Buru-buru aku menghidupkan mesin sepeda motorku, lalu meninggalkan tempat itu. Dalam hati aku bertanya-tanya, kenapa tetiba aku bisa melihat semua makhluk itu.
Aku menuju warkop, memesan segelas kopi hitam. Selain menenangkan diri di sini, aku sekaligus mengetik semua penjelasan Kasat Reskrim tadi siang, menjadi beberapa berita.
Tidak cukup satu jam, tiga naskah sudah kukirim ke email redaksi. Tapi kopiku masih ada setengah cangkir. Aku belum berniat untuk menghabiskannya.
Azan magrib terdengar dari masjid yang terletak tidak jauh dari warkop. Beberapa pengunjung warkop beranjak dari kursinya, menuju masjid, termasuk aku. Sudah cukup lama aku tidak salat magrib berjamaah di masjid.
Sepanjang perjalanan menuju masjid, aku kembali melihat beberapa makhluk aneh. Ada yang berjingkrak-jingkrak di bawah pohon, ada yang berendam di selokan, ada juga yang berjalan menjauhi masjid.
Satu makhluk lain yang berperut buncit dengan daun telinga runcing, menggelayut pada kaki seorang pria yang berjalan menuju masjid. Membuat langkah si pria seperti berat.
Aku bergidik dan belum mengerti apa yang terjadi, kenapa tetiba aku bisa melihat mereka semua. Tapi aku mulai terbiasa.
Setelah menunaikan salat magrib, aku kembali ke warkop. Masih seperti tadi, banyak makhluk aneh di sepanjang perjalanan. Bahkan kali ini jumlahnya menjadi lebih banyak. Ada yang berbentuk babi berwarna hitam dengan kepala perempuan, ada yang tingginya melampaui atap rumah warga, liurnya terus menetes, menjijikkan. Aku tidak memedulikan mereka, dan terus melangkah menuju warkop.
Daya pada ponselku sudah hampir habis, indikator baterai menunjukkan 19 persen. Lalu aku menghubungkannya dengan pengisi daya.
Sambil mengisi daya, aku membuka aplikasi perpesanan instan, tapi tidak ada pesan yang masuk, kecuali dari Bang Yusuf. Dia mengirimkan beberapa foto hasil pencarian nomor telepon yang aku berikan tadi.
Foto pertama menunjukkan nomor ponsel Riska pada pukul 16.05 saat pembunuhan terjadi, lokasinya ada di rumah. Foto kedua, pada waktu yang sama, ada tiga nomor ponsel berada di gubuk tidak jauh dari danau. Dua nomor ponsel yang tercantum adalah nomor Syachrul dan Nurdin, terduga pelaku lainnya. Sementara nomor yang satu, aku tidak mengenalinya.
Aku mencarinya melalui aplikasi Get Contact, ternyata itu nomor telepon milik Dian, tante Riska.
Pukul 16.27, di gubuk dekat danau sudah tidak ada lagi nomor telepon yang terlacak. Ketiga nomor telepon sudah berpindah lokasi. Nomor telepon Syachrul dan Nurdin berada tidak jauh dari rumah Riska. Sementara nomor telepon Dian dan Riska berada pada titik yang sama, yakni di rumah Riska.
Selanjutnya, pukul 16.44 tiga nomor telepon berada pada lokasi yang sama, di gubuk dekat danau. Ketiga nomor telepon itu adalah nomor telepon Syachrul, Nurdin, dan nomor telepon Riska. Tapi satu jam kemudian hanya tersisa dua nomor telepon di situ. Nomor telepon Riska hilang dan tidak terdeteksi.
Pada pukul 21.07, nomor telepon Syachrul terdeteksi berada di danau, sementara nomor telepon Nurdin berada di pusat kota.
Dari riwayat lokasi nomor ponsel itu, aku menduga ada pembicaraan antara Dian tantenya Riska dengan Nurdin dan Syachrul. Lalu Dian pulang dan menyuruh Riska pergi agar kedua orang itu bisa melakukan aksinya.
Keduanya lalu memerkosa Riska di gubuk dekat danau, kemudian ditenggelamkan hidup-hidup ke dalam danau.
Tidak menunggu lama, aku menghubungi Mas Syawal, dan menceritakan hasil tracking nomor ponsel itu.
"Boleh saya tulis ya, Mas?," tanyaku meminta pertimbangannya.
Mas Syawal memperbolehkan aku menulisnya, dengan catatan aku harus kembali menghubungi Bang Yusuf untuk meminta persetujuannya. Aku juga harus kembali menghubungi Kasat Reskrim untuk meminta penjelasannya.
Bang Yusuf memperbolehkan aku menulisnya, dan mencantumkan namanya sebagai narasumber.
Setelah itu, aku menghubungi Kasat Reskrim melalui ponselnya. Sepertinya dia tidak terkejut mendengar penjelasanku. Bahkan kata dia, tadi sore pihaknya telah berhasil mengamankan Nurdin.
