“Mas minta rokoknya, Mas. Aku temene anak yang hilang tadi. Bingung aku, Mas.” Tiga pemuda sempoyongan meminta rokok pada kami. Mereka jelas mabuk. Hal itu mudah dipahami selain dari bau mulutnya, saat ini kami sedang menghadiri sebuah jambore nasional komunitas vespa se-Indonesia di Pantai Pancer, Pacitan.
Aku dan Candra (seorang teman pemilik indera keenam), beserta dua teman lagi berangkat dari Malang. Kini, kami bergabung dengan teman-teman yang dari Sidoarjo. Kurang lebih 20-an anak.
Tanpa tenda, seperti biasa, kami tidur ngemper di pinggiran pantai. Ada yang tidur dengan posisi duduk bersandar vespa juga bersandar pohon, tidur di alas banner, dan tidur di pasir dengan berselimutkan sarung basah. Kuyup. Malam itu memang gerimis dan kami berteduh pada masing-masing diri. Beruntung bagi yang membawa jas hujan tapi kebanyakan tidak.
Masih ada perahu mesin yang berseliweran. Entah Tim SAR atau lainnya yang jelas mereka mencari anak yang hilang terseret ombak. Kisah anak tergulung ombak, kami dapati dari mulut ke mulut. Konon, terjadi di siang hari. Dua anak tergulung dan satunya ditemukan dalam keadaan kritis. Satunya lagi masih dalam pencarian.
Di bibir pantai, aku, Candra, dan satu teman lainnya memandang jauh lautan sambil mengobrol sembarangan tema. Ombak pantai selatan memang terkenal ganas, pikirku. Aku sering ke pantai selatan di Malang dan setiap bermalam, mendengar gemuruh ombak yang berebut memecah karang. Menawan tapi juga menakutkan. Pacitan, tak jauh beda dengan Malang, ombaknya ganas dan semestinya tidak diizinkan berenang pada zona tertentu.
“Kok kayak ada bocah kecil di sana itu ya, apa karang ya?” Temanku ternyata dari tadi serius melihat lautan lepas di depan kami. Sedangkan aku, hanya mata yang melihat ke depan sedang pikiran jauh memandang ingatan di pantai Malang.
“Loh kamu ke-lihat toh, yaitu tadi yang nyeret anak yang diumumkan hilang kegulung ombak,” kata Candra serius, “kecil-kecil begitu, ternyata dia ganas. Auranya jahat banget. Kalau lihat lagi sebelah sana itu ada lebih besar tubuhnya, di dekat karang itu loh, tapi tidak seganas yang kecil itu.” Sambil menunjuk sebuah kerang di sebelah Barat.
Sepulang dari Pacitan, seperti biasa, badan terasa agak lelah dengan sedikit meriang. Mungkin gara-gara tidur di antara gerimis dan perjalan panjang. Kami berangkat Jumat menjelang tengah malam dan sampai Malang lagi Senin dini hari. Alon-alon asal klakon (pelan-pelan asal sampai) bagian dari semboyan anak vespa.
“Wajahmu kok kayak hitam separuh ya?” Kata seorang teman cewek sambil menggaris wajahnya separuh menjelaskan bahwa wajahku separuh biasa dan separuhnya hitam.
Kalimat itu masih menjadi tanda tanya di kepalaku. Aku memandang wajahku pada cermin besar di lemari tua. Tidak ada yang aneh. Lalu aku berbaring sambil memikirkan keanehan apa saja yang muncul semenjak dari Pacitan. Satu hal yang kemudian kusadari adalah bahwa umumnya meriang tubuhku akan segera sembuh setelah meminum paracetamol dan tidur cukup. Tapi, kali ini memang tidak sembuh. Sudah seminggu setelah dari Pacitan dan masih sering merasa ngeluh dan ngiluh di kaki, tangan, dan beberapa bagian tubuh lainnya.
Antara sadar dan tidak, di pojokan kamar, di balik pintu masuk, ada jin perempuan yang menampakkan diri. Tingginya kurang lebih 150 cm, normal seperti manusia pada umumnya. Ia menghadapku sambil menundukkan sedikit kepalanya. Wajahnya agak bersedih tapi ia tak mengucap sepatah kata padaku.
