"Malam ini kamu istirahat di sini saja. Bapak lihat kamu sudah lelah. Ada kamar kosong di dalam. Dulu kamar itu ditempati oleh anak bapak, tapi sekarang dia kerja di kota," pria itu melanjutkan.

Cerita awal: Mengingkari Janji pada Ki Blendo Jin Penunggu Kampung (1)

Tidak lama kemudian, istri dari pria itu keluar sambil membawa secangkir kopi, dan sepiring pisang goreng yang masih hangat. Dia mempersilakan Anas untuk menikmati suguhannya.

Anas dan pria itu akhirnya terlibat dalam obrolan, mulai dari jalanan menuju desa yang belum ada penerangan, hingga beberapa kisah mistis yang ada di kampung itu.

Pria tua itu mengaku sebagai sahabat ayahnya, Pak Basuki. Keduanya, kata dia, beberapa kali membantu warga yang kena guna-guna maupun gangguan makhluk halus.

Anas pun menceritakan apa yang pernah dikisahkan oleh Pak Dalimin, orangtua angkatnya, tentang perjanjian antara bapak kandungnya, Pak Basuki dengan jin penunggu kampung, Ki Blendo.

Pria paruh baya itu mendengarkan dengan saksama. Dia tidak mengomentari atau memotong cerita Anas. Sesekali dahinya mengernyit, tanda bahwa dia mendengarkan dengan serius.

Setelah Anas menceritakan itu semua, pria tersebut mulai menanggapi. Dia membenarkan apa yang disampaikan oleh Anas. Tapi menurutnya, Ki Blendo tidak berhak dan tidak boleh mengambil nyawa Anas, karena yang membuat perjanjian adalah Pak Basuki.

Dia menjelaskan, dalam dunia ilmu gaib, sering ada perjanjian semacam itu, bahwa seorang ayah boleh mengorbankan anaknya. Padahal, jika si anak tidak mau, maka jin yang telah dijanji tersebut, tidak bisa mengambil nyawa anak itu.

"Setahu saya, bapak kamu tahu aturan itu. Biasanya kalau ada perjanjian begitu, orang yang berjanjilah yang akan menjadi tumbalnya. Tapi kalau orang itu tidak paham aturannya, barulah jin yang dijanjikan, bisa mengambil nyawa anaknya," dia menjelaskan.

Malam semakin larut, kantuk mulai mendera Anas. Matanya terasa berat dan dia beberapa kali menguap. Tapi Anas enggan memotong cerita yang dikisahkan pria paruh baya itu. Dia mendengarkan sambil menahan kantuk.

Suara kentongan terdengar di kejauhan. Kata pria itu, kentongan itu hanya penanda bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 23.00.

Sebenarnya Anas masih ingin menanyakan beberapa hal pada pria itu, tapi pria itu tampaknya kasihan melihat Anas yang mengantuk. Dia mempersilakan Anas untuk masuk ke kamar dan beristirahat.

Anas menuruti sarannya. Dia menuju kamar dan menyimpan ranselnya, kemudian ke kamar mandi, untuk membersihkan diri akibat ompolnya tadi. Anas baru sadar bahwa celananya yang tadi basah akibat ompol, sudah mengering.

Mungkin pria paruh baya tadi mencium aroma pesing, tapi dia sungkan menegur Anas.

"Kuntilanak sialan," gerutu Anas dalam hati, saat dia membersihkan diri dan mengganti celananya di toilet.

Sepuluh menit kemudian, Anas sudah berbaring di dipan kayu dengan kasur kapuk, di dalam kamarnya. Meski kamar itu terlihat jarang ditempati, tapi semua barang di dalam kamar itu tertata rapi.

Di atas meja kayu di sudut kamar, ada beberapa buku yang disusun berjejer. Juga satu pigura foto bergambar seorang gadis yang cukup manis. Anas merasa pernah mengenal gadis itu, tapi dia lupa di mana. Di samping pigura, terdapat satu lampu belajar berwarna hijau.

Lampu kamar tergantung di tengah-tengah, dengan bola lampu 10 watt. Cahayanya cukup untuk menyinari seluruh sudut ruangan, meski agak temaram.

Rasa letih dan sedikit pegal pada kakinya, membuat Anas menjadi lebih cepat mengantuk. Hanya beberapa menit setelahnya, dia mulai setengah sadar. Tapi dia kembali terjaga saat mendengar kidung 'Lingsir Wengi'.

