Azan Subuh belum juga berkumandang saat korlipku, mas Syawal, menelepon. Jam pada ponselku menunjukkan pukul 04.13. Aku masih cukup mengantuk. Apalagi 'mimpi' semalam seperti menguras tenagaku.

Aku berusaha untuk kembali terlelap, namun bayangan gadis berliontin inisial 'R' belum hilang dari pikiranku. Ditambah lagi penugasan liputan pagi ini, membuatku mengingat Nila, gadis misterius yang melakukan panggilan video tanpa gambar.

Semuanya terasa seperti kebetulan yang berkaitan. Mulai dari pertemuan dengan Nila di kafe, mimpi tentang gadis manis berliontin inisial 'R', mimpi berada dalam kamar yang di dindingnya terdapat foto Nila, hingga penugasan liputan jasad perempuan.

Aku mengambil sebatang rokok dari atas meja, kemudian membuka jendela kamarku, agar asap rokok ini keluar terbawa angin.

Udara pagi masuk dalam kamarku, segar, tapi sangat cukup untuk membuatku menggigil. Aku mengembuskan asap rokokku melalui jendela. Tapi sudut mataku menangkap sosok gadis bergaun biru, yang tadi hadir dalam mimpiku.

Dia berdiri tepat di depan kamarku. Sorot matanya persis seperti yang aku lihat dalam mimpi. Dia menatapku seperti mengharapkan belas kasihan.

Berbeda dengan yang ada dalam mimpi tadi. Kali ini aku sangat ketakutan. Tubuhku sampai menggigil melihatnya. Jemariku gemetar, dan sebatang rokok yang ada di antara telunjuk dan ibu jariku terjatuh ke lantai.

Spontan aku menutup jendela kamarku, menguncinya, lalu memadamkan rokok yang terjatuh di lantai. Aku sangat berharap matahari segera muncul, agar hantu gadis cantik itu kembali ke alamnya. Atau setidaknya azan Subuh segera berkumandang, karena menurut cerita yang aku dengar, hantu akan pulang tepat saat azan Subuh dikumandangkan.

Saking takutnya, aku naik ke tempat tidur dan menutup rapat tubuhku dengan selimut. Aku rela sedikit gerah di dalam selimut, sambil menunggu muadzin di surau melantunkan azan Subuh.

Setelah beberapa menit berada dalam selimut, keringatku mulai bercucuran. Suara azan Subuh pun mulai terdengar dari kejauhan. Aku sedikit tenang, meski suara azan dari surau di dekat kosku belum terdengar.

Bagian selimut yang menutupi kepalaku perlahan kusingkap. Sentimeter demi sentimeter bagian kepalaku mulai terbuka. Lambat tapi pasti, mataku pun tak lagi tertutup selimut. Aku membuka kelopaknya dengan pelan, seolah tak yakin bahwa hantu gadis itu tak lagi ada.

Pandangan mataku menyusuri pinggiran tempat tidur, sudut kamar, dan celah ventilasi. Semuanya 'aman'. Gadis hantu itu tidak muncul di sini.

Aku bangun dan duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku kuletakkan di pinggir tempat tidur, sejajar dengan bantal. Tetiba ada jemari lain memegang jemariku, bersamaan dengan suara gemerincing dari gelang di pergelangan tangannya.

Seandainya saat ini aku bisa lari, aku akan lari sekencang-kencangnya. Tapi saat ini, untuk berdiri pun lututku tidak mampu. Getaran dari tubuhku seperti mampu menggoyangkan tempat tidur. Saat mencoba berteriak pun, mulutku hanya menganga, tanpa mengeluarkan suara.

Dia terus menatapku, lalu melepaskan genggamannya pada jemariku, kemudian berjalan atau entah melayang, menuju pintu kamar, dan menghilang.

Setelah menenangkan diri beberapa saat, aku mengambil air minum, berwudhu, dan menunaikan salat Subuh. Semua doa pengusir jin yang aku tahu kubaca seusai salat, berharap dia tidak lagi hadir, bahkan dalam mimpiku.

Polisi Tetapkan Tersangka‌‌

Sebelum pukul 10.00 aku sudah berada di kantor polisi, menunggu waktu konferensi pers tentang jenazah gadis yang ditemukan tenggelam di danau di utara kota.

Beberapa jurnalis lain, baik dari media cetak maupun elektronik juga sudah hadir. Sebagian duduk di kursi sambil ngobrol, sebagian lainnya menyiapkan kamera dan alat perekam.

Matahari belum terlalu terik bersinar saat konferensi pers digelar. Beberapa polisi muncul bersama seorang pria berbaju orange dengan wajah tertutup masker dan tangan terborgol.

Perawakan pria itu biasa saja. Tingginya sekira 165 hingga 170 sentimeter. Tubuhnya agak tambun, dengan tatto bergambar ular pada lengan kanannya.

Pada punggung tangan pria itu, terdapat bekas luka sepanjang kurang lebih 5 sentimeter dan tatto bunga di samping bekas luka.

