Suara tangis perempuan itu terdengar sampai di luar. Dinding rumah panggung yang terbuat dari papan, tak mampu meredam suara isaknya yang tertahan. Sesekali isakan itu diselingi suara embikan kambing di bawah rumah.

Perempuan itu, Lastri, seperti orang yang hilang ingatan. Saat senja seperti saat ini, seringkali dia tiba-tiba menangis, tapi beberapa saat kemudian, berteriak lantang, dengan suara dan nada yang menyeramkan.

Padahal, di luar rumah, pendar jingga dari matahari senja yang beranjak ke barat, begitu indah. Cahayanya menerpa dinding kayu rumah Lastri, terkadang masuk ke dalam melalui celah yang ada di situ.

Angin sore pun tak mau kalah. Dia meniup manja dedaunan, membuat nada dari gesekan-gesekannya, meski terkadang gesekan sumbang antara batang-batang bambu, berderit mengusik ruang dengar.

Tapi Lastri tidak lagi pernah menikmati itu semua. Dua tahun belakangan, hanya ruangan gelap di bagian belakang rumah panggung itu yang dilihatnya.

Bukan hanya ruangan temaram yang dingin, kesepiannya ditambah dengan aroma menyengat dari kotorannya sendiri. Sejak dipasung oleh keluarganya, Lastri melakukan segala sesuatu di tempat itu, dalam belenggu pasung kayu.

Untung saja ibunya sangat telaten, dia selalu menyuapi Lastri saat waktu makan tiba. Ibunya juga yang membersihkan kotoran di tempat itu, meski tidak bisa benar-benar bersih, karena Lastri selalu duduk dan berbaring di situ.

Ibunya pun begitu sabar mengobati luka lecet pada punggung Lastri. Luka yang disebabkan oleh gesekan punggungnya dengan papan tempatnya tidur. Beberapa kali luka itu kembali setelah mengering, tapi ibunya dengan penuh kasih sayang, kembali mengobati dengan dedaunan obat.

Senja itu, menjelang azan magrib, seperti biasanya, Lastri menangis sesenggukan. Ibunya belum menengoknya ke belakang, karena waktu makan malam belum tiba.

Lastri melihat sosok kepala perempuan tanpa tubuh. Kepala itu melayang-layang. Matanya melotot seperti hampir keluar, lidahnya menjulur panjang, dan isi perutnya menggantung penuh darah.

Makhluk itulah yang memakan bayinya, saat masih berusia kurang dari sepekan. Dia melihat dengan mata dan kepalanya sendiri, sosok itu merobek-robek perut bayinya, lalu memakannya di tempat.

Setelah bayinya meninggal dan tak bernyawa, makhuk itu pergi sambil tertawa seram. Entah bagaimana caranya ia melakukannya. Banyak luka robek pada perut bayi menutup seolah tidak pernah terluka. Ceceran darah pun tidak ditemukan.

Saat Lastri menceritakan hal itu pada suami dan keluarganya, mereka tak percaya. Mereka menganggap Lastri stres karena kehilangan bayinya. Apalagi, setiap menjelang magrib, dia selalu menangis dan berteriak-teriak. Lastri selalu mengatakan makhluk itu datang kembali.

Lastri bahkan mengejar makhluk itu sampai ke luar rumah. Dia membawa parang untuk membalas dendam pada makhluk yang membunuh anaknya.

Kelakuan Lastri membuat warga dan keluarganya resah. Mereka takut Lastri mengamuk dan melukai tetangganya. Tak seorang pun percaya dengan apa yang dikatakan oleh Lastri tentang makhluk itu.

Akhirnya, warga dan keluarga Lastri sepakat memasungnya, agar tidak meresahkan.

Tidak cukup setengah tahun sejak kejadian itu, suaminya memutuskan untuk menceraikan Lastri. Dia tak sanggup menghadapi kelakuan Lastri setiap senja hingga menjelang subuh. Suaminya pun menikah lagi dengan perempuan tetangga desa, bernama Widi.

Pernikahan mereka cukup meriah. Hanya saja, hingga satu setengah tahun sejak pernikahan, keduanya belum dikaruniai anak. Menurut sebagian keluarga mantan suami Lastri, suaminya trauma dengan kejadian yang menimpa Lastri. Dia takut anaknya meninggal dan istrinya mengalami hal yang sama dengan Lastri.

Senja itu, Lastri kembali didatangi oleh makhluk berkepala wanita tersebut. Sepertinya sejak awal makhuk itu berniat mengganggu Lastri. Seolah ingin mengejeknya, bahwa dia telah menang dengan membunuh anak Lastri.

