Cermis.id - Dulu sewaktu kecil, para orang tua biasanya membiarkan anaknya bermain di luar rumah. Namun ada satu pesannya, kalau aku harus pulang sebelum Magrib.

Barangkali itu adalah pesan bahwa sebagai anak yang belum juga masuk remaja, harus ingat pulang. Harus ingat waktu, lebih tepatnya. Aku hidup dalam pesan-pesan orang tua dulu dan aku percaya omongannya.

Selain mengingatkan pulang, pesan itu juga menguatkan diri agar mendengar orang tua. Tidak membantahnya. Lagi-lagi, cerita rakyat ini, membuat kita tunduk dan patuh pada pesan orang tua yang sekaligus sudah sewajibnya kita hormati.

Magrib memang menjadi jam-jam yang menakutkan sewaktu aku kecil dulu di Makassar. Guru-guru agama saya, bahkan menyebut kalau sudah masuk waktu Magrib, maka hal-hal yang kurang baik dilepas.

Apa itu? Tak lain adalah sihir dan ilmu hitam berkeliaran. Orangtuaku, dalam satu kesempatan, takut jika aku terkena sihir yang dialamatkan dengan salah. Di Makassar, do pelbagai sukunya,  hal itu sungguh dipercaya.

Selain itu, ada juga cerita soal Nenek Pakande. Inilah sosok yang sering disampaikan orangtuaku sewaktu masih kecil. Jika Nenek Pakande itu adalah sosok mengerikan, yang bisa membawaku kabur alias menculikku jika terlambat pulang.

Sebenarnya, apa Nenek Pakande itu? Di masyarakat Bugis, Nenek Pakande adalah seorang yang dianggap sebagai nenek siluman yang sering menjadi momok bagi masyarakat.

Nenek siluman itu kanibal yang sakti mandraguna. Ia sangat suka makan daging manusia, terutama daging anak-anak. Itulah sebabnya, masyarakat setempat memanggilnya Nenek Pakande.

Dalam bahasa Bugis, kata pakande berasal dari kata pakkanre-kanre tau yang berarti suka makan daging manusia. Bayangkan saja bagaimana mengerikannya nenek-nenek itu. Sewaktu kecil aku suka mengimajinasikan sosok Nenek Pakande.

Pernah sekali, aku berpikir, kalau Nenek Pakande adalah seorang yang jelang Magrib, suka duduk di pinggir parit. Rambutnya putih kusam dan bau minyak kelapa. Ia suka menyisirnya sembari memelototi anak-anak yang pulang jelang Magrib. Di mulutnya penuh darah. Ia suka tersenyum pada anak-anak.

Dulu, sewaktu masih SD, seorang adik temanku, hilang di dekat rumahnya. Kami-kami yang masih kecil itu bercerita, kalau adik kawanku itu diculik Nenek Pakande, karena sehabis Magrib, ia keluar bermain-main dengan temannya.

Orang-orang di sekitar rumahnya lantas panik. Ia memanggil orang-orang yang bisa menyelesaikan masalah gaib tersebut. Pada akhirnya, selang beberapa jam ia hilang, ia ditemukan duduk termenung di bawah pohon pisang.

Pohon pisang itu berada di depan rumahnya sendiri. Pohon pisang itu bukan satu, melainkan ada puluhan yang tumbuh subur. Kami, biasanya mengambil pisangnya jika pohonnya sudah berbuah. Juga daunnya. Tidak ada yang melarang kami, jika hanya sesisisir yang diambil.

Suasana depan rumah kawanku itu menakutkan jika malam hari. Apalagi masuk waktu pergantian sore ke malam, sementara lampu-lampu jalan di sekitar puluhan pohon pisang itu belum dinyalakan. Saya kurang bisa membayangkannya lagi.

Setelah ahli spiritual itu berdoa, akhirnya adik temanku ditemukan. Ia duduk dengan lesu. Ia pakai baju bergaris hitam dan putih. Rambutnya masihlah keriting. Secara tampilan tidak ada yang berubah, kecuali ia kurang mau bercakap setelah kejadian itu.

Lalu, kakaknya bercerita pada kami, kalau sewaktu dibawa ke tempat yang aneh, ia ditemani seorang nenek. Tidak jelas sosoknya seperti apa, yang penting rambutnya putih kusam. Ia menawarinya makan. Untung saja, adik temanku itu enggan memakannya.

Kakaknya bilang itu adalah Nenek Pakande. Setelah itu, kami semua bersepakat kalau kami tidak boleh keluar malam lagi. Lebih baik, pergi berbelanja atau bermain, setelah Magrib atau Isya selesai. Jalanan sudah ramai jika begitu.

Hingga sekarang, tampaknya mitos itu masih terawat di ingatan orang-orang Makassar, di Sulawesi Selatan. Entah, jika cerita itu masih diceritakan hingga sekarang kepada anak-anak kecil lagi. Hari ini, Nenek Pakande itu masih mejadi misteri. Masih menjadi buah bibir.