Suara lolongan anjing menggema di dusun kecil, di kaki salah satu gunung yang terkenal angker. Beberapa pekan terakhir, warga dusun sering mendengar lolongan panjang itu.
Sejak suara lolongan itu mulai muncul, banyak kejadian aneh yang menimpa warga dusun. Mulai dari warga yang tiba-tiba hilang, hingga kematian tak wajar pada beberapa perempuan-perempuan berusia muda.
Suara lolongan anjing itu, hanya terdengar setiap malam Selasa dan malam Jumat. Biasanya, saat lolongan itu terdengar, angin akan bertiup cukup kencang, dan bau anyir menyelimuti pedusunan.
Hampir seluruh warga pedusunan merinding setiap kali mendengar lolongan itu. Mereka lebih memilih untuk masuk ke dalam rumah, saat suara itu muncul, kecuali warga yang sedang ronda.
Menurut peronda, jika suara itu muncul, suasana malam akan terasa hening. Bahkan jangkrik maupun binatang malam lain, seperti enggan bersuara.
Beberapa kali terdengar suara jeritan perempuan muda, sesaat setelah lolongan itu berhenti. Suaranya yang terdengar di seluruh sudut pedusunan, melengking, seperti kesakitan.
Keesokan harinya, bisa dipastikan ada perempuan muda yang tewas dengan leher nyaris putus, atau lenyap tanpa bekas.
Warga akhirnya memperketat penjagaan, dengan menambah jumlah petugas ronda. Mereka berkeliling di area dusun, terbagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok berisi lima warga, yang dilengkapi dengan kentongan dan senjata tajam serta bambu runcing.
Beberapa kali petugas ronda melihat sosok anjing hitam besar, dengan mata berwarna merah menyala. Lidahnya panjang menjulur-julur. Namun, saat dikejar, anjing itu seperti hilang ditelan kelamnya malam.
Menurut seorang tokoh masyarakat di pedusunan itu, Kakek Diman, anjing tersebut merupakan sosok jadi-jadian. Anjing itu adalah jelmaan dari orang yang menuntut ilmu hitam. Dia mencari tumbal berupa perempuan muda yang masih perawan.
Kata Kakek Diman, beberapa puluh tahun lalu, kejadian serupa juga dialami oleh warga padusunan itu. Korbannya sudah belasan, sehingga warga meminta paranormal untuk menangkap anjing jadi-jadian itu.
Sedikitnya tiga paranormal tewas oleh keganasan anjing yang dibantu oleh makhluk jahat itu. Hingga akhirnya, seorang paranormal dari desa lain, datang membantu warga.
"Dia berhasil menangkap anjing itu dengan perangkap gaib. Akhirnya, anjing itu dibunuh menggunakan bambu runcing, tepat pada jantungnya. Saat terbunuh, anjing itu berubah menjadi manusia," kata Kakek Diman menjelaskan.
Sayangnya, paranormal itu telah meninggal dunia sekitar lima tahun lalu. Tapi, setelah dia berhasil menangkap anjing jadi-jadian tersebut, paranormal itu sempat menerangkan, bahwa anjing itu mempunyai pantangan, yakni meminum darah selain darah perawan.
"Jika dia meminum darah, selain darah perawan, maka ilmunya hilang, dan dia akan mati," lanjut Kakek Diman.
Meski sudah ada penjelasan dari Kakek Diman, tapi sebagian warga masih ketakutan dan memilih untuk tidak keluar setelah Magrib, khususnya pada malam Selasa dan malam Jumat.
Malam ini, malam Jumat, aku dan 14 warga lain melaksanakan ronda. Kami membagi tugas patroli keliling. Pukul 21.00 aku dan empat rekanku yang masuk dalam kelompok satu, berpatroli di bagian selatan dusun. Sementara kelompok dua, berpatroli di sebelah utara, dan kelompok tiga berjaga di pos.
Pukul 22.00, giliran kelompok satu yang berjaga. Sementara, kelompok dua berpatroli di selatan dusun, dan kelompok tiga di sebelah utara.
Sedangkan pukul 23.00, giliran kelompok dua yang berjaga di pos. Kelompok satu berpatroli di utara dusun, dan kelompok tiga di selatan. Jadwal itu akan berulang hingga pagi menjelang.
Tidak ada yang aneh malam itu, kecuali lolongan anjing yang berulang. Aku membetulkan ritsleting jaketku, untuk menahan dingin.
