Mendengar janjiku untuk membantu Riska, Nila spontan berdiri dan menubruk tubuhku dari depan. Aku terdorong ke belakang bersama dengan Riska. Sekarang posisi Nila ada di atas tubuhku, sementara Riska terbaring di samping kiriku.
Sadar bahwa spontanitasnya cukup berlebihan, Nila kembali berdiri dan meminta maaf padaku. Rona merah muncul pada kedua pipinya. Sedangkan Riska, sorot matanya tetap menunjukkan rasa sedih.
Keduanya kembali pada posisi masing-masing. Nila di sebelah kananku dan Riska di kiri.
Nila melanjutkan ceritanya. Kata Nila, beberapa menit setelah ponsel Riska tidak aktif, ponsel Nila berdering. Ada panggilan telepon masuk dari nomor lain yang tidak dikenalnya. Tapi, nomor itu berbeda dengan nomor telepon yang mengancam Riska.
Ternyata yang menelepon adalah salah satu dari dua pria yang mengikuti Riska. Dia mengingatkan Nila, agar tidak ikut campur dalam urusan Riska.
Rupanya mereka telah mengetahui, bahwa aplikasi perpesanan instan pada ponsel Riska dan Nila saling terhubung. Sehingga mereka mereset ulang ponsel milik Riska. "Pantas saja aku tidak menerima pesan-pesan yang masuk ke ponsel Riska," dia menambahkan.
Setelah menutup panggilan telepon itu, kata Nila, dia langsung menyimpan nomor telepon yang menghubunginya, dengan nama kontak 'Teroris'.
"Berapa nomor telepon yang ngehubungin kamu? Coba aku cari nama kontaknya lewat aplikasi Get Contact," aku menawarkan.
Nila lalu menunjukkan nomor ponsel orang yang meneleponnya waktu itu. Aku mencatatnya pada ponselku, dan mencarinya melalui aplikasi Get Contact.
Aplikasi itu sudah cukup lama terinstal pada ponselku, dan sudah beberapa kali aku gunakan untuk mencari tahu nomor telepon yang tidak tersimpan dalam daftar kontakku.
Awalnya, aku menginstal aplikasi itu sebagai upaya antisipasi kemungkinan teror melalui ponsel. Maklum, itu menjadi salah satu risiko pekerjaanku. Aku dan beberapa rekan kerjaku pernah mengalaminya. Dengan aplikasi itu, setidaknya aku bisa mengetahui nama pemilik nomor.
Pencarian nama pemilik nomor telelepon melalui aplikasi itu hanya membutuhkan waktu kurang dari tiga detik. Nama yang muncul setelah aku menuliskan nomor ponsel yang diberikan oleh Nila, adalah Nurdin.
Ada 38 'penanda' pada nomor itu. Penanda adalah nama kontak yang ditulis oleh orang lain dalam ponselnya. Dari 38 penanda, 32 di antaranya menulis nama Nurdin.
Lalu, aku kembali meminta pada Nila, agar dia menunjukkan gambar tangkapan layar atau screenshot chat antara Riska dan pria yang satu. Aku ingin mencari nama kontaknya melalui aplikasi ini.
Ternyata dugaan Nila benar. Bahwa pelaku pembunuhan terhadap Riska, bukan satu orang. Pemilik nomor telepon yang menghubungi Riska adalah Syachrul, yang beberapa hari lalu sudah diringkus oleh polisi.
Aku terbangun gegara suara petir. Rupanya hujan turun dengan cukup deras. Lampu kamarku masih menyala, begitu pun kipas angin. Aku berdiri dan mematikan kipas angin, lalu mengambil ponselku yang masih terhubung dengan pengisi daya.
Iseng kubuka aplikasi Get Contact, sambil mencoba mengingat nomor telepon yang ditunjukkan oleh Nila dalam mimpi. Tapi, sebelum aku mengingat nomor itu, pada riwayat pencarian nomor di Get Contact tertera nama Nurdin dan Syachrul.
Sejak kehadiran Riska dan Nila tadi malam, aku sudah tahu bahwa itu hanya mimpi. Tapi tetap saja aku merasa aneh. Seandainya yang hadir dalam mimpi cuma Riska, mungkin tak seaneh ini kurasa, karena aku tahu persis, arwahnya penasaran. Tapi Nila, aku beberapa kali bertemu di dunia nyata.
Waktu masih menunjukkan pukul 03.19. Tidak mungkin aku menghubungi Nila pada saat ini. Akhirnya aku kembali merebahkan diri di atas tempat tidur.
Bantuan dari Teman Lama
Hari ini tidak ada agenda liputan pagi. Liputan siang dan sore pun tidak ada. Jika hingga siang nanti tidak ada kejadian, sepertinya aku harus mencari isu liputan. Mungkin melanjutkan berita tentang Riska.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian, aku keluar. Tujuanku ke warung kopi (warkop) yang terletak tidak jauh dari kantor polisi, supaya lebih cepat tiba jika tetiba ada info kejadian.
