Aku baru saja meletakkan ponselku, tetapi suara deringnya kembali terdengar. Dengan sedikit enggan, aku kembali melangkah ke meja tempatku menyimpan ponsel.

Lagi-lagi Nila. Dia kembali menghubungiku melalui panggilan video. Sebetulnya aku enggan menerima panggilan video itu. Bukan karena tidak mau berkomunikasi dengan Nila, tapi karena aku sedikit ngeri mendengar suaranya.

Tetiba saja listrik padam. Cahaya kilat yang sesekali terlihat dari sela ventilasi kamarku, berpadu dengan suara gemericik rintik hujan yang jatuh di halaman kos.

Layar ponselku masih menyala, suara nada deringnya juga masih terdengar berulang, karena Nila mengulang panggilan video. Gambar fotonya yang lumayan cantik, muncul pada layar ponsel.

Jika aku tak menerima panggilan video itu, kemungkinan besar dia akan terus menelepon atau mengulang panggilan video. Akhirnya, meski sedikit ragu, aku menerima panggilan videonya.

"Pasti kamu nggak mau angkat telepon aku kan tadi? Maaf kalau aku mengganggu mas, tapi aku cuma mau minta tolong, coba deh mas bikin liputan investigasi soal kematian yang aku ceritain tadi," ucapnya berharap.

Seperti tadi, meski berkomunikasi dengan fitur panggilan video, wajah Nila tidak muncul di layar, hanya warna hitam, seperti ada sesuatu yang menutupi kamera depan ponselnya.

"Kok bengong sih mas? bantuin Nila ya?," sambungnya berharap.

"Nila kan sering nulis buat beberapa situs, kok bukan Nila aja yang investigasi?," ucapku mencoba menolak permintaannya.

Lalu terdengar suara, seperti nafas panjang yang diembuskan. Kemudian hening selama beberapa detik. Hanya suara hujan serta suara pintu gerbang rumah kos yang dibuka.

"Gini mas, Nila itu nulis artikel tentang wisata, kuliner dan semacamnya. Ngirimnya juga bukan ke portal berita, jadi nggak bisa nulis yang begituan. Please, bantu Nila ya," kata dia.

Aku memintanya untuk menceritakan kronologis kejadian, serta data-data yang dimilikinya. Tapi Nila hanya mengatakan, bahwa data yang dimilikinya valid.

Hujan mulai reda, listrik pun telah kembali menyala. Tapi rasa merindingku belum juga hilang. Terlebih bayangan pepohonan dan lampu terpantul oleh sisa air hujan di halaman. Dalam imajinasiku, bentuknya seperti kepala orang dengan dua mata bersinar kekuningan.

Suara gemerincing penjual sate keliling sayup-sayup terdengar. Di sini penjual sate keliling menggunakan beberapa lonceng yang biasanya dipakaikan pada leher kucing atau anjing. Semakin lama jaraknya seperti semakin dekat, suaranya semakin jelas.

Niatku untuk keluar membeli makanan kuurungkan. Aku berubah pikiran setelah mendengar suara gemerincing itu. Kuputuskan untuk membeli seporsi sate dengan lontong.

Suaranya gemerincing itu semakin dekat. Sepertinya dia sudah ada di jalanan depan kos.

Aku keluar membawa piring kosong untuk tempat sate. Dari dalam aku tidak melihat sinar lampu petromaks di luar gerbang kos. Biasanya pendar cahaya petromaks akan terlihat jika penjual sate itu berada di luar tembok rumah kos. Aku tidak tahu alasannya tetap menggunakan petromaks, padahal saat ini sudah banyak lampu bertenaga aki atau baterai.

Aku melangkah menuju gerbang dan membukanya. Suaranya berderit, mungkin karena sudah cukup lama tidak diberi pelumas. Biasanya aku tidak membayangkan apa-apa saat mendengar suara gerbang dibuka. Tapi malam ini, suara itu membuatku merinding dan berpikir hal-hal yang menyeramkan.

Di luar pagar aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi penjual sate itu tidak terlihat. Hanya temaram lampu jalan menyinari aspal basah di bawahnya. Aroma sate masih tercium, tapi berpadu dengan wangi bunga, entah melati atau kembang sedap malam.

