"Lah, terus yang tadi malam boncengan sama Nak Akhsan itu siapa? Masa iya hantu secantik itu?," ibu pemilik warung kembali bertanya sambil menyiapkan makanan pesananku.

Aku hanya diam, mencoba mengingat kejadian semalam. Mulai dari kos sampai ke warung ini. Jika benar ibu ini melihatku berboncengan dengan seorang perempuan, bisa jadi itu adalah hantu Riska, yang semalam mendatangiku dalam mimpi.

Tapi, sejak kapan dia ikut naik di sepeda motorku? Aku ingat saat aku memperlambat laju sepeda motorku di jalanan berlubang. Saat itu sepeda motorku tetiba menjadi lebih berat.

Aku mencoba mencari foto Riska melalui mesin pencari, kemudian menunjukkannya pada ibu pemilik warung. "Yang tadi malam Ibu lihat bukan ini?," tanyaku ragu.

"Tuh kan, ibu bilang juga apa. Nak Akhsan udah punya pacar, cantik lagi. Ya ini dia yang boncengan sama Nak Akhsan tadi malam. Mana? Kok gak diajak lagi?".

Aku bingung bagaimana cara menjelaskan padanya, bahwa gadis itu sudah meninggal beberapa waktu lalu, dan yang dilihatnya tadi malam adalah hantu.

Ibu pemilik warung tak memercayai ceritaku. Dia malah tertawa, kemudian menunjuk ke luar, ke arah sepeda motorku terparkir. "Nak Akhsan ini. Mbok kalau bercanda jangan kelewatan. Itu cewekmu datang," ucapnya.

Spontan aku menoleh ke arah yang ditunjuknya, dan tersedak. Hantu Riska berdiri di samping sepeda motorku. Menatap pada kami berdua dengan sorot mata kosong.

Sejujurnya aku masih sedikit takut, tapi mengingat cerita yang disampaikan oleh Azwar dan Nila, aku jadi kasihan pada hantu itu. Hantu Riska membuatku dilema.

"Bu, itu hantu, bukan cewekku," ucapku setengah berbisik pada ibu pemilik warung yang kembali berdiri membelakangiku.

Ibu pemilik warung tidak berkomentar. Dia masuk ke dalam rumahnya. Beberapa saat kemudian dia kembali keluar.

"Eh, Nak Akhsan, dari tadi ya? Semalam kok ceweknya nggak diajakin masuk? Kalau punya cewek, kenalin ke Ibu juga dong. Oh iya, mau pesan apa?," tanyanya.

Aku bingung mendengar pertanyaannya, karena tadi dia sudah menyiapkan makanan yang aku pesan. Tinggal kopi hitamku yang belum dia buatkan.

"Maksudnya gimana Bu? Ini kan tadi i‌‌Ibu yang sajikan ke saya. Tinggal kopi hitamnya yang belum, Bu," jawabku bingung.

Kali ini dia yang tampak bingung. Seperti tidak percaya, dia mencoba melihat makanan yang ada di piringku. Kemudian dia menggaruk-garuk kepalanya.

"Ibu belum buatin makanan buat Nak Akhsan. Ini ibu baru aja selesai salat, terus keluar," katanya.

"Tadi Ibu udah buatin makanan untuk aku, terus Ibu masuk, dan keluar lagi. Tadi juga Ibu nanyain tentang cewek yang tadi malam, dan aku udah jawab bilang itu hantu," jelasku.

Aku mulai bisa menduga yang terjadi. Kemungkinan ibu tadi adalah hantu yang mencoba menyerupai pemilik warung. Tapi, bagaimana dia bisa menyiapkan makanan untukku? Entahlah, aku tidak mengerti.

"Ibu jadi merinding nih. Mana anginnya dingin banget lagi. Itu, langit juga merah, kayak mau hujan," ucapnya dengan nada takut.

Aku kembali melihat keluar. Hantu Riska sudah tidak ada di samping sepeda motorku. Tapi suasananya memang masih sedikit menakutkan. Angin yang bertiup cukup mampu menggoyangkan dahan dan daun pepohonan. Suaranya berdesir, menambah kesan menyeramkan.

Seekor kalong tetiba masuk ke dalam warung, berputar tiga kali sebelum kemudian kembali keluar. Ibu pemilik warung berteriak kecil saat kalong itu nyaris menabraknya.

"Ini kopinya, Nak. Cepetan dihabisin ya, ibu mau nutup warung lebih cepat. Ibu ngerasa serem nih," pintanya.

Aku hanya mengangguk. Perlahan aku menyeruput kopi yang disajikan dalam cangkir berwarna merah, dengan tulisan merek salah satu kopi kemasan. Tidak sampai 15 menit, aku menghabiskan kopi itu, dan beranjak pulang setelah membayar.

Seperti tadi malam, aku kembali merasa tarikan sepeda motorku menjadi lebih berat. Mungkin hantu Riska kembali membonceng di motorku. Bedanya, kali ini aku mencium aroma kembang.

Rasa takutku sedikit demi sedikit semakin memudar. Seiring memudarnya rasa takut itu, rasa penasaran muncul. Meski Nila sudah mwnjelaskan bahwa arwah itu membutuhkan bantuan, tapi aku ingin tahu langsung dari hantu itu, kenapa dia mengikutiku.

