Di atas tempat tidur aku merenung. Seperti patung, aku mencoba memahami yang terjadi. Sejujurnya aku masih bingung dengan kejadian ini.

Lamat-lamat aku mendengar suara wanita berkidung. Meski terdengar jauh, tapi mampu membuat kantukku semakin menjadi.

Perlahan mataku terpejam, seiring dengan suara kidung yang melenakan. Hingga aku benar-benar tertidur. Dalam tidurku, aku bermimpi, gulungan ombak menelan tubuhku.

Air laut bercampur pasir tertelan olehku. Tanganku mencoba meraih apa saja yang bisa kugapai, tapi tidak satupun benda yang bisa kujadikan pegangan.

Ombak seperti menelanku. Mataku perih akibat air laut. Pandanganku semakin lama semakin kabur, seiring dengan nafasku yang tersengal dan batuk akibat air yang masuk ke paru-paru.

Lamat-lamat aku mendengar namaku dipanggil. Tapi aku tidak bisa menyahut dan berbuat apapun.

Aku terbangun akibat mimpi itu. Suara seorang pengawal Ratu Baine Eja, membangunkanku dari mimpi buruk itu.

Dia memberiku gelas berukuran sedang, berisi air putih. Kemudian menyuruhku meminumnya, agar aku menjadi lebih tenang.

Aku mencoba melihat jam pada ponselku. Tapi ada yang aneh. Ponselku menunjukkan tanggal 12 September 2018, pukul 05.33 pagi. Itu berarti sekitar 25 hari sejak kemarin.

Perempuan itu menyuruhku sarapan sebelum mandi pagi. Beberapa jenis makanan sudah tersaji di atas meja di kamar ini. Beberapa jenis minuman pun sudah disiapkan.

Menurutku, jenis makanan yang disajikan mirip dengan makan yang biasa ditemui di kampungku. Ikan bakar, cumi-cumi ditumis, kepiting, dan beragam jenis makanan hasil laut lainnya.

Yang berbeda hanya pada bumbu-bumbu yang digunakan. Ikan bakar, misalnya, tidak ada sambal seperti yang biasanya tersaji. Hanya semacam olahan rumput laut, yang ditaburkan di atas ikan.

Aku mencoba menikmati makanan yang disajikan. Rasanya enak. Meski sudah beberapa kali menambah, tapi perutku seperti belum merasa kenyang.

Setelah sarapan, mandi dan berganti pakaian, perempuan yang tadi membangunkanku, kembali datang. Dia mengajakku untuk berjalan-jalan di sekitar tempat itu.

Banyak hal aneh. Meski hari sudah pagi, tapi cahaya matahari seperti tertutup oleh sesuatu. Bukan awan. Menurutku, seperti tertutup oleh air. Menimbulkan semacam pantulan cahaya yang bergoyang.

Tidak ada pepohonan di tempat itu. Hanya patung dan bebatuan karang yang ditata rapi. Sangat artistik, tetapi mengesankan sesuatu yang mistis.

Beberapa saat kemudian, dia mengajakku untuk menemui Ratu Baine Eja. Kata dia, sang ratu memintaku untuk menjadi pengawalnya, dan selamanya berada di istana itu.

Setibaku di hadapan Ratu Baine Eja, dia memerintahkan seluruh pengawalnya untuk keluar dari ruangan. Tinggallah aku berdua dengannya di tempat itu.

Ratu membujukku, agar aku bersedia tetap tinggal di situ. Dia berjanji akan memberikan bermacam perhiasan, jika aku bersedia tinggal. Dia juga mengatakan, aku akan hidup selamanya di situ.

"Kamu bisa hidup abadi kalau mau tetap di sini. Kamu juga bisa setiap saat mengunjungi keluargamu kalau kamu mau," janjinya.

Aku berterimakasih atas tawarannya. Tapi, aku kembali mengatakan, bahwa aku memilih untuk kembali ke tempatku. Bahkan aku memohon agar dia mau mengembalikan aku pada keluargaku.

Raut wajahnya nampak kecewa mendengar jawabanku. Namun tampaknya dia tidak menyerah. Dia memanggil pengawalnya, dan menyuruhnya untuk mengambilkan beberapa perhiasan. Lalu memberikan sebagian padaku. Berupa gelang emas dengan hiasan batu mulia.

Aku kembali menolak pemberiannya. Kemudian, sambil menangis aku memohon, agar dia berkenan mengembalikan aku.

"Pammaporanga (maafkan saya), Ratu. Saya bukannya tidak mau, tapi saya rindu pada keluargaku. Saya mau bertemu mereka," aku memohon.

Ratu tersenyum, tapi kali ini dia tampak kecewa. Dia mengangguk sambil menjentikkan jarinya. Sepertinya itu merupakan kode untuk para pengawalnya, karena perempuan yang tadi membawakan perhiasan, segera keluar setelah ratu menjentikkan jari.

Tetapi, dia kembali bersama empat wanita lain, yang menurut perkiraanku, seumur denganku. Aku seperti mengenali dua di antara mereka. Hanya saja, aku lupa di mana aku pernah melihatnya.

Keempatnya memperkenalkan dirinya padaku. Perempuan pertama bernama Susan, yang kedua bernama Ela, lalu Cantika, dan Mega. Ratu memerintahkan mereka untuk mengajakku keluar.

Mereka membawaku ke taman. Suasananya masih sama seperti tadi. Cahaya matahari seperti tertutup oleh air.

Beberapa orang lain duduk di sisi lain taman itu. Sebagian besar mereka mengenakan baju Bodo. Hanya beberapa orang yang mengenakan busana kasual. Tapi, semuanya perempuan.

Ya, aku belum pernah menemui pria di tempat ini, kecuali Pramono, yang ternyata perempuan suruhan ratu, yang mengubah wujud menjadi pria.

Susan menceritakan padaku, bahwa dulu mereka berempat seperti aku. Mereka 'terpilih' untuk mengunjungi tempat ini, bertemu Ratu Baine Eja, untuk dijadikan pengawal.

Menurutnya, kehidupan di tempat ini sangat menyenangkan. Semua kebutuhan akan dipenuhi oleh ratu. Mereka hanya bertugas mencari pengikut-pengikut lainnya.

"Kalau di dunia manusia, kita ada di tengah laut. Kita ada di dasar laut," jelasnya.

Dia melanjutkan, jika aku mau menerima tawaran ratu, untuk menjadi pengawalnya, nantinya aku akan menjalani ritual dan melepaskan ragaku. Para pengawal ratu akan mengirim ragaku ke daratan.

Tapi jika aku tidak mau, para pengawal akan mengembalikan aku ke pantai, dengan resiko aku akan meninggal. "Kalaupun kamu selamat dan hidup, bisa jadi kamu gila. Setidaknya kamu akan lupa dengan yang kamu alami di sini," lanjutnya.

Bersambung