Pikiranku melayang. Menurutku tidak masuk akal jika penjual sate begitu cepat pergi. Rumah kos ini terletak di tengah, jarak ke ujung jalan sebelah kiri kurang lebih 80 meter, sementara jarak ke ujung kanan menurut perkiraanku sekitar 100 meter. Tidak mungkin penjual sate berjalan secepat itu dalam waktu semenit. Apalagi aromanya masih tercium.

Aku kembali masuk, tanpa menutup pintu pagar. Rasa laparku tetiba hilang. Setiba dalam kamar, aku sengaja memutar kencang radio dari ponselku. Suara Bon Jovi atau yang lebih dikenal dengan Jon Bon Jovi, mengalun, menyanyikan Bed of Roses.

Setelah meneguk sepertiga gelas air putih, aku duduk di pinggir tempat tidur. Tetiba bau wangi bunga melintas. Aromanya tidak setajam saat aku di luar tadi, tapi cukup mampu kembali membuat bulu kudukku berdiri.

Suara Bon Jovi dari radio ponselku masih terdengar, tapi semakin tidak jelas. Suaranya seperti suara radio yang frekuensinya tidak tepat. Perlahan suara Bon Jovi 'tumpang tindih' dengan suara gamelan.

Sesaat kemudian suara musik dan gamelan itu menghilang, berganti dengan suara seperti radio rusak, lalu hening.

Aku mematikan radio pada ponselku, sambil memikirkan semua 'kebetulan' aneh, yang aku alami sejak pertemuanku dengan Nila. Mulai dari panggilan video yang gelap, suara yang seperti berasal dari tempat yang sangat jauh, suara gemerincing penjual sate, dan radio ponselku yang tiba-tiba tidak mengeluarkan suara.

Setelah mengenakan jaket yang tergantung pada dinding kamar, aku keluar, mengambil helem dan menyalakan mesin sepeda motorku, lalu pergi. Aku hanya ingin keluar dari rumah, sekadar membeli secangkir kopi dan makan malam.

Genangan air pada jalanan berlubang, membuatku terpaksa memperlambat laju sepeda motorku. Sambil berharap tidak ada lagi kejadian aneh, aku memperhatikan sisi sebelah kanan jalan.

Tidak ada yang aneh dari pohon perindang jalan di situ. Tidak ada juga bau wangi kembang atau suara-suara tawa. Aku merasa sedikit tenang, setidaknya tanda-tanda keberadaan makhluk halus seperti yang sering ada dalam film-film horor, tidak kutemukan di situ. Hanya saja aku merasa beban sepeda motorku menjadi sedikit lebih berat. Mungkin karena sudah beberapa lama tidak diservis.

Saat berbelok menuju jalan raya, aku semakin tenang. Kendaraan yang melintas, baik dari arah depan maupun searah denganku, semakin banyak. Aku merasa tidak sendiri.

"Bu, kopi hitam satu ya, dengan nasi ayam," ucapku pada pemilik warung, setibaku di warung langganan.

Ibu pemilik warung ini sudah cukup akrab denganku. Mungkin karena aku cukup lama menjadi langganan warungnya.

Sambil menggoreng, dia menatapku, seperti ingin bertanya. Aku sedikit curiga dengan sikapnya. Aku sangat mengenal mimik itu, mimik yang hanya muncul saat dia ingin mengerjai atau 'menggoda'.

"Cieee.... Yang udah punya cewek baru, tapi nggak ngenalin ke ibu," katanya sambil menahan tawa.

"Ini nasi ayamnya satu atau dua?," sambungnya.

"Satu aja deh bu," jawabku.

"Cieeee.... Nak Akhsan ini romantis atau ngirit? Masa bareng ceweknya, cuma pesan satu porsi? Sepiring berdua ya?, Terus, itu kok ceweknya nggak diajakin masuk?," dia bertanya tanpa jeda.

Aku tidak menanggapi gurauannya. Hanya mengambil sepotong bakwan dan mengunyahnya, sambil menunggu pemilik warung menyelesaikan pesananku.

