Sepertinya aku tidak perlu menjelaskan secara detail hal-hal yang terjadi di kamar, yang jelas setelah keluar dari kamar, tubuhku terasa lelah tapi bahagia dan puas.
Nila dan Riska pun sepertinya merasakan hal yang sama. Bedanya, mereka lebih sering tersipu-sipu dengan pipi yang merona. Sesekali Riska menunduk sambil memainkan ujung gaun dengan jemarinya.
Aku tahu ini hanya mimpi, tapi aku enggan untuk terjaga dan meninggalkan mimpi ini. Jika aku bisa memohon, biarlah aku tetap berada dalam dunia ini, selamanya.
Seandainya ini kenyataan, aku yakin, keduanya pasti akan cemburu satu sama lain. Tapi ini tidak. Mereka bahkan saling bergandengan saat menuju ke arahku, setelah satu persatu membersihkan diri di toilet.
Suara azan subuh yang cukup nyaring, lebih dari cukup untuk membangunkan tidurku. Jujur aku kecewa karena harus bangun saat aku menikmati bunga tidurku.
Sedikit malas, aku beranjak ke toilet untuk buang air kecil dan mengambil air wudhu. Tapi, aku melihat cincin perak melingkar pada jari manisku. Aku memeriksa bagian lain pada tubuhku, sekadar memastikan apakah aku mimpi basah atau tidak. Ada sesuatu yang licin. Sepertinya aku harus mandi wajib pagi ini.
Seperti hari-hari lain, ritual rutin pagi ini aku lakukan. Mulai dari mandi, buka-buka internet, seterika baju, sampai meracik kopi sendiri. Sekira pukul 08.30 seluruh ritual rutinku sudah kelar. Tinggal persiapan untuk berangkat kerja.
Tujuan pertamaku sudah jelas, Mapolres, untuk menanyakan kelanjutan kasus pembunuhan Riska. Hanya saja aku belum mempunyai bahan pertanyaan. Tapi biarlah, biasanya itu mengalir sendiri saat bertemu narasumber.
Seperti kemarin, aku hanya butuh waktu beberapa puluh menit untuk tiba di mapolres. Selain tidak ada hal menarik sepanjang perjalanan, aku sengaja mempersingkat kisahnya. Aku ingin cerita ini segera selesai, agar kisah selanjutnya bisa segera kubagikan.
Setiba di Mapolres, aku langsung menuju ruangan Kasat Reskrim. Sepertinya dia sudah menungguku. Beberapa stafnya terlihat menyiapkan kursi dan meja, serta spanduk yang masih tergulung.
"Gimana San? Beritamu hari ini eksklusif. Ini ada perkembangan terbaru, tapi belum mau saya sampaikan. Nanti aja, jam 10, pas konferensi pers," ucapnya sambil tertawa.
Ternyata, dia sudah mengundang beberapa teman jurnalis lain melalui grup aplikasi perpesanan instan. Aku baru menyadarinya saat membuka grup itu di hadapannya.
"Ya udah Bang, nggak apa-apa," kataku.
"Udah fix ya Bang? Pembunuhnya memang dua orang kan? Syachrul dan Nurdin. Terus Dian, tantenya Riska, perannya sebagai apa?," tanyaku melanjutkan.
Dia hanya tertawa menggoda. Dia tahu bahwa aku penasaran dengan kasus itu.
Tapi kemudian dia berbaik hati, dan menjelaskan motif pembunuhan dan keterlibatan Dian serta Nurdin.
"Eksekutornya cuma satu, si Syachrul. Tapi otaknya si Nurdin. Sementara perempuan Dn, itu murni sebagai saksi dan tidak terlibat dalam pembunuhan. Hanya saja, dia bisa dikenai pidana karena dia mengetahui tapi tidak melaporkan pada penegak hukum," ucapnya memaparkan.
Aku masih belum mengerti maksud penjelasannya, karena berdasarkan pernyataan Nila beberapa hari lalu, tante Dian adalah orang yang serakah dan menjadi penyebab pembunuhan. Tapi aku tidak mau menyinggung tentang Nila di hadapan Kasat Reskrim.
"Maksudnya bagaimana, Bang? Dian tidak terlibat dalam pembunuhan? Bukannya dia sempat bertemu dengan dua pelaku sebelum kejadian?," tanyaku tak mengerti.
"Udah deh, entar aja pas konferensi pers. Daripada aku harus ngejelasin berulang-ulang," lanjutnya.
Tepat pukul 10.00, di lobi Mapolres, konferensi pers dimulai. Belasan jurnalis hadir di situ. Sebelumnya, beberapa teman menanyakan beritaku yang terbit hari ini.
Dalam konferensi pers, selain menjelaskan apa yang sudah disampaikan padaku, Kasat Reskrim juga menjelaskan bahwa Nurdin merupakan renternir. Sementara Dian, terlilit hutang pada Nurdin, jumlahnya ratusan juta rupiah.
Saat berhutang, Dian berharap salah satu usaha suaminya bisa berkembang. Tetapi ternyata usaha itu bangkrut.
"Lelaki Nr ini kemudian memaksa perempuan Dn untuk membayar, karena lelaki Nr melihat bahwa suami Dn memiliki perusahaan yang berkembang. Padahal perusahaan itu milik orangtua korban Riska," jelasnya.
Setelah mengetahui bahwa perusahaan itu milik orangtua Riska yang sudah meninggal, Nurdin semakin menjadi. Dia bahkan mengatakan pada Dian tentang rencananya membunuh Riska, agar Dian dapat membayar hutangnya.
Dian tidak setuju dengan rencana Nurdin, dan meminta Riska agar meninggalkan kota ini, untuk melanjutkan kuliahnya di kota lain. Tapi Riska tidak mau.
Bahkan saat kejadian, sebenarnya Dian menyuruh Riska untuk pergi ke luar kota. Namun sayang, Nurdin bersama Syachrul sudah menunggunya di dekat rumah.
"Kedua pelaku kemudian menjalankan aksinya. Tapi kemudian datang perempuan Nila untuk membantu korban Riska. Akhirnya keduanya dibunuh. Jasad perempuan Nila baru kita temukan tadi malam, setelah kita lakukan pengembangan pada kedua pelaku," paparnya.
Aku tersentak mendengar nama Nila. Tapi aku tidak yakin bahwa Nila yang dimaksud adalah Nila yang selama ini aku temui.
Kasat Reskrim menunjukkan foto Nila, dan itu adalah 'Nilaku'. Aku tidak bisa berkata-kata. Ternyata selama ini keduanya adalah hantu, arwah mereka penasaran.
Aku mengalihkan pandanganku pada kedua pelaku. Di samping mereka, Nila dan Riska tersenyum, sambil melambaikan tangannya padaku.