Cerita Awal: Susuk Pengasihan Terlepas Akibat Langgar Pantangan (1)

Meski selama tiga hari berturut-turut Tari selalu terpuaskan oleh genderuwo itu, sekaligus mendapatkan segepok uang dalam laci lemarinya, tapi bayangan Ferdi masih muncul setiap kali dia sendirian.

Tari mulai menyadari, hubungannya dengan Ferdi selama ini bukan sekadar pemuas nafsu dan pemberi materi semata. Tari jatuh cinta pada pria itu. Mungkin itu muncul setelah kebersamaan yang terjalin selama beberapa tahun belakangan.

Bagaimana tidak, mereka begitu sering menikmati jingga mentari saat senja. Embusan angin laut, tak jarang memaksa mereka untuk saling berpeluk satu sama lain, membuat buih-buih ombak yang mencoba memeluk pasir, menjadi iri.

Bukan hanya menikmati hangat matahari senja berbalut awan kelabu, tak jarang  keduanya juga melewatkan malam dingin di lokasi wisata kaki gunung.

Mereka nonton film bersama, berbelanja berdua, bercanda di antara belasan pasang mata yang menatap iri.

Diakui atau tidak, kebersamaan itu menjadi semacam perekat untuk Ferdi dan Tari, memunculkan rasa saling membutuhkan, berbagi cerita dan berkeluh kesah tentang masalah.

Hari ini hari ketiga sejak terakhir kali Tari bertemu Ferdi. Tapi, Ferdi sama sekali tidak pernah menghubunginya. Jangankan menelepon, mengirim pesan pun sama sekali tidak pernah.

Ada rindu yang dirasakan Tari. Rindu yang sama seperti milik Ferdi. Rasa itu semakin lama semakin membuncah, memenuhi rongga dada, serasa akan pecah.

Belum selesai Tari mengingat dan membayangkan kebersamaannya dengan Ferdi, ponselnya berbunyi. Rupanya Ferdi yang menelepon.

Jemari Tari sedikit bergetar saat menerima panggilan telepon Ferdi. Jantungnya berdegup kencang, seperti cewek ABG yang baru saja 'ditembak' oleh cowok idamannya.

Dengan suara yang berusaha dinormalkan, Tari menjawab telepon Ferdi, meski getaran pada suaranya masih sedikit terdengar.

"Hmmm... Eh, anu... Emmm... Gimana kabarmu?," Tari bertanya.

Setelah berbasa-basi selama beberapa saat, Ferdi menyampaikan keinginannya untuk bertemu Tari di salah satu hotel favorit mereka, di tepi pantai di barat kota.

Gayung pun bersambut. Tari dengan cepat mengiyakan ajakan Ferdi. Mereka sepakat akan pergi pada hari Sabtu sore. Ferdi akan menjemput Tari di salah satu kafe langganan mereka.

Tari tidak sabar menunggu hari itu. Kali ini bukan karena nafsu dan materi, sebab kedua hal itu sudah didapatkannya dari genderuwo suaminya. Kali ini dia tak mampu menahan rindu karena rasa cintanya pada Ferdi.

Sejak hari itu, mereka kembali intens berkomunikasi. Saling telepon dan berbalas pesan. Ferdi pun tak lagi mengungkit masalah luka melepuh yang dialami Tari. Meski Tari sebenarnya sudah menyiapkan jawaban jika Ferdi menanyakannya. Apalagi, luka-luka itu sudah sembuh sejak pertama kali dia bersetubuh dengan genderuwo suaminya.

Hari yang dinanti telah tiba. Ferdi dan Tari bertemu di kafe langganan mereka. Keduanya menikmati makanan dan minuman, diiringi dengan alunan merdu musik dari band pengiring dan biduan di situ.

Suasana romantis seperti menggiring jemari Tari dan Ferdi untuk saling menggenggam, saling beradu pandang, dan kemudian menenggelamkan wajah Tari di pelukan Ferdi.

Keduanya lalu pergi menuju pantai di barat kota, diiringi oleh tatapan iri matahari, yang sejak dulu selalu sendiri.

Setiba di hotel, keduanya hanya menyimpan barang bawaan, kemudian kembali keluar, menunggu horizon menelan matahari senja, meninabobokannya hingga fajar esok.

Jemari keduanya erat saling menggenggam, seperti gurita ponsel yang ditempelkan pada kaca. Pasir-pasir halus yang masuk di sela jemari kaki keduanya, tidak dihiraukan.

Senja pun tiba, membawa matahari ke peraduannya. Menggantinya dengan selimut hitam bernama malam. Tapi, gemintang menghiasinya dengan kerlip cahaya, meski tak seterang senyum sang rembulan.

