Belasan rekanku yang beberapa waktu lalu berunjuk rasa, terkapar. Sebagian dari mereka berdarah pada bagian kepala. Pakaian mereka penuh kotoran, tanah bercampur darah.
Aku dan beberapa pengunjuk rasa lainnya, mencoba membantu mereka yang terluka. Kondisi kami tidak jauh berbeda. Sama-sama lusuh dan lelah, setelah seharian melakukan aksi, ditambah dengan pukulan akibat bentrok.
Batu-batu seukuran kepalan tangan, masih berserakan, bersama beberapa sepatu milik demonstran. Aroma menusuk dari sisa gas air mata dan ban bekas yang dibakar, masih cukup menyengat.
Jalanan yang tadi ditutup total, mulai dilalui oleh kendaraan dari arah timur, meski masih harus pelan.
Dua pengendara ojek online melintas bersamaan dengan satu mobil pikap. Pengemudi mobil pikap melaju perlahan, kemudian berhenti di dekat kami.
Pengemudi mobil pikap itu turun dari mobilnya, lalu menawarkan untuk membawa demonstran yang terluka ke rumah sakit.
Aku dan beberapa rekanku yang masih cukup kuat, menggotong rekan lain yang sudah tidak kuat untuk berjalan. Kami menuju rumah sakit swasta yang letaknya hanya sekira 500 meter dari titik aksi.
Setiba di sana, ternyata sudah banyak rekan pengunjuk rasa lain yang dirawat. Beberapa petugas keamanan pun terluka dan dirawat di situ.
Sebagian besar pengunjuk rasa dirawat akibat gas air mata, serta luka-luka akibat pentungan dan lemparan batu.
Mereka tidak pernah menduga, bahwa unjuk rasa damai itu diprovokasi oleh oknum yang menyusup. Dugaanku, salah satu pengunjuk rasa yang mengenakan jas almamater tadi siang, merupakan satu dari para penyusup.
Dugaanku sangat beralasan, karena 'penyusup' itu tiba-tiba menghilang saat bentrokan terjadi. Dia dengan bebas menerobos barikade petugas. Padahal dia yang pertama kali melempar batu ke arah mereka.
Aku tidak mau menduga-duga dan berburuk sangka, tentang dari kelompok mana penyusup itu. Saat ini beberapa rekanku membutuhkan pertolongan.
Suasana di rumah sakit cukup ramai. Petugas medis sibuk memeriksa mereka yang terluka.Yang lukanya cukup parah segera diberi perawatan.
Arka, seorang temanku, tiba-tiba menghampiriku, setelah dia berbicara melalui ponsel dengan entah siapa. Setengah berbisik, dia memberi tahu aku, bahwa korban juga berjatuhan di beberapa kota lain. Bahkan ada tiga pengunjuk rasa yang meninggal dunia. Salah satunya adalah pengunjuk rasa di kota ini.
"Kabar terakhir ada tiga yang meninggal. Yang satu meninggal karena kena tembakan," bisiknya.
Darahku seperti mendidih mendengarnya. Jantungku berdetak kencang. Emosiku memuncak, perasaanku antara marah, kecewa, sedih dan kasihan.
Aku memintanya untuk tidak pulang dulu sebelum urusan di rumah sakit selesai, dan sebelum mengetahui jumlah pengunjuk rasa yang terluka.
Bersama beberapa rekan lain, aku menanyakan jumlah korban pada dokter dan petugas medis. Tapi mereka belum bisa memastikannya, meski mengatakan jumlahnya mencapai sekira 40 orang.
"Di sini tidak ada korban meninggal. Jumlah korban luka, sekitar 40 orang. Tapi sebagian besar sudah boleh pulang setelah diberi tindakan medis. Hanya beberapa saja yang harus rawat inap," ucap dokter.
Aku mencoba mencari tahu tentang pengunjuk rasa yang meninggal, tapi beberapa teman yang kutanya, mengaku tidak tahu secara pasti.
Sementara, ponselku sudah kehabisan daya sejak sebelum magrib tadi. Sehingga aku sama sekali tidak bisa menghubungi teman dari kampus lain, atau membuka internet untuk mencari info pengunjuk rasa yang meninggal.
Saat melihat stop kontak di dinding rumah sakit, aku segera mengisi daya ponselku. Setidaknya ponsel itu bisa aktif untuk menghubungi beberapa rekan dari kampus lain.
Sekira 10 menit kemudian, ponselku sudah bisa diaktifkan, meski harus sambil mengisi daya.
Di beberapa grup Whatsapp beredar foto-foto tentang pengunjuk rasa yang meninggal. Makian dan umpatan serta sumpah serapah, memenuhi percakapan grup. Namun doa untuk almarhum dari anggota grup, juga tak kalah banyak.
