Anjing hitam itu berhasil kabur dari kami. Dia melarikan diri melalui jendela, dan seperti hilang ditelan kegelapan. Sepertinya, misinya malam ini, untuk membunuh perawan di dusun, gagal total. Meski dia melukai Rasti, tapi hanya berupa luka gores.

Saat kami berlima keluar dari kamar, Rasti masih terisak. Bahunya naik turun menahan tangis dan syok. Dia memeluk Pak Jamiun, ayahnya.

Jemari tua Pak Jamiun mengusap-usap kepala Rasti. Sebuah usaha untuk menenangkan putrinya. Wajah Pak Jamiun masih tampak tegang. Matanya menyiratkan amarah.

Sementara, Bu Jamiun, tak henti-hentinya merapalkan doa. Bibirnya terus komat-kamit. Mungkin dia khawatir anjing siluman itu akan kembali.

Setelah menutup dan memastikan bahwa jendela kamar Rasti terkunci, Pak Jamiun mempersilakan kami untuk duduk di ruang tamunya.

Rasti yang masih ketakutan, turut menemani bapaknya di ruang tamu. Sedangkan Bu Jamiun, menyeduh enam gelas kopi dan dua teh panas.

Pak Jamiun kemudian menceritakan kronologis datangnya anjing jadi-jadian itu. Kata Pak Jamiun, saat itu penghuni rumah sedang nyenyak tidur. Namun, dia sempat terbangun karena mendengar suara geraman anjing di samping rumahnya.

Saat itu dia tidak berpikir bahwa itu adalah anjing jadi-jadian, yang selama ini meresahkan warga. Tapi, suara itu terdengar sangat dekat, dan aroma anyir pun begitu pekat.

"Aromanya sangat anyir. Memang aroma itu beberapa kali melintas saat ada suara lolongan. Tapi tadi, benar-benar terasa. Saya tidak bisa kembali tidur," jelasnya.

Seusai menyemprot pewangi ruangan, Pak Jamiun berusaha untuk kembali tidur. Tapi, suara jendela yang dibuka paksa dari luar, membuatnya kembali membuka mata.

Dia berlari keluar kamar setelah mendengar suara Rasti yang berteriak. Pak Jamiun berusaha membuka pintu kamar Rasti, tapi pintu itu terkunci dari dalam. Sehingga dia terpaksa mendobraknya.

"Waktu itulah saya melihat anjing hitam  tersebut. Dia sudah menerkam Rasti. Makanya saya kembali keluar untuk mengambil parang, dan meminta tolong. Nah, kemudian datanglah Nak Haryo dan Nak Joko," dia menjelaskan.

Pak Jamiun menambahkan, ketika itu, kemaluan anjing tersebut sudah membesar, dan tubuhnya ada di atas tubuh Rasti yang ketakutan. Anjing itu seperti berusaha menyetubuhi Rasti.

Rasti menyeruput teh panas seduhan ibunya. Rasti memiliki kulit sawo matang, dengan hidung tidak terlalu mancung, dan bibir mungil. Bentuk wajahnya oval telur, daun telinganya cukup lebar, dan alis tipis di atas matanya.

Wajahnya masih menampakkan kekhawatiran. Sesekali sorot mata Rasti melihat ke luar rumah, seperti takut jika anjing itu kembali datang dan menyerangnya.

Dia lalu menceritakan saat anjing itu tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. Kata Rasti, saat anjing itu masuk, dia masih tertidur dalam selimut.

Rasti bermimpi, ada pemuda yang sangat tampan mendatanginya. Awalnya, pemuda itu sangat sopan. Dia memperlakukan Rasti seperti seorang putri. Rasti terlena dibuatnya.

Tapi, tiba-tiba Rasti terbangun karena mendengar suara menggeram, dan seperti jendela yang dibuka paksa. Saat dia membuka mata, anjing itu sudah ada di atas tubuhnya. Lidah anjing itu, menjilat-jilat lehernya.

"Saya kaget dan berteriak. Anjing itu langsung mencakar dan mencoba menggigit saya," kata Rasti.

Kata Rasti, beberapa saat setelah Rasti berteriak, Pak Jamiun datang mengetuk pintu. Tapi, Rasti tidak bisa membuka pintu yang terkunci, karena anjing itu masih ada di atasnya. Sehingga Pak Jamiun terpaksa mendobrak pintu dari luar.

