Susah Meninggal Gegara Ilmu Kanuragan
Mata nenek melotot, gerahamnya gemeretak. Jemari keriput nenek yang terkepal juga ikut bergetar. Sekujur tubuhnya bergetar menahan sakit. Tapi tak seorang pun di tempat itu, mengetahui bagian tubuh nenek yang sakit.
Abah dan beberapa tetangga, sudah beberapa hari terakhir membacakan Surah Yasin. Mereka berdoa agar nenek disembuhkan, baik itu sembuh dalam artian sebenarnya, maupun sembuh dalam artian nyawanya dicabut.
Tapi, kondisi nenek tidak berubah. Dia tetap merasa kesakitan tanpa bisa menyebutkan bagian tubuhnya yang sakit. Sesekali nenek bahkan menangis meraung-raung.
Menurut penjelasan Kakek Bandi, seorang tokoh masyarakat di kampung ini, dulunya nenek merupakan kembang desa. Nenek juga merupakan perempuan yang disegani, karena selain cantik, dia diyakini mempunyai ilmu kanuragan yang cukup tinggi.
Waktu aku masih kecil, memang beberapa kali nenek pernah pergi dari rumah selama beberapa hari. Kata kakek, nenek pergi bertapa di kaki Gunung Merapi.
Meski kakek tahu bahwa nenek sering bertapa dan menuntut ilmu kanuragan, kakek tidak pernah melarangnya. Apalagi kakek tahu bahwa ilmu yang dimiliki nenek seringkali digunakan untuk membantu warga desa.
Kata kakek, pernah ada seorang warga desa yang kesurupan. Sudah beberapa 'orang pintar' yang dimintai tolong untuk mengobati, tapi hasilnya nihil.
Keluarga dari warga yang kesurupan itu kemudian meminta tolong pada nenek untuk mengobatinya. Tidak cukup setengah jam, setelah nenek meminumkan air putih pada orang yang kesurupan tersebut, orang itu langsung sadar.
Nenek juga pernah mengobati seorang wanita yang terkena guna-guna. Wanita itu diguna-gunai oleh pemuda yang pernah melamarnya tapi ditolak. Pemuda itu lalu meminta bantuan dukun, untuk membuat perempuan idamannya sakit keras.
Saat itu, kepala wanita itu menjadi lembek seperti lembeknya kue lapis. Seluruh tubuhnya pun lemas, sehingga dia tidak bisa berdiri, bahkan untuk duduk sekali pun.
Sebenarnya keluarga si perempuan sudah mencurigai bahwa pemuda itu yang mengirimkan guna-guna. Tapi, mereka tidak bisa membuktikannya. Dukun-dukun yang dipanggil untuk mengobati pun tidak bisa menjelaskan siapa pengirim guna-guna itu.
Nenek hanya butuh waktu kurang dari setengah hari untuk mengobati wanita itu. Nenek tidak menanyakan pada jin dalam raga wanita itu, tentang orang yang menyuruhnya. Nenek hanya memerintahkan pada jin tersebut, untuk kembali pada penyuruhnya.
Beberapa hari kemudian, tersebar kabar bahwa pemuda yang pernah ditolak oleh keluarga wanita itu, mengalami penyakit yang sama dengan yang diderita perempuan itu sebelumnya.
Saat keluarga pemuda itu meminta pertolongan pada nenek, nenek hanya menyuruh agar pemuda itu meminta maaf pada orang yang diguna-gunai olehnya.
Keluarga pemuda itu kemudian mendatangi wanita yang menolak pemuda itu, untuk meminta maaf. Sore harinya, setelah mereka meminta maaf, pemuda itu pun sembuh.
Itu sebagian kisah masa lalu nenek, yang sering menuntut ilmu kanuragan untuk membantu orang lain.
Kakek Bandi menduga, sakit yang dirasakan oleh nenek ada hubungannya dengan kebiasaan nenek semasa muda. Atau ada hubungannya dengan ilmu kanuragan yang dimiliki nenek selama ini.
Hanya saja Kakek Bandi tidak tahu apa yang harus diperbuat. Dia hanya menjelaskan bahwa beberapa puluh tahun sebelumnya, juga ada warga yang mengalami hal seperti ini.