Sekira satu jam kemudian, setelah ada kejelasan tentang penanganan dan perawatan untuk beberapa rekanku, kami berbagi tugas. Sebagian mengantar korban terluka untuk pulang. Sebagian lainnya bergiliran menjaga teman yang dirawat.
"Hasan," kudengar seseorang memanggil namaku.
Aku berbalik, ternyata yang memanggilku adalah seorang tokoh agama di kota ini, Pak Amat. Dia cukup dekat dengan aktivis mahasiswa, karena sebagai tokoh agama, dia sering mengkritisi sistem yang dinilainya salah.
Pak Amat dipercaya memiliki kelebihan, berupa kekuatan supranatural. Dia sering mengobati orang-orang yang terkena santet maupun penyakit lain.
Rupanya kabar adanya bentrokan saat aksi unjuk rasa, telah didengarnya. Juga tentang adanya pengunjuk rasa yang meninggal dunia.
Aku menyalami dan memeluknya. Sambil terbata-bata, aku menceritakan kronologis kejadian. Juga tentang adanya penyusup yang tiba-tiba menghilang.
"Betul-betul biadab mereka. Padahal kami tidak bikin rusuh. Tuntutan kami juga jelas, kami tidak melakukan makar," ucapku marah.
Pak Amat mengelus pundak dan punggungku, untuk meredakan emosi yang tiba-tiba memuncak. Lalu dia mengajakku keluar, menuju tempat yang agak sunyi.
"Kalian ini korban, para petugas keamanan itu juga korban. Kalian sama-sama tidak salah. Ini perbuatan pejabat kelas tinggi, yang tidak mau kariernya melorot," jelasnya.
Aku tidak paham dengan penjelasannya. Dengan sorot mata heran bercampur marah, aku kembali bertanya tentang maksud ucapannya.
Dia kembali menjelaskan. Tapi, kali ini penjelasannya lebih rinci dan lebih bisa kupahami. Menurutnya, dalam waktu dekat akan ada pelantikan pejabat. Sementara oknum itu mengincar posisi ketua.
Oknum pejabat yang dimaksud, kata dia, memang sering menggunakan ilmu hitam untuk meraih jabatan, meski tak jarang juga nebeng nama besar keluarganya.
Dia harus memberikan tumbal jika ingin kariernya melejit. Jika tidak, bisa jadi kariernya hancur.
"Coba kamu cari tahu, siapa pejabat yang belum lama berkunjung ke kota ini, kemudian meninjau di sekitar lokasi terbunuhnya temanmu," dia memberi petunjuk.
Aku hanya mengangguk-angguk, antara percaya dan tidak percaya. Menurutku, para korban itu, murni karena bentrok yang disebabkan adanya penyusup dalam aksi.
Sementara, ribuan kilometer dari situ, seorang perempuan paruh baya sedang menemui dukun. Perempuan itu adalah pejabat di salah satu lembaga. Dalam ruangan remang, keduanya bercakap tentang aksi unjuk rasa yang memakan korban.
Rupanya benar yang disampaikan Pak Amat pada Hasan, bahwa para korban adalah tumbal untuk kekuasaannya.
Perempuan itu menjelaskan, dia telah melakukan semua syarat dan ritual, agar jabatannya bisa bertahan dan bahkan semakin meningkat.
"Saya sudah menanam barang-barang yang Mbah suruhkan. Tapi masih ada dua bungkus yang belum saya tanam. Baru tiga tempat yang saya pasang," jelasnya.
Sang dukun hanya berdehem pelan. Lalu dia menaburkan menyan dan beberapa uba rampe lain ke atas pedupaan. Asap putih mengepul dari pedupaan, menimbulkan aroma wangi yang magis.
Tiba-tiba sosok tinggi besar muncul. Kulitnya kehijauan, dengan mata membelalak besar. Lidahnya menjulur keluar.
Dukun itu terus merapal mantera, hingga sosok makhluk itu kembali menghilang.
"Makhluk tadi sudah menerima tumbalnya. Dia akan menjaga kekuasaanmu, tapi hanya hingga tiga tahun ke depan, karena hanya tiga nyawa yang kau berikan," ucapnya pada perempuan itu.
"Kau harus menyelesaikan dua tumbal lainnya sebelum tahun ketiga kau menjabat. Jika tidak, kariermu akan hancur," lanjut si dukun.
Perempuan itu mengiyakan, kemudian berdiri dan memberikan amplop berisi uang pada si dukun. Sebelum berpamitan, dia mengucapkan terimakasih atas bantuan dukun itu.
"Terimakasih, Mbah. Besok malam saya dilantik. Untuk dua tumbal lainnya, akan saya berikan sebelum tahun ketiga saya menjabat," ucapnya sebelum keluar dan meninggalkan tempat itu.