Tidak butuh waktu lama, segelas kopi yang dimasukkan dalam plastik dan seporsi nasi bungkus selesai dalam hitungan menit.

Aku mengambil pesananku, membayar, kemudian menuju ke tempat aku memarkir sepeda motorku.

"Salam buat cewekmu ya, dia cantik lho. Lain kali kalau dibawa ke sini, kenalin ke ibu dong," ucapnya setengah berteriak, saat sepeda motorku mulai berjalan.

Aku hanya tertawa, seperti biasanya jika dia bercanda padaku. "Pasti aku kenalin, Bu," teriakku sambil menuju pulang.

Setelah menghabiskan makan malamku di kamar, merokok, dan menyeruput kopi hitamku, aku berbaring dan membuka-buka percakapan Whatsapp. Ada beberapa pesan baru yang masuk.

"Woi gila, kamu ngerjain aku ya? Ngapain tadi video call tapi kameranya ditutup? Nakutin orang aja," tulis Rahmat, teman kerjaku, dalam pesan Whatsappnya.

Beberapa pesan lain juga mengatakan hal yang sama, bahwa aku melakukan panggilan video pada mereka, tapi yang muncul hanya hitam. Padahal aku tidak pernah melakukannya. Panggilan video yang aku lakukan hanya dengan Nila.

Aku membalas pesan mereka, bahwa aku tidak pernah melakukan panggilan video. Tapi mereka tidak percaya.

Aku tertidur dengan ponsel masih ada dalam genggaman. Tapi tetiba aku terbangun. Seorang gadis bergaun biru duduk di sampingku. Tepat di pinggir tempat tidur. Menurutku, penampilannya anggun, meski sedikit seksi.

Rambutnya tidak terlalu panjang, terurai hingga di bahu. Kulitnya tidak terlalu putih, tapi tampak bersih. Bentuk wajahnya bulat telur, dengan alis yang cukup tebal. Hidungnya tidak pesek, tapi tidak juga terlalu mancung. Sorot mata dan raut wajahnya seperti menyiratkan kesedihan yang dalam.

Kalung berwarna perak menghias lehernya, liontin berbentuk huruf 'R', menggantung tepat di atas belahan dadanya. Dua gelang pada pergelangan tangannya, menambah keanggunan.

Aku tidak sempat banyak berpikir, karena cukup terpesona dengan penampilannya. Yang ada dalam otakku hanya pertanyaan, bagaimana gadis ini bisa masuk ke dalam kamarku. Memang pintu kamarku tidak pernah terkunci, tapi pintu pagar selalu dikunci oleh bapak kos.

Atau mungkin cewek ini pacar teman kosku, tapi dia salah masuk kamar. Atau dia sedang marahan dengan pacarnya, kemudian masuk ke kamarku. Semoga saja dugaan kedua yang benar.

"Mbak cari siapa? Kok ada di kamarku? Ada yang bisa saya bantu? Oh iya, perkenalkan, namaku Akhsan," ucapku sambil mengulurkan tangan.

Dia tersenyum, sangat manis meski tampak jelas bahwa itu senyum dipaksa. Senyum manis itu tidak mengurangi raut kesedihan pada wajahnya. Jujur saja, aku berharap dia baru saja diputuskan oleh pacarnya.

Dia menyambut uluran tanganku, tapi tidak menyebutkan nama. Gelang yang ada pada pergelangan tangannya menimbulkan suara gemerincing, seperti gemerincing lonceng penjual sate keliling.

Jemari tangan kirinya kemudian diulurkan, memegang jemari kananku yang sedang berjabat dengan jemari tangan kanannya. Dia meletakkannya pada punggung jemari tangan kananku, lalu perlahan dia menutup matanya.

Jantungku berdegup menjadi lebih kencang. Aliran darahku seolah melaju lebih cepat. Aku mengabaikan suara gemerincing dari gelang-gelang di tangannya. Spontan aku turut menutup mataku.

Aku membayangkan bagaimana bahagianya bapak dan emak di kampung, jika gadis ini menjadi jodohku. Maklum saja, bapak dan emak sudah beberapa kali bertanya tentang calon istriku.