Entah tiba-tiba dalam hatiku berkata, “Loh itu kan jinnya temenku. Kenapa ke sini”. Maksudku, jin teman perempuan yang dulu tinggal di kos yang telah kami tinggalkan. Padahal, aku juga belum pernah melihat jin itu entah kenapa rasaku bisa mengenalinya.
Selang beberap menit, jin itu menghilang.
“Cand, barusan jinnya Surti (nama samaran) datang ke kamar tapi gak ngomong apa-apa. Kenapa ya?”
“Loh iya ta, bentar. Badanku kurang fit juga makannya tak tutup mata batinku. Biar kubuka dulu, mau ambil wudu.”
Aku balik ke kamar, lalu Candra menyusul. Dia meminta kertas dan bolpoin kemudian mencoret-coretnya. Kemudian dia berkisah:
Ada enam yang ngikut tubuhmu. Satu kepalanya pecah seperti ini (sambil nunjuk gambar sketsa agak amburadul) dan ini yang paling parah, darahnya aduh banyak banget, otaknya agak keluar, aduh, ngeri pokoknya. Satu lagi kakinya patah. Satunya lengan tangannya yang patah. Dan lainnya pokoknya keenamnya ini sekeluarga yang kecelakaan dan mati di tempat.
Kupikir-pikir, barangkali itulah sebab kenapa aku kadang ngerasa ngeluh dan ngiluh juga sakit di bagian tertentu kaki serta tangan. Tubuhku ditumbangi mereka yang merasakan sakit demikian, jadinya aku sedikit turut merasakannya.
Candra memejamkan matanya dan mulai berkomunikasi dengan mereka. Beberapa menit kemudian, ia berkata bahwa mereka tidak mau pulang dan minta diberi akik sebagai tempat tinggalnya. Tapi, kata Candra gausah dibelikan.
“Sudah. Biar kuserap ke tubuhku saja. Kalau mereka kerasan ya gak papa, kalau enggak ya biar pulang sendiri.”
Akhirnya, ditariklah mereka semua dari tubuhku. Dipindah ke tubuh Candra. Alasannya sederhana: Aku sedang kuliah dan dia tidak. Maka, biar tidak ganggu konsenku di perkuliahan, sementara dimasukkan tubuhnya Candra dulu.
“Lah apa gak masalah?”
“Santai. Di tubuhku ada banyak raja jin. Palingan dia juga gak lama kerasannya lalu kabur sendiri.”
Aku setuju dan memercayainya tanpa khawatir apa-apa. Aku mulai mengingat-ingat di mana kemungkinan mereka masuk ke tubuhku. Dari Malang, kami bareng rombongan vespa yang asalnya dari Lamongan. Mereka kuliah di Malang. Lalu, di Blitar kami bergabung dengan rombongan vespa yang berangkat dari Lamongan. Total mereka kurang lebih empat puluh kepala.
Pada saat di Tulungagung, salah satu vespa mereka bermasalah sehingga harus bongkar mesin. Menunggu mekanik mereka memperbaiki mesin, aku tiduran di samping trotoar dan got saluran air. Sekejap, aku terlelap. Dan aku yakin, di sanalah awal para yang gentayangan itu masuk tubuhku. Sebab, pada saat ketiduran yang singkat itu, aku merasa seperti salah posisi jadinya agak sakit di beberapa bagian tubuh. Dan kupikir itu lumrah.
Selain tempat itu, belum ada yang kucurigai sebab kata Candra, mereka ini kalau nggak dari Trenggalek ya Tulungagung. Daerah sana. Entah kenapa mereka bisa menyusup dalam tubuhku. Padahal, Candra di sepanjang jalanan juga peka mata batinnya akan yang tak kasat mata. Pernah kuberhenti di jembatan sebuah sungai, menunggu yang lain. Tiba-tiba Candra batuk dan berkata:
Majuan yuk. Samping kita ada pocongan yang bau busuk. Sumpah baunya busuk banget. Aku bergegas maju tanpa membalasi perkataannya.
Kutanya Surti prihal jinnya yang sempat ke kamarku.
“Lah ya kamu kuliah bawa orang banyak di tubuhmu. Dia gak tega, ngikutin kamu sampek kamar. Dia pengen ngingetin kamu tapi gak berani ngomong. Takut sama mereka yang ngikut kamu.”
Penulis: M.A. Mas’ud, anggota perkumpulan sinau Detak Aksara (Malang).