Angin laut Pantai Parangkusumo membawa aroma dupa. Wanginya menyeruak memasuki rongga penciuman. Menimbulkan kesan mistis di sekitar tempat itu.

Dari arah selatan, di Samudera Hindia, gelombang ombak setinggi sekitar empat meter, bergulung saling mengejar menuju pantai. Lalu kembali perlahan menuju ke selatan, meninggalkan bercak putih di atas pasir.

Hanya beberapa meter dari bibir pantai, tiga pria seperti menunggu sesuatu. Mereka duduk bersila, dengan nampan berisi sesaji di hadapannya.

Mereka duduk dengan sabar, seolah menanti deburan ombak datang menghampiri ketiganya dan kembali sambil membawa sesaji itu ke lautan lepas.

Dari ketiganya, hanya satu orang yang tidak memegang dupa, dua lainnya tampak menyelipkan dupa di antara kedua telapak tangan yang tertangkup.

Pria yang mengenakan surjan (pakaian adat Jawa Tengah) memejamkan mata sambil merapalkan mantera. , Harsono, khusyuk merapal doa. Sinar matahari siang yang cukup terik, seperti tak dirasakan. Juga percikan ombak yang menerpa wajah dan beberapa bagian tubuh mereka.

Dia terus memanjatkan doa dan keinginan dari pria di sampingnya.

Saat pria bersurjan itu khusyuk merapal mantera, pria lain yang ada di sisi kanannya, menyiapkan uba rampe atau barang-barang yang dibutuhkan untuk prosesi itu.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba ombak dari tengah samudera, bergulung lebih tinggi, hingga hampir menyentuh ketiganya.

Aroma dupa masih sesekali tercium di lokasi itu, yang merupakan jalan menuju gerbang kerajaan Ratu Laut Selatan.

Setelah ritual di tempat itu selesai, ketiganya berdiri lalu berjalan ke laut, kemudian kembali duduk bersila. Jaraknya semakin dekat dengan bibir pantai.

Sebelum duduk, mereka sudah melabuh dua nampan sesaji, yang sebagian isinya langsung terbawa ombak, dan sisanya yang masih mengambang, menjadi rebutan pengunjung pantai.

Beberapa kali ombak datang menyapa dan membasahi mereka. Percikan lembutnya yang terbawa angin, membentuk semacam kabut di kejauhan.

Setelah membasuh muka dan air laut, pria berbaju putih kemudian kembali memanjatkan doa, lalu ketiganya kembali menjauh dari bibir pantai.

Seusai ritual itu, pria bersurjan menjelaskan, labuhan sesaji tersebut merupakan ritual untuk memohon restu Ratu Laut Selatan, agar hajat atau tujuan dari pria pembawa sesaji itu dikabulkan.

"Kanjeng Ratu Kidul itu yang menguasai pantai selatan. Labuhan sesaji ini untuk meminta doa restu, seperti yang dilakukan oleh bapak dari Jakarta ini, mempunyai tujuan tertentu," jelas pria yang merupakan salah satu juru kunci di Pantai Parangkusumo tersebut.

Tapi, pria bersurjan itu enggan menjelaskan secara rinci tentang Ratu Laut Selatan. Dia menyarankan untuk langsung menemui pimpinan juru kunci, Sarjini, yang bergelar  Mas Wedono Sularso Jaladri.

Mas Wedono Sularso Jaladri, yang ditemui di rumahnya, tidak jauh dari Pantai Parangkusumo, menjelaskan, Ratu Laut Selatan tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi melalui proses atau ritual yang tidak mudah.

Ratu Laut Selatan dulunya adalah manusia biasa, yang bernama Roro Sawidi.  Dia merupakan puteri dari Raja Pajajaran, Prabu Munding Sari.

Sebagai puteri raja, Roro Sawidi memiliki paras yang cantik jelita. Dia juga mempunyai banyak kelebihan, termasuk ilmu kanuragan.