Belum sempat Rasti melanjutkan ceritanya, dari kejauhan terdengar suara perempuan berteriak. Rasti spontan menghentikan ceritanya, dan memeluk ibunya.

Kami berlima bergegas mengambil 'peralatan tempur', dan setengah berlari menuju sumber suara. Pak Jamiun mengunci pintu rumahnya sesaat setelah kami berlima keluar.

Saat di jalanan dusun, aku dan empat rekanku sempat kebingungan mencari sumber suara, karena teriakan itu tiba-tiba lenyap. Tapi, menurut perkiraan kami, suara itu berasal dari batas dusun sebelah barat, yang berbatasan dengan sungai.

Setibanya di sekitar lokasi, ternyata lima rekan ronda kami, yang tergabung dalam kelompok dua, sudah ada di sana.

"Sepertinya dari rumah Bu Halidah," ucap salah satu dari mereka.

Bu Halidah adalah janda satu anak. Anaknya, Tata, masih kelas tiga SMP. Bu Halida menjanda sejak tiga tahun lalu, setelah suaminya mengalami kecelakaan lalulintas

Pintu rumah Bu Halida tampak terbuka. Dari luar terlihat Bu Halida duduk di lantai. Di depannya, seperti ada seseorang sedang tidur, tapi tidak terlalu jelas terlihat.

Sebelum memasuki rumah Bu Halidah, kami berbagi tugas. Empat orang memeriksa bagian belakang rumah, empat orang berjaga di depan rumah, dan saya bersama Joko, masuk ke dalam rumah untuk melihat apa yang terjadi.

Ternyata, Bu Halidah sedang menangis. Di depannya, Tata bersimbah darah. Lehernya hampir putus, seperti beberapa korban lainnya. Jika melihat bentuknya, luka itu disebabkan oleh gigitan taring, yang diyakini merupakan taring dari anjing jadi-jadian.

Delapan peronda lain telah selesai memeriksa sekitar rumah, tetapi mereka tidak menemukan anjing itu. Mereka lalu masuk ke dalam rumah, dan membantu Bu Halidah mengangkat jenazah Tata.

Bu Halidah cukup tegar menghadapi kenyataan itu. Dia hanya menangis terisak, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Setelah meletakkan jenazah Tata di tempat tidur, Surya memukul kentongan berkali-kali, sebagai tanda bahwa ada lagi korban meninggal.

Beberapa saat lagi azan Subuh berkumandang. Sebagian warga yang terbangun oleh suara kentongan, sudah berkumpul di rumah Bu Halidah.

Setelah salat Subuh, warga yang berdatangan semakin banyak. Sebagian bercerita tentang anjing jadi-jadian itu. Sedangkan beberapa perempuan, memandikan jenazah Tata. Rencananya, jenazah Tata akan dimakamkan sesudah salat Zuhur.

Saat pagi tiba, beberapa keluarga Bu Halidah yang berasal dari kampung lain, mulai berdatangan. Selain melayat dan mengucapkan belasungkawa, mereka juga mencari tahu penyebab meninggalnya Tata.

Warga silih berganti mendatangi kediaman Bu Halidah, termasuk Malik, seorang warga setempat yang selama ini jarang bergaul.

Malik datang dengan mengenakan setelan hitam-hitam, seperti sebagian pelayat lainnya. Dia menyalami Bu Halidah dan beberapa keluarga, kemudian menyerahkan amplop pada Bu Halidah.

Saat Malik duduk di kursi pelayat, terlihat ada luka di telinga kanannya. Menurutku, itu seperti luka akibat tergores sesuatu yang tajam, seperti bambu runcing.

Aku sedikit curiga dengan luka itu. Sebab, masih terbayang di ingatanku, saat aku melemparkan bambu runcing pada anjing hitam di rumah Pak Jamiun. Bambu runcingku mengenai telinga kanan anjing itu.

"Malik, telinga kamu kenapa? Kok seperti tergores benda tajam?" tanyaku.

Malik tampak kaget mendengar pertanyaanku. Dia terdiam sesaat, kemudian mengatakan bahwa telinganya tergores paku saat dia memperbaiki atap rumahnya.

Setelah menjawab dengan canggung, Malik berdiri, dan berpamitan pada Bu Halidah dan keluarganya, serta pada beberapa pelayat lain.

Bersambung