Bapak dan emak tidak tahu bahwa aku jomblo akut. Meski kata teman-teman aku jago merayu, tapi biasanya cewek-cewek yang aku dekati mundur perlahan jika aku menyatakan cinta.

Khayalanku semakin tidak terkontrol. Darah yang mengalir di tubuh ini, seolah menuju satu bagian, mengisi urat-urat di situ hingga menegang. Aku membayangkan malam pertama setelah duduk di pelaminan pada pesta pernikahanku dengan gadis ini.

Masih dengan mata terpejam, jemari tangan kiriku memegang jemari tangan kirinya, yang masih menggenggam punggung jemari tangan kananku.

"Wahai semesta, haruskah terjadi malam ini? Aku benar-benar tidak tahan. Aku tidak peduli, meski gadis ini hantu sekalipun," ucapku dalam hati. Aku benar-benar tidak bisa mengontrol khayalan dan nafsuku.

Tetiba wangi bunga merasuk dalam rongga hidungku, bersamaan dengan gadis berliontin inisial R tersebut melepaskan genggamannya. Wanginya lembut, seperti parfum-parfum mahal, harum tapi tidak menyengat.

Aku membuka mataku, dan menyadari bahwa aku tak lagi ada dalam kamarku. Aku berada di tepi danau di utara kota. Cahaya bulan memantul pada permukaan danau. Gadis itu duduk dan menangis sesenggukan di bawah pohon di tepi danau.

Suara burung malam bersahutan, seperti melodi yang mengiringi tangis gadis bergaun biru itu.

Dia berdiri dan kembali menggenggam jemariku, memberi isyarat bahwa aku harus mengikutinya. Di antara takut dan penasaran, aku mengikuti maunya, melangkah menuju ke tengah danau, hingga sebagian celanaku basah.

Tetiba ada sesuatu, sepeti karung berisi barang yang berat, jatuh ke danau. Percikan air danau mengenai mataku, membuatku spontan menutup mata.

Saat aku membuka mata kembali, aku sudah ada di dalam kamar, tapi bukan kamarku. Sepertinya ini kamar cewek. Dindingnya berwarna hijau muda, dengan beberapa hiasan khas cewek.

Di sudut sebelah kanan pintu masuk, ada meja berukuran sedang. Di atas meja itu beberapa buku tersusun rapi, satu boneka beruang dengan tinggi sekira 15 sentimeter, satu tempat make up, tempat pulpen dan peralatan tulis menulis, serta satu pigura dengan foto Nila di dalamnya.

Di sebelah meja itu ada lemari pakaian setinggi dua meter. Di atasnya terletak beberapa kardus, tapi aku tidak tahu isinya.

Di samping lemari itu, ada satu tempat tidur berukuran sedang, dengan posisi melintang. Di atasnya ada dua bantal dengan sarung bantal sewarna dengan tembok, satu guling, dan satu boneka berbentuk anak gadis, tingginya sekitar 60 sentimeter. Boneka itu didudukkan di atas kasur, sambil bersandar pada tembok.

Gadis berliontin inisial 'R' itu menuju ke bawah meja, lalu membuka salah satu tegel atau ubin di situ. Rupanya itu menjadi tempat penyimpanan rahasia.  Dia menunjukkan ponsel di dalamnya, yang tersambung pada charger atau pengisi daya.

Tetiba terdengar suara nada dering ponselku, dan aku terbangun. Ponselku masih ada dalam genggamanku. Aku pun masih tergeletak di atas tempat tidur di kamarku, tapi aku merasa sebagian celanaku basah. Ada lumpur pada jemari kakiku.

"Akhsan, entar di polres ada konferensi pers tentang penemuan mayat wanita, jam sepuluh. Kamu ke sana ya," koordinator liputan (korlipku) memerintah. Seperti biasa jika menelepon, dia cuma memberi penugasan tanpa menunggu jawaban, lalu menutup telepon.

Aku meletakkan ponsel, lalu mengingat dan memikirkan 'mimpi' yang aku alami tadi.

Bersambung...