"Aku sudah membunuh anakmu. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa," ejek makhluk itu setiap kali mendatangi Lastri. Itu yang selalu membuat Lastri memangis dan berteriak histeris.

Tak jarang sosok wanita itu mengatakan, bahwa dia telah mengambil semua yang dimiliki Lastri, tanpa bisa dicegah dan tanpa perlawanan.

Lastri kembali menangis dan berteriak histeris, meski dia tidak paham maksud perkataan makhluk jadi-jadian itu. Lastri tidak pernah tahu bahwa suaminya telah menikah lagi dengan perempuan dari desa sebelah.

Teriakan Lastri yang sampai di luar rumah, terdengar oleh Hasan, keluarga dari tetangganya yang kebetulan berlibur di kampung itu. Hasan menanyakan asal suara itu pada pamannya, Pak Ihsan.

Pak Ihsan menjelaskan tentang awal mula kejadian, yang membuat Lastri menjadi gila. Juga tentang Lastri yang dibawa ke rumah sakit khusus gangguan jiwa.

"Tapi kata dokter, dia depresi karena anaknya meninggal. Orangtuanya juga tidak mampu untuk membayar biaya rawat inap di rumah sakit," kata Pak Ihsan menjelaskan.

Hasan mengangguk-angguk, dan kembali menanyakan, apakah Lastri tidak pernah dibawa ke paranormal, karena menurutnya penyakit Lastri bukanlah penyakit medis, meski gejalanya mirip dengan depresi.

Ketika masih kecil, saat berkunjung ke rumah Pak Ihsan, Hasan tak jarang bersama Lastri. Kedua orangtua Lastri pun mengenal Hasan cukup akrab. Itulah sebabnya dia terkejut saat mendengar penjelasan Pak Ihsan.

Pak Ihsan mengaku dia tidak pernah menanyakan hal itu pada keluarga Lastri. Terlebih, meskipun kampung itu cukup jauh dari kota, tapi sebagian besar warganya tidak lagi memercayai hal semacam itu. Mereka lebih percaya pada dokter puskesmas dan bidan desa.

"Tapi menurut saya memang ada hal aneh yang di luar nalar. Tadi pas saya lewat di samping rumahnya, saya merasakan ada sesuatu yang mistis di sekitar situ," kata Hasan lagi.

Hasan memang memiliki kemampuan untuk merasakan hal gaib. Hal itu diketahui oleh keluarganya sejak Hasan masih kecil. Dia sering melihat makhluk-makhluk yang tak dilihat oleh orang lain.

Hasan berniat mendatangi rumah Lastri dan menanyakan tentang penyakitnya. Dia merasa kasihan mendengar teman kecilnya mengalami hal semacam itu.

Setelah salat Isya di surau kecil di kampung itu, Hasan langsung menuju ke rumah Lastri. Dia disambut oleh Pak Narto ayah Lastri. Rupanya Pak Narto masih mengingat Hasan.

Dia mempersilakan Hasan untuk masuk dan memanggil istrinya. Hasan menyalami Bu Narto sambil menanyakan kabar. Setelah duduk beberapa saat, Bu Narto keluar sambil membawa dua cangkir kopi dan segelas teh panas.

Mereka bercerita tentang banyak hal, termasuk tentang kejadian yang menimpa Lastri, teman kecil Hasan.

Hasan mendengarkan dengan saksama penjelasan Pak Narto dan istrinya. Rupanya mereka juga curiga bahwa penyakit Lastri bukanlah penyakit medis. Hanya saja mereka tidak tahu harus bertanya pada siapa.

Belum selesai Pak Narto bercerita, Hasan mencium aroma anyir yang sangat menusuk hidung. Tapi Pak Narto dan istrinya seolah tidak mencium aroma itu.

Tidak lama sesudahnya, Lastri berteriak marah, lalu menangis. Suaranya terdengar hingga kamar tamu. Hasan merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ada hal gaib yang mengganggu Lastri.

Pak Narto mengajak Hasan masuk ke ruangan tempat Lastri dipasung, untuk menunjukkan kondisi Lastri saat ini. Tapi, Hasan sangat terkejut saat masuk ke ruangan itu. Sosok kepala perempuan dengan usus tergantung di leher, terbang mengelilingi Lastri.

Hanya dia dan Lastri yang bisa melihat sosok itu. Hasan langsung membentak makhluk kepala wanita itu, dan menyuruhnya pergi.

Pak Narto dan istrinya serta hantu itu tampak kaget. Pak Narto kaget karena dia tidak melihat sosok yang dibentak oleh Hasan, sementara makhluk itu kaget karena Hasan bisa melihatnya.

Bersambung...