Di antara guyuran air shower, seperti ada sesuatu yang halus mengusap pundak dan punggungku. Tapi aku mengabaikannya. Hangatnya butir-butir air yang mengenai kulitku, menyamarkan sentuhan halus itu.

Namun sentuhan itu terasa nyata saat keran air kumatikan. Aku mencoba meraih 'sesuatu' itu, tapi tanganku tidak mendapatkan apapun. Sepertinya sentuhan itu hanya perasaanku saja.

Aku melanjutkan mandiku. Setelah mengusapkan sampo ke seluruh rambutku dan membilasnya, air shower kembali kualirkan. Perlahan membasahi rambut panjang hingga ujung jemari kakiku.

Sentuhan itu lagi-lagi terasa. Kali ini begitu nyata. Menurutku, rasanya seperti rambut basah. Spontan aku menepisnya dan membuka mataku. Tapi lagi-lagi tidak ada apapun di dalam kamar mandi ini.

Segera aku menyelesaikan mandiku,  mengambil handuk dan melilitkannya pada tubuhku. Cermin yang menempel di dinding tampak berembun akibat uap air hangat.

Melalui cermin berembun, samar terlihat rambut terjuntai dari langit-langit kamar mandi hotel itu. Sontak aku menoleh, hanya ada lubang bekas exhaust yang belum ditutup.

Dengan jemariku, aku mengusap cermin, agar embunnya hilang. Tidak ada apapun pada pantulan cermin. Mungkin itu hanya halusinasiku saja.

Tapi, tetiba ujung mataku kembali melihat bayangan hitam terjuntai keluar dari lobang di langit-langit.

"Fitri, kok lama amat mandinya?," suara Nana, rekan kerjaku, sambil mengetuk pintu kamar mandi.

Aku dan Nana mendapat tugas dari kantor, untuk melakukan survei tentang tingkat kepuasan masyarakat terhadap salah satu produk buatan kantor kami, termasuk keluhan dan keinginan mereka.

Kantor kami membutuhkan hasil survei dari beberapa kota dan kabupaten, khususnya yang jumlah penjualan produknya minim.

Di kota ini, penjualan produk buatan kantor kami menurun drastis sejak produk kompetitor masuk. Padahal dari segi kualitas, produk kami jauh lebih bagus.

Aku kembali menoleh ke arah lubang di langit-langit, dan ternyata memang tidak ada apa-apa, hanya hitam karena gelap.

"Iya Na, ini udah kelar, tinggal pakai handuk," jawabku sambil membuka pintu.

Kamar hotel ini cukup luas, meski bangunan hotelnya merupakan bangunan lama. Pendingin ruangan berkapastitas satu PK, cukup mampu membuatku kedinginan.

Lukisan bergambar pemandangan tergantung pada dinding berwarna hijau muda. Di sampingnya, ada lukisan lain bermotif batik. Sepertinya hotel ini mencoba mengambil tema klasik, walaupun menurutku terlalu dipaksakan.

Jendela hotel menghadap ke pusat kota. Dari situ dapat dilihat padatnya kendaraan yang lalu lalang, pekerja-pekerja yang tengah membangun gedung, serta puncak menara salah satu monumen bersejarah.

Di atas meja terdapat pesawat telepon, alat pemanas air, beberapa bungkus kopi dan teh, serta dua gelas berukuran sedang.

Aku baru saja berdiri untuk menyeduh secangkir kopi, saat Nana tetiba berteriak dari dalam kamar mandi.

Tanpa menunggu lama, aku mencoba membuka pintu kamar mandi. Ternyata Nana tidak menguncinya. Saat aku masuk, handuk sudah membalut tubuhnya, tapi dia jongkok di sudut dekat wastafel, sambil menutup mata menggunakan kedua tangan. Tubuhnya gemetaran dan terguncanng pelan. Dia menangis terisak.

"Kenapa, Na?," tanyaku sambil mencoba menenangkannya.

