"Sebetulnya itu awal masalahnya. Omnya si Riska kan nerusin perusahaan bapaknya, dan berkembang. Itu juga yang bikin Riska dibunuh," Nila melanjutkan ceritanya.

Kata Nila, sebelum ayah Riska meninggal, dia berpesan pada adiknya, nanti setelah Riska dewasa, Riska yang bakal meneruskan usaha itu.

Sebetulnya paman Riska tidak ada masalah. Dia bahkan mendidik Riska untuk mengelola perusahaan.  Dia sering mengajak Riska ke kantornya, untuk mengetahui segala sesuatu yang dinilainya bakal berguna untuk Riska nantinya.

Sayangnya paman Riska mendapatkan jodoh yang 'salah'. Dia menikah dengan perempuan serakah. Celakanya lagi, paman Riska sangat menurut pada istrinya.

Mulai dari pemilihan pakaian untuk ke kantor hingga pengambilan keputusan dalam keluarga, diatur oleh istrinya. Sampai akhirnya, Riska siap untuk melanjutkan usaha almarhum ayahnya.

Istri dari paman Riska beberapa kali membujuk suaminya, agar jangan dulu menyerahkan perusahaan itu pada Riska. Alasannya, Riska masih terlalu muda. Dia juga meminta pada paman Riska untuk mengirim keponakannya tersebut melanjutkan kuliah di kota lain.

Tapi Riska tidak mau. Dia lebih memilih untuk melanjutkan kuliahnya di kota ini. Kota kecil yang menurut sebagian orang, akan selalu dirindukan oleh mereka yang pernah tinggal di sini.

Mengelola dan memiliki perusahaan bukan menjadi alasan utama Riska untuk tetap tinggal di kota ini. Itu hanya faktor pendukung. Yang paling utama bagi Riska adalah, dengan tetap tinggal di kota ini, dia bisa sewaktu-waktu berziarah ke makam kedua orang tuanya.

"Tapi tantenya Riska berpikiran lain. Dia ngirainnya Riska nggak mau pergi karena takut hartanya dikuasai oleh omnya. Akhirnya dia merencanakan untuk menyingkirkan Riska," ucap Nila sambil menyeruput kopi susu pesanannya.

Aku menyimak baik-baik semua yang diceritakan oleh Nila, karena aku pikir aku akan membutuhkannya untuk data pelengkap naskah beritaku.

Seperti mengerti apa yang ada dalam pikiranku, Nila melanjutkan ucapannya, tapi bukan bercerita tentang Riska dan keluarganya. Nila melarangku menulis semua yang dia ceritakan.

"Ini aku ceritain bukan buat dipublish. Aku nyeritain ini cuma untuk tambahan informasi. Kalau Mas Akhsan mau minta tanggapan, mendingan ke beberapa teman Riska aja. Jangan ke keluarganya," dia menyarankan.

Dengan rasa penasaran, aku menanyakan alasannya tidak mau  pernyataannya dikutip. Padahal aku sangat berharap mendapatkan informasi eksklusif tentang latar belakang keluarga Riska, setelah aku gagal mendapatkan berita eksklusif tentang identitas jenazah perempuan itu.

Nila hanya tertawa kecil. Jemarinya membetulkan letak topinya yang sedikit bergeser. Dia tidak langsung menjawab. Tatap matanya terlihat seperti meminta pengertian. "Nanti kamu bakal ngerti, Mas. Aku khawatir kalau nantinya pernyataanku justru memberimu masalah," tuturnya.

"Terus kemarin kan kamu minta aku untuk bikin berita investigasi tentang ini, karena kamu punya data lengkap. Gimana bisa aku nulis kalau kamu nggak mau dikutip?," protesku.

Aku juga menanyakan alasannya memercayaiku, dan bercerita soal pembunuhan itu. Terlebih dia baru saja  mengenalku. Bukan hanya itu, pertanyaanku juga menyinggung tentang video call atau panggilan videonya, yang menurutku misterius. Juga tentang gangguan hantu Riska tadi malam.

Nila cuma menjawab bahwa dia juga tidak tahu kenapa memercayaiku, tidak ada alasan spesifik. Tapi untuk pertanyaan lain, dia hanya mengatakan, suatu saat nanti aku akan paham.

Dia juga memohon padaku, agar tidak mencoba mengusir hantu Riska, jika hantu itu datang lagi. Kata Nila, Riska dan dirinya membutuhkan bantuanku.

Percakapan terhenti saat ponselku berdering. Aku memberi kode pada Nila, agar dia diam dulu, karena mas Syawal kembali menghubungiku. Aku yakin dia menanyakan tentang perkembangan kasus itu. Aku sudah menyiapkan jawaban.

