Meski berukuran cukup besar, ruangan ini sangat wangi. Harumnya menyebar ke setiap sudut. Dekorasi di dalamnya pun cukup unik.

Selain lukisan wanita ayu, dinding ruangan juga dihiasi dengan relief, yang menurutku mengisahkan tentang lautan. Atau mungkin mengisahkan kerajaan ini.

Ada kapal yang lunasnya menjulang hingga bagian depan, dengan beberapa tiang berukuran besar dan banyak tiang berukuran lebih kecil.

Kapal itu seperti sedang diombang-ambingkan oleh ombak. Namun, pada relief selanjutnya, ombak menjadi tenang, saat seorang wanita berdiri di geladak kapal, sambil mengacungkan telunjuknya.

Gambar lain pada relief adalah dua ekor kuda laut raksasa, yang menarik kereta kencana kerajaan, membelah ombak di samudera. Lagi-lagi relief wanita itu muncul. Kali ini dia ada di dalam kereta yang ditarik oleh kuda laut.

Relief lain, masih tentang wanita itu. Dia dikelilingi oleh tujuh wanita lain, yang terlihat seperti pengikut atau dayang-dayang. Salah satunya membawa nampan berisi beragam buah dan minuman.

Perempuan lain terlihat membersihkan kaki sang ratu. Semacam baskom kecil diletakkan tepat di bawah kaki sang ratu, yang duduk pada singgasana mewahnya.

Tiba-tiba keasyikannya memperhatikan relief pada dinding ruangan, terusik. Dua perempuan muda mengenakan baju bodo (pakaian adat perempuan Bugis-Makassar) berwarna hijau, keluar dari pintu yang menghubungkan aula itu dengan ruangan di dalam.

Salah satu dari mereka menegurku, lalu mengajak aku untuk masuk ke dalam. Keduanya berwajah cukup cantik, meski tak seanggun perempuan yang ada dalam lukisan.

"Kamu Tetty kan? Ratu Baine Eja (Perempuan Merah) memanggilmu masuk," ucapnya, sambil menjelaskan bahwa Ratu Baine Eja adalah sosok dalam lukisan yang tergantung di dinding.

Aku sedikit ragu, karena sebelumnya aku tidak pernah berniat untuk menemui ratu itu. Bahkan, mendengar namanya pun baru kali ini.

Dalam hati, aku menggerutu. Ini semua gegara Pramono yang mengajakku berjalan menuju laut.

Aku mencoba mencarinya, kepalaku menoleh ke kanan dan kiri, juga ke belakang, di dekat pintu masuk aula, tempat di mana Pramono meninggalkanku.

"Pramono tidak di sini. Yang tadi mengantarmu ke sini adalah salah satu dayang-dayang ratu. Ratu Baine Eja merasa kasihan melihatmu merenung di tepi pantai," lanjut perempuan itu.

Aku mengangguk, meski belum paham dengan penjelasannya. Sama belum pahamnya dengan apa yang terjadi sesungguhnya.

Otakku mulai bisa berpikir. Seharusnya arah langkahku saat dari pantai tadi, menuju lautan, bukan jalanan menuju istana ini. Tapi jika itu terjadi, seharusnya aku sudah tenggelam.

Hanya dua hal yang mungkin terjadi padaku saat ini, yaitu aku sedang bermimpi, atau aku sedang berada di alam gaib. Tapi setahuku, tidak ada mitos maupun cerita tentang istana Ratu Baine Eja di perairan kotaku. Yang pernah aku dengar hanya kerajaan di pantai selatan Jawa.

Kakiku melangkah perlahan, mengikuti kedua wanita yang mengaku sebagai pengawal Ratu Baine Eja tersebut. Ternyata jaraknya cukup jauh dari aula.

Aku melewati lorong yang hanya cukup dilalui oleh dua orang. Meski remang dengan cahaya obor di dinding, tapi tidak ada aroma pengap atau apek di lorong itu. Mulai dari ujung, yang ada hanya aroma wangi.

Beberapa saat kemudian, kami tiba di ruangan yang sangat megah. Ratu Baine Eja duduk di singgasana, yang bertatahkan berlian pada kiri dan kanannya. Wajahnya jauh lebih bersahaja jika dibandingkan dengan gambar yang ada di aula tadi.

Dia menatapku dalam sebelum tersenyum anggun. Aku tidak pernah melihat ada perempuan seanggun dia sebelumnya.

Hal yang berbeda dari penampilannya dalam lukisan, hanya siter dalam genggaman tangan kirinya.

Dia menyapa dan memanggilku untuk mendekat. Aku mengangguk dan melangkah menuju karpet merah yang terbentang menuju singgasananya. Tapi, sebelum aku melangkah, dua dayang Ratu Baine Eja serentak menarik tanganku.

Salah satu dari keduanya berbisik. Dia menyuruhku untuk jalan sambil jongkok menuju sang ratu. Katanya, itu adalah salah satu penghormatan pada penguasa kerajaan ini.

Setelah dekat, Ratu Baine Eja menanyakan beberapa hal padaku. Termasuk kesediaanku untuk tinggal di istana ini, dan menjadi salah satu dayang pengawalnya.

Tapi aku menolak. Aku meminta agar dia mengembalikan aku ke pantai, agar aku bisa kembali bersama teman-teman dan keluargaku.

Dia hanya tersenyum, lalu memanggil dayangnya yang lain. Ratu memerintahkannya untuk membawaku ke kamar, agar aku bisa beristirahat.

"Istirahatlah dulu, sambil pikirkan penawaranku. Kalau kamu setuju, segera beritahukan padaku," perintahnya.

Kamar yang aku tempati bernuansa tradisional. Tidak ada pendingin ruangan. Awalnya aku mengira tempat tidur yang ada di situ terbuat dari kayu berukir. Tapi setelah aku merabanya, aku lebih yakin bahwa itu terbuat dari tulang berukuran besar yang diukir.

Meski tanpa pendingin ruangan, kamar ini terasa sejuk, tidak gerah atau terlalu dingin. Di meja yang juga terbuat dari tulang, beberapa jenis buah dan makanan telah tersaji.

Berbeda dengan tempat tidur dan meja. Jendela kamarku seperti terbuat dari untaian mutiara. Berwarna putih berkilau, dengan hiasan mutiara-mutiara hitam pada teralisnya. Serta beberapa batu mulia pada bagian atas kusen. Tapi aku tidak tahu jenis bebatuan itu. Warnanya seperti pantulan cahaya pelangi.

Aku terpekik kecil, saat kulihat seekor ular berwarna kuning gading tiba-tiba melilit teralis jendelaku. Matanya berwarna hijau terang, dengan satu tanduk pada bagian tengah kepalanya.

Pengawal Ratu Baine Eja menenangkanku. Kata dia, ular itu merupakan salah satu penjaga di istana ini. Ratu menugaskannya untuk menjagaku.

Ular itu mendesis sambil menjulur-julurkan lidahnya. Kemudian turun ke arah luar kamar.

"Dia akan menjagamu, agar kamu tidak keluar dan tersesat di kerajaan ini. Silakan nikmati dan makan apa saja yang kamu suka," ucapnya sebelum meninggalkan  aku seorang diri.

Bersambung....