"Ada perempuan berambut panjang keluar dari lubang itu, tapi kepalanya muncul duluan. Rambutnya mengenai bahuku," ucapnya ketakutan.

Aku menoleh ke arah lubang itu, tapi seperti tadi, tidak ada apapun di situ. Lalu aku keluar untuk mengambil ponsel, dan menyalakan senternya. Kuarahkan cahaya senter ke arah lubang, agar sedikit lebih terang.

"Coba lihat, tidak ada apa-apa. Tidak mungkin ada orang keluar dari situ, karena tingginya tidak sampai satu meter," lanjutku.

Meski dengan sedikit ragu, Nana  menengok ke atas, kemudian dia menggeleng.

"Tadi aku melihatnya dari bayangan di cermin. Memang cerminnya berembun, tapi aku yakin bahwa itu rambut yang terjuntai," dia berkeras.

Setelah melalui sedikit diskusi, akhirnya kami mengambil kesimpulan, bahwa yang kami lihat dari cermin hanya bayangan dari lubang itu. Untuk memastikannya, kami berencana bertanya pada petugas hotel saat keluar nanti.

"Ah, nggak mungkin ada apa-apa, Mbak. Wong di situ itu gerah, udara panas dari AC juga masuknya ke atas langit-langit," kata seorang petugas hotel saat kami bertanya.

Dia menjelaskan, sejak lama lubang itu akan kembali ditutup, hanya saja pihak hotel masih menunggu waktu, agar bisa dilaksanakan bersamaan dengan renovasi lain.

Aku merasa lega mendengar penjelasannya. Begitu juga dengan Nana. Aku dapat melihat dari raut wajahnya.

Kami pun keluar untuk melaksanakan survei pada beberapa titik. Aku dan Nana berbagi tugas. Nana menyurvei pemilik toko, sementara aku menyurvei konsumennya.

Hampir seharian kami tandem. Belasan pemilik toko dan konsumen sudah memberikan jawabannya. Tapi kami masih membutuhkan banyak responden. Setidaknya sampai tiga hari ke depan.

Kami tiba di hotel setelah petang, dan berniat langsung mandi, agar tubuh menjadi lebih segar. Kali ini Nana mendapatkan giliran mandi duluan.

Meski tidak terjadi apa-apa saat di kamar mandi, Nana mengaku masih seperti melihat bayangan itu. Tapi saat aku mandi menggunakan air dingin, dan mencoba melihat ke cermin serta lubang itu, tidak ada apapun.

Setelah makan malam dan menyelesaikan laporan hasil survei hari itu, kami segera tidur di tempat tidur masing-masing.

Aku terbangun saat tengah malam. Suhu pendingin ruangan terlalu dingin, membuatku ingin buang air kecil. Aku mematikan pendingin ruangan sebelum melangkah ke kamar mandi.

Seorang perempuan bergaun putih ala noni Belanda zaman dulu, berdiri tepat di tengah kamar mandi. Rambutmya panjang terurai hingga ke punggung. Matanya menatap lurus ke arahku. Spontan aku berteriak dan tidak jadi masuk.

"Kenapa Fit? Kamu lihat lagi?," tanya Nana.

Aku tidak bisa berucap, hanya mengangguk ketakutan. Perasaan ingin buang air kecil pun lenyap.

Nana mendekatiku sambil membawakan sebotol air dalam kemasan, memberikannya padaku, dan mengusap-usap bahuku.

"Sepertinya hotel ini memang ada hantunya. Besok kita pindah hotel," dia menyarankan.

Hampir sepanjang malam aku tidak bisa tidur, entah bagaimana dengan Nana. Aku melihatnya cukup nyenyak di balik selimut.

Mungkin menjelang subuh baru aku tertidur. Itu pun masih dibayangi dengan mimpi tentang sosok perempuan itu.

Sekira pukul 6.30 aku terbangun. Nana terlihat sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Secangkir kopi panas dan secangkir teh sudah tersaji di meja.