"Waktu itu Nenek Darmi inilah yang menolongnya. Nenek Darmi mengeluarkan ilmu yang dimiliki orang itu. Setelah ilmunya ditarik, orang itu langsung meninggal," jelasnya di hadapan warga.
Kakek pun tidak mengetahui bagaimana caranya membantu nenek, karena kakek sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan.
Aku merasa sangat kasihan melihat nenek tersiksa di penghujung usianya. Tapi aku juga tidak tahu apa yang bisa kuperbuat. Aku cuma bisa ikut mendoakan sambil sesekali menggenggam jemarinya, mencoba memberinya kekuatan.
Angin malam bertiup cukup dingin. Sebagian warga yang tadi datang untuk membacakan Surah Yasin dan mendoakan nenek, sudah pulang.
Tinggal aku, Kakek Bandi, kakek, dan bapak yang ada di sini. Kami berembuk dan mencoba mencari cara untuk membantu nenek.
Kakek Bandi menyarankan agar kami mencoba menghubungi paranormal. Dia merekomendasikan paranormal yang tinggal di kecamatan sebelah. Menurutnya paranormal itu cukup hebat dan terkenal.
Bapak dan kakek serentak menoleh ke arahku. Sepertinya beliau berdua meminta persetujuanku, karena selama ini aku adalah orang yang cukup keras menentang nenek dan ilmunya. Aku adalah orang yang tidak mau berurusan dengan paranormal dan hal gaib.
Aku mengangguk tanda setuju. Kemudian aku meminta pada mereka semua, agar menunggu hingga pagi tiba, meski sebetulnya kami sudah sangat tidak tega melihat kondisi nenek.
Setelah disepakati bahwa paranormal itu akan dipanggil pada keesokan paginya, Kakek Bandi pun berpamitan dan pulang. Tinggal kami bertiga duduk di samping tempat tidur nenek.
Aku mendengarnya mengerang tidak jelas. Sebagian tubuhnya kembali bergetar hebat. Tapi aku tidak berhenti membacakan Surah Yasin untuk nenek. Hingga akhirnya aku merasa lelah, dan tertidur di samping tempat tidur nenek.
Keesokan paginya, seusai salat Subuh, aku dan bapak sudah siap berangkat menuju rumah paranormal yang dimaksud Kakek Bandi.
Kami sama-sama mengenakan jaket tebal. Suasana pagi ini benar-benar dingin. Minyak kelapa yang ada di dapur pun sampai membeku dibuatnya.
Sepanjang perjalanan, aku mendengarkan bapak bersenandung lirih di belakangku. Lagunya tidak begitu jelas, tapi sebagian syairnya mengandung bacaan salawat. Aku tidak tahu, apakah itu kebiasaan bapak jika dia diboncengkan.
Matahari sudah cukup tinggi saat kami tiba di daerah itu. Tapi dedaunan di daerah itu masih basah akibat embun pagi.
Benar kata Kakek Bandi, paranormal itu cukup terkenal di daerah tersebut. Itu kami buktikan saat menanyakan alamat Ki Sabdo, paranormal itu, pada warga yang kami temui.
Rumah Ki Sabdo cukup besar, warnanya hijau muda. Halamannya dihiasai dengan patung kerbau berwarna hitam, dengan seorang bocah penggembala duduk di atasnya.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu rumah, Ki Sabdo pun muncul. Ki Sabdo mengenakan sarung kotak-kotak dengan surjan (baju adat Jawa Tengah) yang tidak terkancing. Di dalamnya, ada kaus oblong berwarna putih.
Bapak menjelaskan tujuannya menemui Ki Sabdo, dan memintanya agar berkenan datang untuk mengobati nenek.
"Saya mohon bantuannya, Ki Sabdo. Kasihan ibu saya, sudah sepekan lebih kondisinya begitu," ucap bapak.
Ki Sabdo menyanggupi untuk datang ke rumah. Rencananya siang ini, sebelum zuhur, dia sudah ada di rumah. Kami pun berpamitan, dan akan menunggu Ki Sabdo di rumah.