Tapi, kelebihan ilmu kanuragan yang dimiliki, membuat Roro Sawidi enggan menikah dan ingin hidup hingga akhir zaman. Dia berkeinginan untuk meninggal saat dunia sudah berakhir.

Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, Roro Sawidi meminta tolong pada ayahnya, Prabu Munding Sari. Tapi, di luar dugaannya, Prabu Munding Sari justru murka dan menyuruh Roro Sawidi pergi dari kerajaan, karena menurutnya, manusia tidak akan bisa hidup sampai akhir zaman.

Roro Sawidi yang kecewa, kemudian bermeditasi, lalu berjalan kaki dari Pajajaran hingga ke Pantai Parangtritis. Setibanya Pantai Parangtritis, Roro Sawidi melanjutkan meditasinya.

Tekadnya yang kuat dan meditasi itu, membuat Dewa bertanya-tanya, lalu menemui Roro Sawidi, untuk menanyakan maksud serta tujuannya bermeditasi.

Setelah mendengarkan penjelasan Roro Sawidi, Dewa pun mengabulkan permintaannya. Tapi, Dewa mengajukan syarat pada Roro Sawidi, yakni harus ikhlas meninggalkan raganya.

"Sesudah kamu meninggalkan raga, kamu menjadi roh, kamu menempati bangunan di laut selatan," ucap Mas Wedono Sularso Jaladri menjelaskan.

Jika dilihat dengan mata batin, kerajaan itu terletak di tengah samudera, tapi jika dilihat dengan mata lahir manusia, kerajaan itu hanya seperti batu kerucut warna biru hitam di tengah laut.

"Kamu menjadi ratu di laut selatan, namanya Kanjeng Ratu Kidul," ucapnya.

Syarat lain yang diajukan oleh Dewa adalah, Kanjeng Ratu Kidul wajib menolong semua orang yang meminta pertolongan padanya. Dalam menolong pun, dia tidak boleh membedakan satu sama lain, baik dari suku maupun agama. Alasannya, karena di dunia ini hanya ada dua kekurangan, yakni kekurangan harta dan kekurangan ilmu.

Seiring waktu berjan, dalam melaksanan pemerintahannya, Kanjeng Ratu Kidul dibantu oleh beberapa ajudan dan pengikutnya. Salah satu ajudan kepercayaannya, atau yang menjadi tangan kanannya, adalah Nyai Roro Kidul.

Penampilan Kanjeng Ratu Kidul dengan Nyai Roro Kidul, sehingga banyak orang yang salah kaprah dan mengira bahwa Kanjeng Ratu Kidul adalah Nyai Roro Kidul. Perbedaan antara keduanya hanya pada sorot mata.

"Bedanya dengan kanjeng ratu pada sorot matanya. Kanjeng Ratu Kidul itu sorot matanya tajam, dan jika bertemu seseorang, dia tidak mau berkata-kata, hanya tersenyum," jelas Mas Wedono Sularso Jaladri.

Hampir sama dengan proses kemunculan Kanjeng Ratu Kidul, Nyai Roro Kidul juga awalnya bukanlah penghuni laut selatan Jawa.

Awalnya Nyai Roro Kidul adalah bidadari dari Kayangan, yang turun ke bumi. Dia bernama Nawang Wulan.

Saat itu Nawang Wulan melakukan kesalahan besar untuk bidadari. Dia jatuh cinta dan menikah dengan manusia, yakni Joko Tarub. Akibat dari kesalahan tersebut, Nawang Wulan tidak diperkenankan untuk kembali ke Kayangan, dan harus tinggal di bumi.

Hampir sama dengan proses berubahnya Roro Sawidi menjadi Kanjeng Ratu Laut Selatan, Nawang Wulan pun melakukan meditasi di pinggir pantai.

Dewa yang melihatnya, merasa iba, lalu menemui Nawang Wulan. Dewa pun menyuruhnya untuk turut bersama Ratu Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul, agar dia mengabdi padanya, dengan catatan harus mengikuti perintah Ratu Kidul.