Sekitar pukul 03.00, suara lolongan anjing itu berhenti. Aku dan anggota kelompok satu, baru saja akan kembali berpatroli di sebelah selatan dusun.
Kami mulai waswas, karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, paling lama setengah jam sejak lolongan itu terhenti, akan ada suara teriakan perempuan yang menjadi korban si anjing.
Kami berlima mulai melakukan patroli ke selatan desa. Aku memegang senter dan satu bambu runcing. Joko, rekanku, memimpin patroli. Dia berjalan di sampingku, sambil membawa kentongan.
Saat kami tiba di ujung selatan dusun, tepat di pertigaan yang menuju hutan dan pemakaman dusun, tiba-tiba sosok hitam melintas di balik rumpun bambu. Spontan aku mengarahkan senterku ke arah sosok itu.
Anjing itu berdiri sambil memandang ke arah kami. Tingginya sekitar 70 sentimeter. Cukup besar untuk ukuran anjing. Kami berpencar, dengan niat mengepung makhluk itu. Tapi sepertinya makhluk itu tahu niat kami.
Dia melompat ke arah Surya, yang memang perawakannya paling kecil di antara kami berlima. Surya yang tidak siap menerima terkaman anjing itu, merunduk untuk menghindar.
Anjing itu berlari menuju pemakanan dusun. Kami mengejar, tapi kami kehilangan jejaknya.
"Haryo, coba kamu senter ke sebelah kiri cungkup (bangunan pelindung makam)," kata Joko padaku.
Aku menyenter tempat yang dimaksud, tapi tempat itu kosong. Anjing besar itu tidak ada di situ.
Selama beberapa menit, kami mencarinya di area pemakaman. Mulai di belakang batu-batu nisan hingga di atas pohon kamboja, tapi anjing itu tidak ditemukan.
Kami berniat untuk kembali ke pos jaga, tapi, tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak. Dari suaranya, lokasi perempuan itu tidak jauh dari tempat kami.
Serentak aku dan keempat rekanku berlari menuju arah suara. Rupanya itu suara Rasti, anak kedua Pak Jamiun. Pintu rumah Pak Jamiun terbuka. Pak Jamiun dan istrinya sudah ada di teras rumah mereka.
Keduanya berteriak memanggil kami untuk masuk ke rumahnya. Kata dia, ada seekor anjing hitam besar, yang sedang berusaha menyetubuhi putrinya.
Aku dan Joko berlari memasuki rumah Pak Jamiun, dan menuju kamar yang ditunjuk olehnya.
Joko masuk duluan, lalu berteriak, bahwa anjing itu ada di dalam. Aku menyiapkan bambu runcingku, dan menyusul masuk.
Anjing itu berdiri di hadapan Rasti, yang memegang selimut untuk menutupi bagian tubuhnya. Ada darah mengucur dari leher Rasti. Sepertinya anjing itu sudah mencakar leher Rasti.
Wajah Rasti pucat, tangannya gemetaran. Air matanya mengalir, membasahi pipinya yang putih. Saat melihat kami, Rasti bergegas menuju pintu, dan keluar.
Tidak berselang lama, Surya dan dua rekanku lainnya sudah ada di dalam kamar. Kami mengepung anjing itu. Tapi dia menggeram, sambil bersiap untuk melompat.
Aku melemparkan bambu runcingku ke arah kepala anjing itu. Tapi anjing itu cukup lincah. Dia mengelak, sehingga bambu runcing itu hanya mengenai telinganya, dan hanya membuat luka kecil.
Tanpa diduga, Surya ikut menyerang anjing itu. Dia melompat sambil mengayunkan parangnya. Tapi, lagi-lagi tidak kena. Anjing itu sangat sigap menghindar.
Sepertinya anjing itu berusaha mencari jalan keluar. Namun, aku memastikan, anjing itu tidak akan bisa keluar dari kamar dalam keadaan tanpa luka. Karena tiga rekanku ada di pintu, sambil membawa bambu runcing dan parang.
Makhluk berkaki empat itu mengambil sikap siap menerkam. Membuat kami menjadi lebih waspada. Dia melompat, tapi bukan menyerang kami. Dia melompat ke kursi, dan kembali melompat ke arah jendela kamar yang terbuka.
Anjing itu menggunakan kursi kamar sebagai batu loncatan, agar dia bisa meraih jendela dan kabur dari kami.
Bersambung