"Fit, sepertinya kita nggak bisa cek out hari ini, karena kan kita baliknya sore. Padahal waktu cek out kan jam dua belas," kata dia.

Aku menyarankan agar kami pindah kamar saja, dengan lantai yang berbeda. Siapa tahu hantu itu cuma ada di kamar ini.

Setelah siap untuk berangkat, aku dan Nana membawa semua barang, lalu meminta pada resepsionis untuk berpindah kamar dan lantai.

Seperti hari pertama, belasan responden berhasil kami survei. Salah satunya, seorang pria paruh baya yang mengaku berprofesi sebagai paranormal.

Aku iseng menceritakan kejadian yang kami alami pada bapak itu. Mulai dari awal hingga aku melihat jelas sosok perempuan itu di kamar mandi.

Bapak itu terdiam, lalu menyebut detail penampilan hantu itu, dan mengonfirmasi padaku. "Persis pak, seperti itu penampilan dan wajahnya," kataku.

Kata dia, langkah yang kami ambil untuk pindah kamar sudah tepat. Karena, meskipun tidak sampai membunuh atau melukai, hantu noni itu akan terus hadir dalam mimpi. Jika orang yang didatangi dalam mimpi tidak kuat, bisa menjadi gila.

Percakapan kami terputus, karena ponselku berdering. Nomor telepon yang masuk tidak aku kenal.

Setelah aku angkat, ternyata itu adalah ibu pemilik kos yang beberapa hari lalu aku datangi. Dia menanyakan, apakah aku jadi kos di tempatnya. "Kalau tidak jadi, ini ada yang mau ambil, Mbak. Soalnya tinggal satu kamar," kata dia.

Aku memastikan untuk kos di situ. Selain bersih, lokasinya juga tidak jauh dari kantor, sehingga aku bisa hemat ongkos transport.

Aku langsung membayar untuk setahun, melalui internet banking ke nomor rekening ibu itu.

"Oke Mbak, aturannya seperti yang saya jelaskan kemarin ya. Uang tidak bisa diminta kembali, tidak boleh terima tamu lawan jenis di dalam kamar, pagar dikunci jam 20.00," dia menjelaskan.

Setelah selesai urusan tentang tempat kos, paranormal tadi melanjutkan penjelasannya. Kata dia, hantu noni itu adalah seorang anak pejabat, tapi dia dibunuh oleh ayahnya sendiri, karena noni itu melihat sang ayah sedang selingkuh dengan pembantunya yang pribumi.

Jasad noni itu kemudian disimpan di langit-langit kamar mandinya, melalui lubang yang ada. Dulu, kata dia, setiap langit-langit kamar mandi selalu ada lubang, yang berfungsi sebagai jalan naik untuk memperbaiki genteng bocor atau instalasi listrik.

Sejak saat itu, noni tersebut selalu muncul di kamar mandi mana pun, yang memiliki cermin dan lubang pada langit-langitnya.

Setelah pindah kamar, tidak ada lagi gangguan yang kami alami. Hingga akhirnya kami menyelesaikan tugas survei, dan pulang.

Hari pertama setelah tiba di Malang, kota tempat kantorku berada, aku langsung mengangkut semua barang dari kos lama, karena aku tidak berniat untuk tetap kos di situ.

Setibanya di kos yang baru. Ibu kos menyerahkan kunci kamar dan kunci pagar padaku. Lalu menunjukkan kamar yang akan aku tempati nantinya.

Setelah seluruh barang dimasukkan dan ditata, aku berniat untuk cuci tangan.

Kamar kosku menggunakan kamar mandi di dalam kamar, agar privasi para penghuninya terjaga.

Saat membuka pintu kamar mandi, lubang berukuran 50x50 sentimeter, menganga di langit-langit. Satu cermin berukuran hampir sama, menempel di dinding. Saya takut hantu noni dipastikan akan mendatangiku setiap malam, sepanjang tahun.