Setelah menikmati makan malam, Ferdi dan Tari masih terus bergandengan tangan menuju kamarnya. Naluri mereka untuk bercinta kembali hadir, meski Tari membulatkan tekad untuk tidak akan bersetubuh dengan Ferdi.

Di dalam kamar, keduanya kembali saling memeluk, membuat angin dari pendingin ruangan seolah tak terasa. Bibir mereka saling pagut.

Hingga akhirnya, nafsu Ferdi mencapai puncaknya. Dia meminta Tari untuk melayaninya seperti biasa. Tapi Tari menolak dengan halus. Tari mengatakan, dia masih cukup lelah untuk melakukannya.

Tapi dia akan berusaha memuaskan Ferdi, bagaimana pun caranya. Tari menjelaskan pada Ferdi, bahwa apa pun akan dilakukannya untuk memuaskan Ferdi, asal bukan berhubungan badan.

Ferdi tampak kecewa. Tapi dia tidak marah. Tidak seperti beberapa hari lalu. Dia menuruti apa yang diucapkan Tari, dan apa yang diperbuat Tari padanya.

Tapi, hampir setengah jam berlalu, Tari belum juga mampu memuaskan Ferdi. Tari mulai terlihat lelah dengan segala upayanya. Ferdi pun tampaknya belum menuju puas.

Akhirnya, Tari duduk di samping Ferdi dan meminta maaf. Dia berharap Ferdi bisa memaklumi kondisinya. "Maaf Mas, aku bukannya tidak mau berhubungan badan, tapi aku benar-benar lelah hari ini," ucapnya menyembunyikan sebab sebenarnya.

Sebenarnya Tari takut melanggar pantangan yang telah disepakati, yakni dia tidak boleh berhubungan badan kecuali dengan genderuwo dan suami sahnya, Aldi.

Ferdi terlihat sangat kecewa dengan pernyataan Tari. Wajahnya menunduk dengan raut yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Antara menahan syahwat dan memendam rasa kesal.

Tari dilema. Satu sisi dia kasihan melihat Ferdi, sementara di sisi lain, dia takut yang dikatakan oleh Mbah Sarno akan menjadi kenyataan.

Ternyata, rasa kasihan akibat cintanya pada Ferdi lebih kuat. Tari memilih untuk membiarkan Ferdi melepas syahwat padanya. Dia terlihat senang saat melihat Ferdi terpuaskan.

Namun, belum sempat keduanya membersihkan diri di toilet kamar itu, sosok besar berbulu hitam, tiba-tiba muncul di hadapan Ferdi dan Tari. Ferdi terkejut, sementara Tari yang sudah mengetahui resiko dari perbuatannya, tampak lebih tenang.

Sejak tadi, sebelum berhubungan badan dengan Ferdi, Tari sudah memikirkan kemungkinan terburuk, yakni genderuwo itu akan membunuh dia dan Ferdi. Tapi itu bisa menjadi kemungkinan terbaik, karena menurut pikiran Tari, dia dan Ferdi akan tewas bersama. Cinta mereka abadi.

Sosok hitam berkuku panjang yang matanya sebesar bola tenis, serta hidung besar itu, tampak marah. Bibirnya yang berwarna hijau, dengan lidah menjulur, meneteskan air liur kental berwarna kekuningan.

Dia mendatangi Ferdi terlebih dahulu. Mencekiknya, kemudian setelah Ferdi setengah sadar, dia menidurkannya tepat di depan lemari kayu, lalu menghantamnya dengan kursi di kamar itu hingga Ferdi pingsan.

Kemudian dia mendatangi Tari, menjambak rambutnya hingga tubuh Tari tergantung. Lalu tangan kiri makhluk itu memegang pergelangan kaki kanan Tari, sehingga saat ini posisi kepala Tari berada di bawah.

Tangan kanan makhluk itu memegang pergelangan kaki kiri Tari. Lalu dia membentangkan kedua tangannya, membuat Tari merasa sangat kesakitan pada kedua pangkal pahanya. Saking sakitnya, Tari tidak sanggup berteriak.

Makhluk itu lalu menidurkan Tari yang sudah tidak berdaya, tepat di samping kiri Ferdi.

"Brak!!!...". Lemari kayu itu dijatuhkan oleh genderuwo tersebut tepat di atas tubuh Ferdi dan Tari. Kepala keduanya pecah. Darah bersimbah menggenangi lantai di hotel itu. Lalu makhluk berbau anyir itu lenyap tanpa bekas.

Petugas hotel dan polisi yang mendatangi tempat itu, menyimpulkan bahwa Ferdi dan Tari tewas akibat dijatuhi oleh lemari. Ferdi dan Tari diduga berniat bersetubuh dengan posisi yang tak biasa, sehingga mereka dijatuhi lemari karena posisi bersetubuh yang ekstrem tersebut.