Sekolah saya berubah mencekam. Darah bercucuran di mana-mana. Di sepanjang koridor depan kelas. Kami bertanya-tanya. Darah siapa ini? Bau amisnya minta ampun.

Cermis.id - Ini menjadi pengalaman mistis yang tak terlupakan. Masih membekas diingatan hingga saya telah berkeluarga. 22 tahun silam, saat saya berumur sepuluh tahun. Masa kecil memang indah dikenang. Tidak dikekang oleh tuntutan hidup yang membuat pening di kepala. Bisa tertawa lepas. Mandi di kali hingga main kelereng. Bahagia betul saat itu.  Kami keluarga sederhana. Status bapak saya sebagai PNS cukup untuk mengasapi dapur kami. Juga cukup untuk subsidi pembeli kelereng.

Selain bapak, saya juga tak pernah lupa kebaikan paman Anto. Orang yang sangat termasyur di kampung kami karena sikapnya yang dermawan. Pernah suatu ketika saya diberi selembar uang lima ribu . Nominal yang sangat banyak di masanya, 90-an. Apalagi yang menerima adalah bocah ingusan seperti saya. Bahagia tak terkira.

Uang sebanyak itu kuserahkan kepada ibu. Karena saya bingung ke mana mau kubelanjakan. Yang melayang-layang dipikiranku hanyalah makanan, kelereng dan bola sepak. Namun ibu sungguh bijak. Uang itu digunakan untuk keperluan sekolah. Mulai dari seragam hingga buku tulis. “Ini agar menjadi amal jariyah bagi paman Anto,” kata ibu diikuti anggukan kepalaku.

Di kampung kami jaringan listrik belum merata. Karenanya, jangan harap ada penerangan di malam hari. Makanya, saat petang kami harus beranjak ke rumah. Pernah saya membandel memilih balik saat salat magrib telah ditunaikan di surau. Ibu dan bapak marah betul. “Jangan pulang malam. Lihat itu sepupumu, gila setelah hilang seharian karena disembunyi setan,” kata bapak.

Cerita anak dari saudara bapak saya itu memang menjadi perbincangan di kampung. Sejak kejadian itu, para orang tua melarang kami bermain hingga jelang magrib. Dari cerita-cerita yang saya dengar, sepupu saya itu menghilang saat hendak mencari bolanya yang jatuh di dekat selokan. Kala itu jelang magrib. Sekitar 50 meter dari selokan memang terdapat lima kuburan tua. Katanya di situlah sepupuku hilang. Dia baru ditemukan esok paginya.

Adalah penjaga sekolah kami yang menemukan dia saat hendak masuk WC. Sepupu saya masih dalam keadaan terjaga. Hanya saja tatapannya kosong. Saat ditemukan katanya, dia baru seperti sudah memakan sesuatu. Kata penjaga sekolah, seperti kotoran manusia yang mengering. Itu dilihat dari tangan kanan dan sisa-sisa bekas kotoran di mulutnya.

Saat mulai tersadar, dia seperti shock berat. Menangis dan berteriak. “Ampun…ampun…ampun..,” teriak sepupu saya. “Ini ibu nak… ini bapak…kamu sudah ada di rumah sekarang,” sergah paman, yang tak lain adalah ayah dari sepupuku itu.

Dengan terbata-bata, sepupu saya mencoba mengumpulkan kembali ingatannya. Katanya ada bayangan hitam yang menyambar saat hendak mengambil bola di sekitar selokan itu. Entah bagaimana dirinya sudah berada di dalam WC. Badanya tiba-tiba kaku. Ingin teriak namun tak bisa. Bayangan hitam itu terus mengawasinya. “Tinggi sekali hitam semua, kecuali matanya,” ungkap dia.

Sebenarnya sepupu saya sempat mendengar lolongan warga yang berteriak mencarinya. Ingin diresponsnya mulutnya dirasa kaku. Pita suaranya seperti tertahan. Semakin ingin berontak, semakin sulit untuk bergerak.

Bayangan itu pun menyuruh dia untuk menyantap hidangan yang tersaji di depannya. Jika tidak dilakukan maka sesuatu yang buruk akan menimpanya. Begitu kata sepupu saya meniru kata dari bayangan hitam itu.

Karena ketakutan, sepupu saya mengunyah makanan itu. Malam makin larut, bayangan hitam itu menyatu dalam kegelapan. Cuma matanya yang kelihatan, bayangan itu hilang sesaat setelah sepupu saya melahap  hidangan itu sampai habis. Makanan yang baru diketahui ternyata itu kotoran manusia.

Sejak kejadian itu, tingkah sepupu saya jadi aneh. Kadang menangis tanpa sebab dan tiba-tiba ketawa. Dia juga tak merespons saat diajak bicara.  Dokter pun mendiagnosa untuk segera mendapat penanganan psikiater. Beberapa orang pintar yang mencoba untuk mengobati juga hasilnya nihil. Hingga kini sepupu saya itu diasingkan dari kampung dan direhabilitasi di rumah sakit tempat orang yang mengalami gangguan kejiwaan.

Menakutkan memang setiap kali kisah itu diceritakan kepada kami. Terutama saya yang kerap bandel pulang ke rumah saat azan magrib telah dikumandangkan. Karena takut saya pun lupa kalau kuping ini masih sakit karena dijewer.

Menyambut tahun ajaran baru, saya kini duduk di bangku sekolah dasar kelas lima. Semangat betul saya untuk segera berangkat ke sekolah, setelah libur hampir dua pekan. Juga sudah tak sabar ingin memperlihatkan sampul buku baru saya yang bergambar wajah pemain bola yang tersohor di daratan eropa.

Tak lupa seragam baru, ingin rasanya segera dipamer. Dan itu semua berasal dari uang pemberian paman Anto yang dermawan itu. Dia begitu rajin sedekah dan berbagi. Berempati kalau ada orang sakit di kampung kami.

Paman Anto pula yang berjasa membawa sepupu saya saat hendak direhab di rumah sakit. Di kampung kami hanya paman Anto yang memiliki mobil. Istrinya juga begitu baik.

Karena seorang pengusaha, paman Anto kadang pulang seminggu sekali di kampung. Makanya kedatangannya begitu dirindukan. Termasuk saya.

Namun beberapa hari belakangan, paman Anto tak kemana-kemana. Dia di rumahnya saja. Hanya saja kalau ada orang ingin menjenguk tidak diperkenankan. Paman Anto tak mau diganggu.

Di kampung kami rumah paman Anto lah yang paling mencolok. Pekarangannya luas, bisa untuk main bola. Sayangnya dia belum dikaruniai anak. Dia hanya tinggal bersama istri dan tiga orang pembantunya. Saya dan bersama teman sebaya pun berangan-angan andai kami diadopsi paman Anto. Ah sudahlah.

Saya pun bergegas menuju ke sekolah. Langkah kupercepat, kadang berlari kecil. Jarak rumah ke sekolah hanya sekitar 500 meter. Di belakang sekolah ada hamparan sawah yang cukup luas.

Semua hal-hal indah yang kubayangkan termasuk pamer baju baru seketika buyar saat guru-guru kami kelihatan panik. Niatnya ingin hura-hura, namun berubah jadi huru hara. Saya pun kaget, ketika melihat darah bercecer di mana-mana. Di sepanjang koridor. Darah siapa ini?

Bersambung

Tulisan ini sebelumnya telah tayang di media online Lontar.id: Ada Teror Manusia Jadi-jadian di Kampung Kami