"Iya, tadi sore kami berhasil mengamankan lelaki Nr, yang diduga mengetahui kasus pembunuhan itu. Saat ini masih dalam pemeriksaan sebagai saksi. Rencananya kami juga akan memanggil perempuan Dn untuk diperiksa sebagai saksi," jelasnya.
Sekira 15 menit kemudian, naskah beritaku sudah selesai. Setelah mengirimnya, aku menuju kasir untuk membayar secangkir kopi pesananku, lalu menuju pulang.
Tapi perutku mulai mendendangkan musik kelaparan. Baru aku ingat, ternyata hari ini aku belum makan. Hanya beberapa potong cemilan dan tiga cangkir kopi yang masuk ke perutku.
Sebelum tiba di kos, aku singgah di warung makan langgananku, memesan nasi bungkus. Tapi ibu pemilik warung seperti ketakutan saat melihatku.
"Nak Akhsan nggak ngeboncengin hantu lagi kan?," tanyanya sambil terus memperhatikan sepeda motorku.
"Nggaklah bu, itu kemarin kayaknya dia cuma mau numpang, mau ngikut ke sini supaya ketemu Ibu. Mungkin sekarang dia malah tinggal di sini," ucapku sekenanya, sambil menakuti pemilik warung.
Dia memasang muka masam, tapi tetap menyiapkan pesananku meski sambil ngedumel. "Jangan gitu ah, Ibu takut beneran nih," kata dia.
Sekilas aku melihat bayangan berwarna biru melintas. Aku menoleh, dan ternyata benar dugaanku, Riska kembali muncul di sini. Tapi aku tidak tahu, apakah pemilik warung bisa melihatnya.
Kali ini sedikit berbeda, Riska hadir dengan seutas senyum pada bibirnya. Tatap matanya pun terlihat tidak terlalu menyiratkan kesedihan. Aku membalas senyumnya, sebelum pemilik warung berbalik ke arahku.
Sepertinya ibu pemilik warung tidak melihat Riska, karena saat dia berbalik, sama sekali tidak terkejut atau takut. Padahal Riska hanya beberapa belas sentimeter dari tempatnya berdiri.
Bagiku lebih bagus jika dia tidak menyadari kehadiran Riska. Setidaknya dia tidak harus mengusirku cepat dari warungnya.
Setelah membayar pesananku, aku pulang dan langsung beristirahat. Tapi, lagi-lagi mimpi itu hadir. Nila dan Riska kembali menemaniku. Kali ini keduanya tampak ceria.
Aku tidak tahu tempat ini. Mereka berdua mengapitku, dan tetiba aku berada di sini, di dalam ruangan yang bersih dengan dinding berwarna hijau. Di sisi kiriku, terdapat semacam peraduan berlapis emas dengan kelambu hijau tipis.
Aroma wangi dalam ruangan itu membuatku merasa sangat santai dan nyaman, tapi bersamaan dengan merasuknya rasa nyaman itu, birahiku meningkat drastis. 'Sesuatu' pada bagian bawah perutku menegang.
Aku mulai berusaha mencumbu mereka. Tapi keduanya mengelak. Mereka mengajakku duduk di belakang meja kecil berukir ornamen tradisional.
Sesaat kemudian, seorang pria berusia sekira 60 tahun, memasuki ruangan itu. Di belakangnya, dua pria lain yang lebih muda, mengikuti. Pakaian mereka tampak rapi, seperti akan melakukan suatu prosesi.
Pria berusia 60 tahunan itu duduk di depanku, kami saling berhadap-hadapan. Sementara dua lainnya, duduk di samping kiri dan kanannya.
Pria itu mengeluarkan kotak kecil dari kantongnya, yang ternyata berisi tiga cincin perak. Dia lalu meraih tanganku, dan menanyakan, apakah aku bersedia menjadikan Riska dan Nila sebagai istriku?.
Tanpa berpikir lama, aku menjawab bahwa aku bersedia. Toh ini hanya mimpi, pikirku dalam hati.
"Ini bukan sekadar mimpi, Nak Akhsan. Ini kenyataan," ucapnya seperti membaca apa yang ada dalam pikiranku.
"Iya pak, saya bersedia," ucapku menegaskan.
"Sah," dua pria muda di belakangnya spontan menyahut bersamaan.
Kemudian, pria berusia 60 tahunan yang ternyata seorang penghulu di dunia lain itu, memakaikan salah satu cincin perak pada jari manisku. Rasa dingin merambat memasuki seluruh bagian tubuhku.
Dua cincin lainnya dipakaikan pada jari manis Nila dan Riska, seraya mengatakan bahwa kami bertiga sudah sah menjadi suami istri.
Ketiganya lalu keluar kamar. Nila dan Riska mengikutinya hingga ke pintu, lalu mengunci pintu kamar itu.
Bersambung