Aku menyimak kata demi kata yang terucap dari bibir Susan. Tapi sebagian tak dapat aku cerna, karena tiba-tiba pandanganku buram, semua menjadi kelam. Hingga mataku terpejam dan segala sesuatu di hadapanku menghitam.

Aku terbangun saat Susan memberikan semacam wewangian di depan hidungku. Sebagian wajahku basah. Mungkin dia mencoba menyadarkan pingsanku dengan percikan air.

Setelah benar-benar sadar, aku menoleh ke sekelilingku. Ternyata aku sudah berada di kamar. Susan menjelaskan, saat ini sudah hampir malam. Menurutnya, aku pingsan cukup lama.

"Kalau di duniamu, mungkin kamu sudah dimakamkan," ucapnya. Tapi aku tidak paham dengan maksud pernyataannya tersebut.

Susan menyuruhku untuk meminum segelas air, agar tubuhku menjadi lebih segar. Kemudian dia mengambilkan sepiring makanan untuk makan malamku.

Aku makan cukup lahap. Nasi yang menurutku bertekstur seperti rumput laut, cukup nikmat dimakan dengan cumi-cumi bakar. Meski rasanya sedikit berbeda dengan nasi yang biasa aku makan.

Susan menemaniku cukup lama, hingga seorang perempuan lain datang, dan memberitahukan bahwa Ratu Baine Eja memanggilnya.

Keduanya berbicara dengan sedikit berbisik, sehingga aku tidak dapat mendengar percakapan mereka. Lalu, Susan mendatangiku untuk berpamitan. Tapi, sebelum keluar, Susan kembali membujukku, agar aku mau tinggal di istana itu dan menjadi pengawal Ratu Baine Eja.

"Kalau memang belum bisa memutuskan sekarang, kamu boleh berpikir. Ratu memberimu waktu hingga lusa malam," jelasnya.

Aku mengangguk untuk mengiyakan. Lalu mengantar keduanya hingga pintu kamar, dan menutupnya dari dalam, setelah keduanya berlalu.

Tiba-tiba saja aku merindukan sosok Pramono, cowok yang pernah mengisi hari-hariku dengan canda dan perhatiannya.

Saat itu, sebelum akhirnya Pramono meninggalkanku untuk mendapatkan Wuri, duniaku begitu berwarna. Warna pelangi pun, menurutku tidak selengkap warna yang ada di duniaku waktu itu. Meski, memang waktu itu, kami tidak pernah memproklamirkan diri sebagai sepasang kekasih.

Salah satu tempat favorit kami adalah pantai tempatku merenung kemarin. Di situ kami sering berkejaran, saling menyiram dengan air laut, bahkan tak jarang, saling mengusap wajah dengan pasir pantai.

Perahu-perahu nelayan yang ada di tepi pantai, tak jarang menjadi tempat persembunyiannya, setelah menggodaku. Debur ombak yang terpecah saat mengenai dua batu karang di tengah lautan, seperti omelan nyinyir akibat cemburu melihat kemesraan kami.

Tapi, itu tinggal kenangan. Setelah kami memutuskan untuk break atau vakum sementara dalam menjalani hubungan. Aku memilih untuk tetap menyendiri, sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali melanjutkan hubungan.

Tetapi, Pramono memilih untuk menjalani hubungan dengan Wuri. Meski menurutnya hubungan itu hanya sementara, sambil menunggu aku siap untuk kembali mengarungi hari bersamanya.

Jujur, waktu itu hatiku sakit. Sangat sakit. Bahkan, mungkin jauh lebih sakit daripada saat Dilan dikeroyok dalam film Dilan 1991. Kenyataan yang aku hadapi saat mengetahui Pramono menjalin hubungan dengan Wuri, jauh lebih berat daripada rindu yang dirasakan Milea pada Dilan. Itu menurutku.

Sudahlah, aku mulai enggan memikirkan Pramono ataupun Dilan dan Milea. Tubuhku masih cukup lelah, dan aku butuh beristirahat malam ini.

Dua hari berlalu setelah aku pingsan di taman. Pagi ini, seperti hari-hari sebelumnya, sarapan sudah siap di kamarku saat aku terbangun. Juga seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada cicit burung pagi yang menyambut. Pun tak ada sinar hangat mentari, apalagi pelukan hangat Pramono.

Susan kembali mendatangiku di kamar, dan mengajakku untuk sekadar duduk-duduk di taman. Rutinitas yang menurutku sangat membosankan. Aku tidak bisa jalan-jalan ke mal, atau membeli semangkuk bakso kesukaanku.

