Tapi sebelum Anas sempat melihat  wajah nenek itu dengan jelas, tiba-tiba suara burung hantu dari atas pohon, mengagetkannya. Anas menoleh ke arah suara itu, dan melihat seekor burung hantu menatap dirinya dengan mata besarnya.

Anas kembali menoleh pada nenek bungkuk tadi. Sontak dia berteriak karena kaget. Wajah nenek berkebaya hitam itu sangat menakutkan.

Mata nenek tersebut seperti mau copot. Bahkan mata kirinya sudah keluar. Hanya menggantung pada semacam urat. Darah yang hampir kering masih ada di lobang matanya.

Sementara, bibir nenek itu robek hingga nyaris sampai di telinga kanan. Darahnya masih menetes ke tanah basah.

Spontan Anas berlari sekencang mungkin, menjauhi nenek-nenek aneh tersebut. Saat berada cukup jauh dari tempatnya bertemu dengan nenek itu, Anas menoleh ke belakang. Dia ingin memastikan bahwa nenek itu tidak mengejar atau mengikutinya.

Tapi saat dia menoleh, nenek itu tidak ada di belakang. Hanya gelap yang dilihatnya. Cahaya obor milik nenek itu, lenyap. Padahal jalanan itu lurus, tidak ada belokan, kecuali jika nenek tersebut berbelok masuk ke dalam hutan.

Meski bulan sedikit tertutupi rindang dedaunan, tapi Anas yakin, dia pasti bisa melihat jika ada orang di jalan tersebut. Tapi, nenek itu hilang.

Nafas Anas tersengal-sengal. Dia beberapa kali terbatuk akibat lari tadi. Dia menyesal karena tadi siang sempat nongkrong di warung dekat terminal. Seandainya tadi dia langsung berangkat, mungkin dia masih mendapati mobil angkutan menuju kampung Winingit.

Mobil itu hanya beroperasi hingga sekira pukul 17.00. Jika di atas pukul 17.00, atau menjelang Magrib, pengemudi mobil itu tidak berani masuk hingga ke Kampung Winingit.

Bersambung