Hasan semakin paham kapan kejadian itu tidak pergi mencari mangsa, yaitu setiap Selasa malam. Artinya hari ini istri Dadang akan keluar mencari mangsa.

Hasan pun berpamitan pada Dadang, tapi dia sengaja membuat janji untuk bertemu pada malam harinya. Hasan akan membawa mesin pompa air milik pamannya, yang kebetulan memang sudah rusak.

Dia sudah menyusun rencana untuk membongkar kelakuan istri Dadang. Tapi sebelum menangkap basah perempuan jejadian itu, dia akan menjelaskan pada Dadang mengenai risiko yang dihadapinya, jika terus beristrikan perempuan itu.

Malamnya, tepat seusai salat Magrib, Hasan berangkat menuju rumah Dadang. Dia membungkus mesin pompa air milik pamannya menggunakan karung.

Langit di atasnya terlihat memerah, sepertinya hujan akan turun malam ini. Tapi Hasan sudah menyiapkan jas hujan sebagai langkah antisipasi.

Suara katak di pesawahan bersahutan, seolah memanggil hujan agar segera turun. Deru knalpot sepeda motor tua milik pamannya, membuat katak-katak yang ada terdiam. Mungkin mereka terkejut.

Setibanya di rumah Dadang, Hasan langsung menyerahkan mesin pompa airnya  Kebetulan Dadang masih ada di teras rumahnya, tempat dia membuka reparasi dinamo.

Jemari Dadang dengan cekatan membuka setiap bagian dari mesin pompa air itu. Mulai dari membuka empat baut yang mengancing penutup impeller, lalu melepaskan impeller,  membuka seal atau pelapis agar air tidak merembes ke dinamo, hingga melepaskan as atau poros pompa.

Kemudian dia mengambil voltmeter dan memeriksa jalur dinamo. Ternyata memang dinamo mesin air itu sudah hangus. Mungkin akibat pemakaian yang terlalu lama.

Dadang mengambil tang dan pemotong kawat, lalu memotong kawat dinamo, agar mudah dikeluarkan dari cangkangnya.

"Mas, saya gulung kawat buat dinamonya besok pagi aja ya. Kalau semua lancar, lusa udah bisa diambil. Ongkosnya Rp200 ribu," ucapnya.

Hasan menyetujui harga yang disebutkan oleh Dadang, dan langsung membayarnya.

Setelah membereskan peralatan dan mesin pompa air milik Hasan, Dadang mengajak Hasan untuk duduk-duduk di tempat itu sambil mengobrol.

Tidak lama kemudian, Dadang masuk ke dalam rumah, lalu kembali keluar setelah beberapa menit di dalam. Dia membawa dua gelas kopi hitam. Dalam hati, Hasan menebak bahwa Dadang menyeduh sendiri kopi itu.

"Kok rasa kopinya beda dengan yang tadi siang, Mas?," tanya Hasan memancing.

Dugaannya tepat. Dadang mengatakan, kopi itu hasil seduhannya sendiri. Sedangkan kopi tadi siang adalah seduhan istrinya, yang saat ini sudah ada di dalam kamar untuk menjaga neneknya.

Perlahan dan dengan sangat hati-hati, Hasan menjelaskan tentang adanya perempuan yang menjalankan ilmu hitam, dan memakan isi perut bayi sebagai tumbalnya.

Jejadian itulah yang memakan isi perut bayi Dadang. Jejadian itu pula yang hampir setiap malam mendatangi Lastri, mantan istri Dadang.

Yang diceritakan oleh Lastri selama ini, kata Hasan, bukanlah halusinasi, tetapi kenyataan. Apalagi Hasan pernah melihatnya langsung.

"Perempuan itu akan menjadi jejadian saat malam. Dia akan meninggalkan tubuhnya di satu tempat, dan akan kembali sebelum subuh," ucap Hasan.

Dadang terlihat tidak senang mendengar cerita Hasan. Dia merasa tersinggung karena seolah Hasan menuduh istrinya adalah perempuan penganut ilmu hitam itu.

Hasan melanjutkan ceritanya, dan mengatakan tidak menuduh siapapun. Tapi, dia menanyakan beberapa hal pada Dadang, tentang kebiasaan istrinya.

Dadang semakin geram. Emosinya memuncak. Hampir saja dia memukul Hasan. Tapi, Hasan mencoba menenangkannya. Sambil menyarankan agar Dadang mencoba melihat ke dalam kamar, untuk membuktikan bahwa istrinya bukanlah jejadian itu.

"Baiklah, aku akan mengajaknya keluar kamar dan duduk di sini," ucap Dadang yakin.

Dia kembali masuk ke dalam rumah. Dari luar terdengar suara Dadang memanggil nama istrinya, dan mengetuk pintu. Tapi, setelah beberapa menit memanggil dan mengetuk pintu, istrinya tidak juga keluar.