"Tetty, ini sudah hari ketiga. Waktumu untuk mengambil keputusan, tinggal hari ini. Kalau kamu tidak betah di sini, nanti kami akan mengembalikanmu ke alammu. Tapi risikonya kamu mati atau gila," ucapnya setengah mengancam.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, atau lebih tepat, ancamannya. Aku hanya memainkan ujung pakaian yang kukenakan sejak malam itu. Maklum, orang-orang di sini menyiapkan pakaian untukku, tapi semacam baju bodo. Padahal, setiap memakai baju bodo, aku merasa seperti akan mendatangi sebuah acara penting. Sehingga aku memilih untuk mengenakan kaus dan celana panjangku.

Tiba-tiba suara desis ular mengagetkanku. Ular itu adalah ular yang menurut pengawal Ratu Baine Eja, sengaja ditugasi untuk menjaga dan mengawasiku. Dia merayap tepat di samping kaki kananku. Membuatku terpekik kaget. Tapi, kemudian dia pergi melewatiku, menuju pepohonan di taman.

"Sepertinya aku memilih untuk kembali ke duniaku. Aku bosan di sini. Tolong antar aku ke sana," pintaku pada Susan.

Susan membuang muka saat mendengar permintaanku. Tapi, kemudian dia menjawab, bahwa bukan dia yang berhak mengambil keputusan, tetapi Ratu Baine Eja.

Dia melanjutkan, malam ini Ratu Baine Eja memanggilku, untuk mendengar jawaban dari tawarannya.

Akhirnya, Susan mengajakku kembali ke kamar, dan memintaku kembali berpikir untuk yang terakhir kali, sebelum bertemu dengan Ratu Baine Eja, nanti malam.

Selama beberapa jam di kamar, aku hanya berbaring dan kembali duduk. Ponselku sudah tidak bisa diaktifkan, karena dayanya sudah habis.

Aku tak sabar menunggu malam tiba. Hingga akhirnya aku tertidur, sampai Susan kembali datang dan mengajakku menemui Ratu Baine Eja.

Aku sedikit cemas saat tiba di hadapan sang ratu. Wajahnya yang cantik, kini tidak lagi menyunggingkan senyum. Nampaknya dia kecewa dengan keputusanku.

"Aku akan memaksamu tetap berada di sini, di istanaku. Tapi kalau kamu bisa keluar dan kembali ke duniamu, silakan saja," ucapnya.

Ratu kemudian meminta pada dua pengawalnya, untuk melucuti semua pakaianku, dan menggantinya dengan seragam seperti yang mereka kenakan. Terang saja aku memberontak.

Aku menggigit lengan kedua pengawalnya, dan berlari menuju lorong temaram, tempat pertama kali aku memasuki tempat itu.

Suara desis ular mengikuti langkahku. Membuatku semakin kencang berlari. Hingga, aku tiba di ruang semacam aula.

Ular itu hanya beberapa meter di belakangku. Aku terus berlari sambil menengok ke belakang. Berharap agar ular itu tidak mengejarku. Tapi harapan itu sia-sia. Dia semakin dekat.

Tiba-tiba kakiku menyenggol sesuatu, sehingga aku terjatuh ke dalam kolam. Aku berusaha berenang dan menggapai pinggiran kolam. Tapi, seperti ada sesuatu yang menyedotku masuk, dan tenggelam lebih dalam.

Pandanganku mulai kabur. Aku menelan banyak air, yang terasa asin. Aku terbatuk karena air itu masuk hingga ke paru-paru. Lalu, semua gelap, seperti saat aku pingsan di taman.

Aku kembali siuman saat terbatuk. Tapi, kesadaranku belum sepenuhnya kembali. Aku merasa seperti mendengar suara banyak orang. Aku juga mendengar deburan ombak. Suara yang tidak pernah aku dengar di istana Ratu Baine Eja.

Saat aku membuka mataku. Beberapa orang sedang mengerumuniku. Pakaianku basah. Bibirku terasa asin. Aku mencoba memandang ke sekelilingku. Sepertinya aku berada di pantai.

"Gadis ini sudah siuman. Tolong ambilkan air putih, supaya dia minum. Jangan terlalu banyak orang di dekatnya, supaya dia dapat udara segar," aku mendengar suara pria berteriak.

Ternyata, warga di sekitar pantai ini menemukanku dalam keadaan pingsan. Mereka menolong dan membawaku ke puskesmas yang terletak tidak jauh dari pantai.

Seorang petugas medis mengganti pakaianku yang basah, dan menyuruhku untuk beristirahat. Dari penjelasannya, aku tahu bahwa aku hilang selama empat bulan lebih.

Tapi saat akan menceritakan kejadian yang aku alami, lidahku seperti kelu. Begitu juga saat aku akan menuliskannya. Jemariku kaku dan tidak bisa digerakkan. Sehingga, saat orang bertanya, aku hanya menjawab bahwa aku lupa dengan apa yang kualami.