Lantai halaman tempat kosku masih basah akibat sisa hujan semalam. Beberapa ranting dan dedaunan berceceran, mungkin akibat angin dan air hujan yang menerpanya.
Matahari bersinar cukup cerah, sedikit lebih cerah daripada perasaanku saat ini. Mungkin jika Riska dan Nila jadi milikku, cerahnya sinar matahari hari ini akan kalah oleh cerahnya hatiku.
Meski aku tahu bahwa Riska adalah hantu, tapi sejujurnya aku berharap bisa bersamanya. Terlebih dia juga menunjukkan rasa suka padaku. Akan lebih membahagiakan, jika Nila juga mau denganku. Aku yakin keduanya tidak akan marah dan saling cemburu, karena mereka sahabat dekat.
Percikan sisa air hujan dari aspal mengenai sebagian wajahku, menyadarkanku dari lamunan tidak masuk akal. Spontan aku meneriaki pengendara mobil berwarna kuning yang melintas kencang.
Hanya dua kelokan sebelum tiba di warkop, aku melihat satu pohon besar yang tumbang. Aku mendekat dan memarkir sepeda motorku.
Beberapa petugas dari instansi pemerintah tampak memotong dahan pohon. Mereka mengenakan helem kuning dan rompi merah. Saat berada di dekat dedaunan, warnanya mengingatkanku pada poster Bob Marley.
Dua orang dari mereka terlihat duduk pada batang pohon yang telah dipotong. Keduanya asyik menikmati rokok kreteknya, sambil bercerita. Aku mencoba mencuri dengar pembicaraan, berharap mendapatkan bahan berita.
Ternyata tidak ada korban dari kejadian itu, baik korban jiwa maupun materiil. Hanya lantai trotoar yang pecah akibat tertimpa dahan. Syukurlah jika tidak ada korban, meski itu berarti aku tidak mendapat berita dari kejadian itu. Aku melanjutkan perjalanan menuju warkop.
Warkop masih sunyi saat aku tiba. Kursi dan meja sementara ditata oleh pelayan warkop, meski sudah ada dua orang yang duduk dan menikmati kopi susu di situ.
Seperti biasa jika ke situ, aku memesan secangkir kopi Arabica tanpa gula. Ya, aku suka kopi Arabica tanpa gula, karena menurutku rasa kopinya akan rusak jika ditambahi gula atau susu.
Ada dua panggilan tak terjawab tertera pada notifikasi ponselku. Bukan dari mas Syawal ataupun Nila, tapi dari Bang Yusuf, kenalan lama yang sudah pindah tugas ke kota lain.
Bang Yusuf seorang ahli IT. Beberapa kali aku meminta bantuannya saat ponsel milik temanku hilang karena dicuri. Aku tidak tahu alat apa atau aplikasi apa yang dia gunakan, tapi dia mampu menemukan lokasi ponsel temanku dengan sangat akurat, dengan catatan, kartu SIM yang digunakan belum diganti oleh pencurinya.
Bang Yusuf pernah mengatakan padaku, bahwa dia bahkan bisa mengetahui riwayat lokasi ponsel seseorang dalam rentang waktu enam bulan terakhir.
"Pagi, Bang. Apa kabar ini? Tumben menelepon saya," kataku saat menelepon balik.
Rupanya dia sedang ada kegiatan di kota ini. Tapi waktunya hanya tiga hari. Bang Yusuf mengajakku bertemu pagi ini, karena kegiatannya akan padat saat siang hingga malam hari.
"Aku di polres nih. Ayo ketemuan, udah berapa tahun ya kita nggak ketemu?," kata dia.
Hanya lima menit berselang, dia sudah muncul. Wajahnya tampak sedikit lebih tua, tapi senyum khasnya masih sama dengan beberapa tahun lalu. Jaket kulit yang dikenakannya pun sepertinya masih sama dengan yang sering dipakainya dulu.
Kami ngobrol banyak hal, mulai dari kekonyolan pencuri ponsel yang ketahuan, kisah-kisah masa lalu, hingga berita tentang beberapa kasus pembunuhan serta perampokan yang terjadi.
"Itulah bodohnya para pelaku, mereka kira tidak bisa dilacak lewat riwayat ponsel. Dulu saja, saat orang masih pakai ponsel yang tanpa internet, bisa dilacak. Apalagi sekarang," ucapnya sambil menertawakan para pelaku kejahatan.
Pembicaraan kami membuatku teringat pada kasus pembunuhan Riska, dan menceritakan kisahku pada Bang Yusuf. Dia mendengarkan semua penjelasanku. Sebetulnya aku khawatir dia akan menertawakanku, karena memercayai mimpi dan hantu. Tapi ternyata tidak.
Menurutnya, ada beberapa kejadian yang terungkap berkat mimpi dan kejadian seperti yang aku alami.
"Kirim nomor ponsel korban dan yang kamu dapat dalam mimpi, nanti aku coba cari riwayatnya," lanjutnya.
Bersambung