Pintu kamar itu terkunci dari dalam. Dadang mencoba mengintip melalui lubang kunci, tapi kamar itu gelap. Hanya ada cahaya temaram, sepertinya berasal dari semacam lampu minyak. Tidak ada anak kunci dalam lubang itu.

Dadang bergegas menuju ke ruang tengah rumahnya, tempat anak kunci cadangan digantung pada paku di tembok. Lalu memilih anak kunci untuk kamar itu.

Dengan jantung yang berdebar sedikit lebih kencang, Dadang memasukkan anak kunci itu pada lubangnya. Dia memutarnya perlahan. Kemudian membuka pintu itu.

Dadang tersentak melihat isi dalam kamar. Meski cahaya lampu minyak di atas meja tidak begitu terang, Dadang bisa memastikan bahwa tubuh istrinya yang sedang duduk bersila. Tapi, sosok itu tanpa kepala.

Dengan tubuh gemetar, Dadang berlari keluar, dan mengatakan yang dilihatnya pada Hasan. Hasan sudah menebak apa yang dilihat oleh Dadang. Dia mengikuti Dadang dari belakang, dan masuk ke dalam kamar itu.

Dadang menyalakan lampu kamar, agar bisa melihat jelas kondisi kamar. Tidak ada nenek-nenek seperti yang diceritakan oleh Dadang. Hanya tubuh istri Dadang duduk bersila tanpa kepala.

Hasan menenangkan Dadang yang tampak panik dan syok. Dia kembali menjelaskan tentang perempuan jejadian. Lalu menyarankan agar Dadang menggeser tubuh istrinya beberapa sentimeter.

"Meski hanya bergeser beberapa sentimeter, jejadian itu tidak bisa kembali ke tubuhnya. Jika sampai Subuh dia tidak kembali ke tubuhnya, dia akan mati, dan kepala itu akan dipasang kembali oleh jin yang disembahnya," Hasan menjelaskan.

Sepertinya Dadang mulai bisa memahami penjelasan Hasan, termasuk risiko yang dihadapinya jika terus beristrikan jejadian itu.

Dia mengikuti saran Hasan. Dadang mendorong tubuh istrinya sejauh beberapa sentimeter dari tempat duduk awalnya. Dadang ikhlas jika nantinya istrinya harus meninggal gegara tidak bisa kembali ke tubuhnya.

Keduanya menunggu hingga menjelang subuh. Tiba-tiba Hasan mencium bau anyir, persis seperti yang diciumnya saat berada di rumah Lastri. Dia tahu bahwa sebentar lagi istri Dadang datang.

Benar saja, tak cukup dua menit, kepala perempuan itu datang dan melayang-layang di dalam kamar. Jejadian itu terlihat sangat marah melihat Dadang dan Hasan di kamar itu.

Dia mencoba menyerang Hasan, tapi Hasan mengelak, lalu membacakannya beberapa ayat suci, yang membuat jejadian itu semakin marah. Tapi dia melayang keluar, menjauh dari rumah itu.

Dadang tidak melihat apapun. Dia heran saat Hasan menunduk seperti mengelak, dan membaca ayat-ayat suci.

"Tadi perempuan itu sudah datang, tapi kamu tidak melihatnya. Dia marah karena melihat tubuhnya berpindah tempat," Hasan menjelaskan.

Suara azan Subuh mulai terdengar dari beberapa masjid serta surau di daerah itu. Itu berarti ajal jejadian tersebut akan segera tiba.

Tepat setelah azan subuh berhenti. Tiba-tiba datang seorang nenek bertubuh bungkuk. Seluruh rambutnya berwarna putih. Nenek bungkuk itu menatap marah pada Hasan dan Dadang.

Tangan nenek itu menggengam kepala istri Dadang, dengan isi perut yang bergantungan di bawah leher.

Dadang berbisik pada Hasan, bahwa nenek itu adalah nenek dari istrinya, yang diperkenalkan saat awal menikah.

Nenek tersebut melangkah perlahan menuju tubuh istri Dadang, kemudian memasukkan usus, jantung dan isi perut lainnya melalui leher. Lalu dia meniup bagian leher yang menyambungkan tubuh dengan kepala.

Asap tipis berwarna putih mengepul dari leher itu, dan tiba-tiba saja kedua bagian tubuh istri Dadang kembali menyatu, bersamaan dengan menghilangnya nenek bungkuk tersebut.

"Nenek itu bukan manusia. Dia adalah jin yang disembah oleh istrimu. Wujud aslinya pun bukan nenek-nenek, tapi genderuwo jantan," jelas Hasan pada Dadang.

Saat pagi tiba, Dadang memberitahukan perihan kematian istrinya pada warga. Tapi dia tidak menjelaskan penyebab kematian perempuan itu. Rahasia itu hanya diketahui oleh dirinya dan Hasan, teman barunya.

Tamat