Aku mencoba melihatnya melalui kaca spion, tapi bayangannya tidak kutemukan dalam spion sepeda motorku.

Setiba di kos, aku langsung merebahkan badan di tempat tidur. Sepotong naskah berita yang kukirim sore tadi, sudah terbit di portal berita kantorku. Tapi detail wawancaraku dengan Azwar tidak dimasukkan. Mungkin itu untuk edisi cetak.

Udara dalam kamar jauh lebih gerah daripada saat di luar tadi, dan memaksaku untuk menghidupkan kipas angin.

Aroma kopi dari pengharum ruangan perlahan mengisi setiap sudut kamar. Aku membuka satu per satu pesan yang masuk. Tidak ada satu pun pesan dari mas Syawal. Mungkin dia tidak berniat melanjutkan berita tentang Riska. Tapi tanpa disuruh pun, aku sudah berniat untuk melanjutkannya.

Aku memasukkan konektor pengisi daya ke lubang pengisi daya ponsel saat mataku terasa berat. Biasanya hanya dalam hitungan menit sejak aku merebahkan diri di tempat tidur, aku langsung terlelap.

Aplikasi Whatsapp Web dan Get Contact

Seperti malam sebelumnya, kali ini Riska kembali hadir dalam mimpiku, tapi dia tidak sendiri. Nila datang bersamanya.

Dalam mimpi tersebut, aku seperti sadar bahwa itu hanya mimpi. Tapi aku enggan untuk terjaga. Aku menikmati kebersamaan dengan keduanya dalam mimpi, walau aku tahu bahwa Riska adalah hantu.

Rasa takutku sudah sirna secara keseluruhan. Rasa kasihan pun perlahan pergi. Hanya rasa nyaman yang ada, layaknya seorang yang jatuh cinta. Tapi kali ini jatuh cinta pada dua gadis secara bersamaan.

Sebagian orang menganggap, jatuh cinta pada lebih dari satu orang adalah tanda ketidaksetiaan. Tapi menurutku tidak. Jatuh cinta itu hampir sama dengan marah. Semua orang bisa saja marah pada beberapa orang dalam waktu yang sama. Itu manusiawi.

Kedua gadis ini memiliki kelebihan masing-masing, yang mampu membuat perasaanku bergolak. Mereka duduk mengapitku di pinggir tempat tidur. Nila di sebelah kanan, sedangkan Riska di sebelah kiriku.

Riska tidak pernah berbicara sepatah kata pun. Hanya tatapannya yang terus menyiratkan kesedihan. Tapi jemari lentiknya menggenggam erat jemariku. Sementara Nila, dia bercerita bahwa Riska akan dibunuh, dia mengetahuinya. Karena Riska mendapatkan ancaman dari pelaku.

"Jadi gini, Mas. Aku dan Riska ini bersahabat, karena kami merasa memiliki nasib yang sama. Sehari sebelum Riska dibunuh, dia cerita ke aku bahwa dia merasa terancam. Ada seseorang yang menerornya melalui aplikasi pesan instan," Nila mengatakan hal itu, dan dibenarkan dengan anggukan oleh Riska.

Setelah itu, keduanya sepakat untuk saling menjaga. Caranya dengan memasang aplikasi Whatsapp Web pada ponsel masing-masing. Sehingga semua pesan dan panggilan yang masuk akan diketahui bersama.

Beberapa jam sebelum pembunuhan terjadi, ada pesan bernada ancaman yang masuk ke ponsel Riska, tapi Nila bisa membacanya melalui Whatsapp Web. Nila berinisiatif untuk mengambil gambar layar dari pesan itu. Hal itu dilakukan untuk antisipasi jika terjadi apa-apa pada Riska.

"Jadi malam itu Riska sempat kirim pesan pada Azwar, bahwa dia diikuti oleh dua pria, dan Riska berencana untuk ke rumahku," lanjut Nila.

Tapi rencana Riska untuk ke rumah Nila tidak kesampaian. Riska diculik di tengah jalan. Untungnya Riska sempat mengirimkan lokasinya melalui aplikasi pesan instan. Sehingga Nila mengetahui tempat Riska disekap.

"Dia sempat meneleponku dan berteriak minta tolong. Setelah itu ponselnya tidak aktif. Tapi aku sudah screenshot semua chatku dengan Riska. Ponselku aku simpan di kamar, di bawah meja di kamarku," kata Nila sambil sesenggukan. Mungkin dia mengingat kejadian malam itu.

Nila mengaku sengaja membuat tempat penyimpanan rahasia di bawah lantai di kamarnya, karena dia terinspirasi oleh beberapa film.

Dia terus menangis sesenggukan, lalu memelukku erat. Tak lama kemudian, Riska turut menangis, tetapi tanpa suara. Aku pun memeluknya. Aku merasa seperti beberapa tokoh yang memeluk dua istrinya.

Ah, seandainya saja kedua gadis ini bisa kuperistri. Aku yakin akan sangat bahagia. Tapi, bapak dan emak di kampung pasti tidak setuju jika salah satu istriku adalah hantu. Pikiranku semakin ngelantur.

Lalu aku mencoba menenangkan keduanya. Satu per satu kening kedua gadis itu aku cium, dan meminta mereka untuk berhenti menangis. Tapi aku keceplosan dan berjanji akan membantu mereka.

Bersambung