"Ya, Mas. Naskah konferensi persnya udah selesai. Saya baru mau nyari rumahnya keluarga korban," kataku sebelum mas Syawal bertanya.

Mas Syawal menyuruhku untuk secepatnya mengirim naskah ke email. Dia juga memintaku untuk segera menemui keluarga atau tetangga Riska, atau teman-teman terdekatnya.

"Gini San, biasanya pelaku pembunuhan dan pencabulan itu orang-orang terdekat, atau paling tidak, orang yang kenal dengan korban. Kecuali kalau perampokan. Tapi kasus ini agak janggal, karena barang yang diincar cuma ponsel. Coba cari tahu siapa pacar korban," dia menjelaskan sekaligus memerintah.

Sebelum memutus sambungan telepon, mas Syawal memintaku untuk secepatnya berkabar tentang hasil dari penugasannya. "Dapet atau nggak dapet, langsung infokan ke saya," tegasnya.

Nila kembali menatapku. Entah dia kasihan atau mengejek. Dia lalu mengambil secarik kertas dan pulpen dari dalam tasnya, kemudian menuliskan sesuatu, yang ternyata alamat.

Aku membaca alamat yang ditulisnya. Lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota. Hanya sekitar lima kilometer ke arah utara. Setahuku lokasi di sekitar situ banyak tempat kos, karena aku pernah mencari tempat kos di sana.

"Cari nama Azwar, dia sempat dekat dengan Riska. Dia bisa kasih tahu tentang keseharian Riska. Tapi jangan mau kalau diajak masuk di kamarnya ya," Nila berujar sambil sedikit menahan tawa.

"Nggaklah. Ngapain aku masukke kamarnya? Kalau kamar kamu aja gimana? hahaha," godaku.

Dia mencoba mencubitku, tapi aku berkelit dan menangkap tangannya. Kulitnya cukup halus, meski menurutku sedikit dingin. Mungkin pengaruh pendingin ruangan yang ada di kafe itu.

Aku mencabut pengisi daya ponselku dari colokan di tembok samping kursi, memasukkannya ke dalam tas kecil yang selalu kubawa, mengambil rokok di atas meja, dan berjalan menuju meja kasir untuk membayar pesananku.

"Jangan dibayar, Mas. Nanti biar aku aja yang bayarin," Nila melarangku membayar kopi pesananku.

"Jangan deh, aku nggak enak kalo ditraktir cewek. Atau kalau kamu mau, duit yang mau buat traktir aku, kamu simpen aja dulu. Nanti buat tambahan kalau kita berdua nikah hahaha," aku kembali menggodanya. Dia hanya cemberut.

Kali ini aku mengikuti kemauannya. Aku melangkah menuju pintu keluar, lalu ke arah tempat parkir, dan memacu sepeda motorku menuju alamat yang diberikan oleh Nila.

Mendung seperti bermanja pada bahu langit, menutupi sebagian sinar matahari sore. Sepeda motorku melaju pelan, jarum pada speedometer menunjukkan angka 40.

Beberapa sepeda motor lain mendahuluiku, tapi aku tidak peduli. Asap bus yang berwarna hitam pekat membuatku sedikit terbatuk. Aku memperlambat laju sepeda motorku, agar bus itu semakin menjauh.

Tetiba seekor anjing menyeberang, memotong jalanku. Kaki depan kirinya berdarah, membuatnya berjalan pincang. Matanya menatapku, seolah meminta agar aku memberinya jalan. Dengan tertatih dia lewat, kemudian masuk ke dalam gang di sebelah kiri jalan.

Aku melanjutkan perjalananku. Prediksiku, sekitar 10 menit ke depan aku sudah menemukan alamat rumah yang diberikan oleh Nila.

Perkiraanku tidak salah. Rumah yang kudatangi tampak seperti bangunan lama, tapi menunjukkan bahwa itu adalah tempat kos. Bukan hanya tulisan terima kos yang tergantung pada pagar, tetapi beberapa petak kamar di bagian dalam pagar juga menunjukkan itu.

Pekarangan rumah itu cukup luas. Tepat di tengah pekarangan, terdapat satu patung Gupala berukuran sedang. Sementara di bagian kiri dan kanan gerbang, masing-masing satu patung singa terpasang di situ.

Aku membuka pintu pagar dan memarkir sepeda motorku di bawah pohon besar, yang sepertinya adalah pohon nangka. Tapi aku mencium aroma yang aneh di situ.

Bersambung