Bulu kuduknya kembali merinding. Dia mulai waswas. Terlebih, aroma wangi pun tercium di dalam kamar, seiring suara aneh yang didengarnya saat menuju kampung ini.

Anas mengambil selimut, dan menyelimuti seluruh tubuhnya. Dia mencoba memejamkan mata. Namun bayangan hantu perempuan berwajah manis tadi, kembali hadir. Dia mulai ingat bahwa wajah itu adalah wajah yang ada dalam pigura foto.

Suara kidung 'Lingsir Wengi' perlahan menghilang, aroma wangi dan suara-suara aneh itu pun lenyap. Anas mencoba menutup matanya, hingga akhirnya Anas tertidur dengan nyenyak.

Keesokan paginya, Anas terbangun. Sinar hangat matahari pagi menerpa wajahnya. Kokok ayam jantan, menyapa liang indra pendengarannya. Tapi, Anas masih enggan membuka matanya.

Dalam keadaan setengah mengantuk, Anas mencoba meraih guling. Tangan Anas meraba-raba ke samping tubuhnya. Tapi, dia tidak menemukan guling yang dicarinya, yang dipeluknya saat tidur tadi malam.

Jemarinya hanya menyentuh sesuatu yang dingin dan basah, seperti bebatuan yang terkena embun pagi. Anas terkejut saat membuka matanya. Dia tak lagi ada di dalam kamar, melainkan di atas batu nisan.

Dia berdiri dan memandang ke sekelilingnya. Puluhan batu nisan berjejer rapi. Sepertinya itu adalah pemakaman umum.

Anas bergegas mengambil barang-barangnya, dan keluar meninggalkan area pemakaman tersebut.

Rupanya, makam itu terletak tidak jauh dari pertigaan yang dilaluinya tadi malam. Seharusnya tadi malam dia tidak lurus, tetapi berbelok ke kanan, ke jalanan gelap yang dilihatnya.

Anas melanjutkan perjalanannya menuju kampung kelahiran orangtuanya. Dia berpapasan dengan beberapa warga kampung yang hendak ke sawah.

Tidak jauh dari situ, tiga anak berseragam SMA terlihat berdiri di tepi jalan. Sepertinya mereka baru akan berangkat menuju sekolah. Anas melihat ke arloji di tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 06.13.

"Dik, kalau ke rumahnya Pak Basuki lewat mana?," tanyanya pada ketiga anak itu.

Salah satu dari mereka menjawab, bahwa rumah Pak Basuki masih cukup jauh dari tempat itu. Dia menyarankan agar Anas menunggu angkutan umum dari kota. Biasanya, angkutan umum itu sudah tiba sebelum pukul 06.20.

"Naik angkutan aja Mas, turun di dekat masjid. Sebentar lagi juga datang. Biasanya jam setengah tujuh sudah berangkat kembali ke kota lagi," ucapnya menyarankan.

Anas mengikuti saran anak itu, dan menunggu di seberang jalan dari tempat ketiga anak itu menunggu angkutan.

Benar saja, belum cukup lima belas menit Anas menunggu, mobil angkutan umum berwarna biru muda sudah nampak berbelok di pertigaan.

Hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk tiba di depan masjid, seperti yang disarankan oleh anak-anak tadi. Setelah membayar ongkos angkutan tersebut, Anas kembali menanyakan rumah Pak Basuki, pada warga di sekitar masjid.

"Itu Mas, yang rumahnya warna putih. Tadi saya lihat Pak Basuki pergi ke warung. Masnya tunggu aja, kayaknya cuma sebentar kok," kata seorang ibu yang mengenakan kaus berwarna biru.

Anas pun menuju rumah yang ditunjukkan, lalu mengetuk pintu rumah itu. Seorang perempuan keluar dan menjawab salam yang diucapkan Anas. Wajahnya mirip dengan wajah Anas.

Anas menduga, perempuan itu adalah ibu kandungnya, yang tidak pernah dikenalnya sejak dia lahir.

"Bu, benar ini rumahnya Pak Basuki?," tanya Anas.

Perempuan itu membenarkan, dan mempersilakan Anas untuk duduk dan menunggu. "Duduk dulu, dik. Bapak sedang ke warung, beli sabun," ucapnya ramah.

Bersambung