Seperti yang dijanjikan, Ki Sabdo tiba di rumah sebelum zuhur. Saat melihat kondisi nenek, dia terlihat sangat paham apa yang harus dilakukan.
Ki Sabdo mengeluarkan beberapa uba rampe atau perlengkapannya, termasuk satu pedupaan kecil bersama kemenyan dan dupa batang. Lalu dia membakarnya di bawah tempat tidur nenek.
Dia merapalkan mantera, kemudian meletakkan telapak tangannya di atas kepala nenek. Wajah Ki Sabdo tampak tegang. Perlahan keringat dingin muncul pada dahinya. Tangannya bergetar, seolah sedang baku tarik sesuatu dengan orang lain. Lalu, dia menghentikan tarikannya, dan duduk bersila dengan nafas terengah.
Dia mengulang hal itu hingga beberapa kali. Tapi lagi-lagi dia terduduk seperti kehabisan tenaga.
Ki Sabdo mengeluarkan sebilah keris dari dalam tasnya. Lalu memegangnya sambil komat-kamit di samping kepala nenek. Keris itu bergetar, kemudian tercium bau yang sangat wangi, yang entah datang dari mana.
Dia mendekatkan keris itu ke kepala nenek dan kembali melakukan gerakan menarik. Keris itu bergoyang ke kiri dan ke kanan, sementara tangan Ki Sabdo seperti mengikuti gerakan keris tersebut.
Tiba-tiba Ki Sabdo terpental bersama keris itu. Kali ini keringatnya benar-benar bercucuran.
"Nenek ini punya semacam susuk di tubuhnya, tapi saya tidak tahu di bagian mana. Jin penjaga susuk itu sangat kuat. Saya tidak mampu mengeluarkannya," kata Ki Sabdo menyerah.
Ki Sabdo enggan melanjutkan usahanya, karena menurut dia, itu akan sia-sia. Kata dia, tidak banyak orang yang memiliki ilmu kanuragan seperti yang dimiliki nenek. Kemudian dia meminta maaf sebelum pulang.
Aku bersama bapak dan kakek tidak menahannya pulang, karena kami yakin bahwa usaha Ki Sabdo akan sia-sia.
Tiba-tiba aku teringat pada mantan guruku, Pak Umar. Pak Umar kerap dimintai tolong untuk merukyah orang yang mengalami gangguan jin.
Pak Umar tinggal tidak jauh dari desaku. Sejak pensiun, dia fokus untuk merukyah dan berdakwah. Dia melakukannya secara ikhlas, tanpa meminta bayaran sepeser pun pada warga yang ditolongnya.
Aku segera meneleponnya dan meminta kesediaannya untuk mengobati nenek. Pak Umar menyanggupi permintaanku. Tapi dia baru bisa datang setelah Ashar, karena sepeda motornya dipakai oleh istrinya.
Aku tidak kehilangan akal, dan bergegas menuju rumahnya untuk menjemput Pak Umar.
Setengah jam kemudian, aku sudah kembali berada di rumah bersama Pak Umar.
"Iya, benar yang tadi kamu sampaikan. Nenek ini dalam gangguan jin, karena dia menggunakan susuk di dalam tubuhnya," kata Pak Umar.
Pak Umar meminta izin untuk mengambil air wudhu. Setelah berwudhu, dia kembali ke kamar nenek, lalu membacakan ayat-ayat rukyah.
Nenek tampak tidak senang mendengar suara Pak Umar melantunkan ayat-ayat itu. Matanya menatap liar pada Pak Umar. Tatapan itu seperti bukan tatapan nenek.
Lalu nenek berteriak melengking sambil meronta-ronta. Kepalanya dibentur-benturkan pada tempat tidur, sambil digeleng-gelengkan cepat.
Tak lama sesudahnya, nenek terdiam, dan muntah. Dia memuntahkan sebatang ranting kecil dari mulutnya, hampir bersamaan dengan keluarnya sebatang emas berukuran kecil dari mulut nenek, serta seekor ular kecil berwarna hitam.
Beberapa menit setelah barang-barang itu dimuntahkan oleh nenek, nafasnya tiba-tiba seperti orang mendengkur. Lalu nenek terdiam tanpa sempat mengucapkan apapun. Nenek pun meninggal setelahnya.