Berdasarkan keterangan polisi, pria itu, Syachrul, berusia 28 tahun, diduga kuat sebagai pelaku pembunuhan terhadap Riska, perempuan muda yang ditemukan di dalam karung, di tengah danau di utara kota.

"Pelaku melakukan aksinya seorang diri. Dari hasil interogasi, diketahui pelaku menenggelamkan korban hidup-hidup, dengan cara memasukkan korban ke dalam karung, kemudian diikat dengan pemberat, lalu dibuang ke tengah danau," seorang polisi menjelaskan.

Menurut penjelasan polisi, Syachrul mengaku dirinya melakukan pembunuhan karena Riska tidak mau menyerahkan ponselnya. Sebelum ditenggelamkan, Syachrul sempat melecehkan dan mencabuli Riska karen saat itu Syachrul dalam pengaruh minuman beralkohol.

"Jadi saat itu pelaku melihat korban berjalan sendirian. Pelaku kemudian menodong dan meminta korban untuk menyerahkan ponselnya, tapi korban menolak. Akhirnya pelaku menyeret korban ke salah satu gubuk kosong di dekat TKP," lanjutnya sambil menunjukkan foto Riska semasa masih hidup.

Aku tersentak saat melihat foto itu. Gadis itu adalah gadis yang hadir dalam mimpiku malam tadi, dan muncul di kamarku sebelum azan Subuh. Pakaian yang dikenakan dalam foto itu persis dengan yang dipakainya saat menemuiku.

Polisi itu terus menjelaskan, tapi sebagian perkataannya seolah hilang dibawa angin. Aku fokus pada foto gadis itu dan kejadian tadi malam.

Sampai saat seorang teman jurnalis yang ada di sampingku bertanya pada polisi, tentang waktu penangkapan pelaku.

Aku kembali memperhatikan penjelasan polisi, sambil terus mengulurkan tangan yang memegang ponsel untuk merekam semua yang disampaikan.

"Dua hari setelah jenazah korban ditemukan, Tim Kancil berhasil membekuk pelaku, melalui penyelidikan. Saat akan diamankan, pelaku mencoba melarikan diri, tetapi berkat kesigapan personel kami, yang bersangkutan berhasil ditangkap,"  ucapnya menjawab pertanyaan.

Seusai konferensi pers, aku mencoba menghubungi Nila melalui pesan Whatsapp. Aku mengajak dia bertemu di kafe tempat pertama kali aku mengenalnya.

Sambil menunggu Nila tiba, aku mulai mendengarkan rekaman wawancara dan mencatatnya pada notepad di ponselku. Kalimat demi kalimat yang disampaikan kuketik tanpa ada yang terlewatkan.

Setelah selesai mentranskrip rekaman, aku mulai mencari angle terbaik, dan menuliskannya pada lead beritaku. Tapi, belum juga naskahku selesai, Nila datang dan duduk di sampingku. Aku menyapa sekadarnya, lalu melanjutkan ketikan naskahku.

Baru saja aku kembali mengetik, ponselku berdering. Mau tidak mau, aku harus menerima panggilan telepon itu. Bukan karena korlip yang menelepon, tetapi karena aku tidak bisa mengetik saat ponsel berdering.

"San, coba kamu cari tahu rumah korban pembunuhan tadi, wawancara keluarga atau tetangganya. Tanyakan juga, apakah semasa hidupnya, korban punya musuh? Kalau bisa wawancara juga teman kerja atau teman kuliahnya. Saya tunggu naskahnya sampai jam lima sore. Oh iya, kalau datamu lengkap, beritamu jadi HL halaman kriminal," ucap mas Syawal memerintah, sebelum akhirnya mengakhiri pembicaraan tanpa menunggu jawabanku.

"Mas Akhsan, ingat nggak kemarin aku minta tolong?, soal temanku yang dibunuh. Polisi sudah berhasil nangkap pelakunya, tapi itu cuma orang suruhan. Otaknya bukan dia," tetiba Nila berbicara.

"Riska itu temanmu? Serius? Kebetulan nih, aku disuruh wawancara teman atau keluarganya. Kamu tahu rumahnya?," tanyaku penuh semangat.

Tapi Nila tidak menjawab. Dia menyeruput lembut kopi susu pesanannya. Kemudian dia mengeluarkan laptop dari tasnya, dan seperti kemarin, matanya seperti enggan berpindah dari layar laptop.

"Mas, ini foto kami berdua, sehari sebelum Riska hilang. Dia cerita bahwa ada seseorang yang ingin mencelakainya. Tapi dia belum sempat menjelaskan padaku siapa orang yang dia maksud," Nila menjelaskan tanpa menjawab pertanyaanku.

"Di sini Riska tinggal bersama paman dan tantenya. Kedua orang tuanya sudah meninggal sejak dia kecil. Orang tuanya dulu kaya raya, tapi meninggal dalam kecelakaan lalulintas," lanjut Nila.

Kata Nila, setelah kedua orang tua Riska meninggal, harta kekayaannya dititipkan pada adiknya, termasuk juga Riska, putri tunggal mereka.

Bersambung