DUA pria yang didatangi oleh Wulan spontan terbahak. Uluran jemari tangannya tak ditanggapi. Keduanya semakin keras tertawa, membuat bahu mereka terguncang.

Hampir seluruh pengunjung kafe menoleh pada mereka bertiga. Jemari Wulan masih terulur tanpa sambutan. Kini wajahnya memerah, antara malu dan marah. Dia merasa sangat terhina.

Dia mengenal salah satu pemuda itu, Doni, melalui aplikasi kencan. Awalnya Wulan dan Doni hanya saling bersapa melalui aplikasi itu. Lalu keduanya bertukar nomor ponsel dan aplikasi Whatsapp. Tapi mereka tidak bernah bertemu langsung.

Sayangnya, Wulan lupa bahwa foto yang dipasangnya pada seluruh media sosial miliknya, adalah foto hasil editan dari salah satu aplikasi editor gambar, sehingga wajahnya nampak jauh lebih cantik daripada aslinya.

Hingga akhirnya, tadi pagi Doni mengirimkan pesan, yang isinya meminta pada Wulan untuk bertemu di salah satu kafe pada sore harinya.

Sebelum berangkat menuju kafe, Wulan sudah mengirim pesan pada Doni, bahwa dirinya mengenakan kaus berwarna hijau. Doni menjawab, bahwa dia bersama seorang temannya, Raka. Keduanya mengenakan kaus berwarna hitam.

Saat melihat wajah Wulan yang berbeda dengan yang ada pada foto, Doni merasa kecewa, dan mengajak Raka untuk mempermalukan Wulan.

Begitu tiba di depan kafe, Wulan langsung menelepon Doni, untuk menginformasikan bahwa dirinya sudah ada di lokasi. Doni menyuruh Wulan masuk dan langsung menuju meja 07.

Kemudian, terjadilah peristiwa tadi. Doni dan Raka menertawai Wulan, saat dia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

Ini bukan kali pertama Wulan gagal berkenalan dengan lawan jenis. Tapi kali ini merupakan hal yang paling memalukan, sekaligus menyakitkan. Terlebih, salah satu pegawai di kafe itu adalah temannya semasa SMA.

Wulan menangis tertahan, lalu berlari keluat dari kafe, diiringi suara tawa kedua pemuda itu.

Setibanya di rumah, dia menangis sejadi-jadinya. Bantalnya basah oleh air mata. Tapi Wulan tidak punya tempat untuk mengadu. Ibunya sibuk arisan dari satu tempat ke tempat lain. Sementara ayahnya, sejak pagi hingga malam, sibuk bekerja.

Tiba-tiba Wulan teringat, dia pernah mengantar tantenya menemui seorang dukun, yang tinggal di pinggiran kota. Waktu itu tantenya merasa ada 'sesuatu' yang selalu mengikutinya. Setelah berobat pada dukun itu, makhluk yang selalu mengganggu tantenya pun pergi entah ke mana.

Wulan bergegas mengambil jaket dari lemari, mengenakannya dengan terburu-buru, lalu menghidupkan mesin sepeda motornya, dan  ngebut menuju rumah dukun itu.

Angin malam yang berembus cukup dingin, seperti kalah dengan rasa panas yang menyeruak dari dalam dada Wulan. Emosinya membuncah. Langit berwarna merah bersemu orange,  seperti mewakili perasaannya yang penuh dendam.

Perjalanan ditempuhnya hanya dalam waktu kurang dari 40 menit. Dari ujung gang, rumah dukun itu terlihat jelas.

Berbeda dengan rumah-rumah dukun dalam film atau cerita, yang digambarkan gelap dan dindingnya  terbuat dari anyaman bambu. Rumah ini terkesan mewah, kontras dengan rumah-rumah lain di sekitarnya.

Meski bermandikan cahaya lampu, rumah berwarna abu-abu itu tetap saja memancarkan kesan mistis.

Dua patung Gupala seperti menjaga pintu gerbang rumah. Sementara, di tengah halaman, patung berbentuk dua ular yang saling melilit, seolah menyambut para tamu yang datang. Di bawah patung itu, terdapat lampu kecil berwarna merah, yang membuat patung ular itu seperti menyala.

Beberapa sangkar burung tergantung di bawah langit-langit teras. Sebagian diselimuti dengan kain penutup, entah apa tujuannya. Kursi goyang yang ada di teras sedikit bergoyang, mungkin tertiup oleh angin.

Wulan mengetuk pintu rumah, namun tidak ada jawaban dari dalam. Lalu dia kembali mengetuk pintu. Kali ini dengan ketukan yang lebih bertenaga.

Beberapa saat kemudian, pintu kayu setinggi lebih dari dua meter itu terbuka. Pak Kromo, dukun itu, yang membuka pintu. Aroma kemenyan segera tercium, menambah kesan mistis.

Pak Kromo mempersilakan Wulan untuk masuk, kemudian bertanya tentang maksud dan tujuan kedatangan Wulan.

Wulan memperhatikan seluruh sudut ruangan. Meski sudah pernah ke tempat ini, tapi barang-barang aneh di ruangan itu, tetap menarik perhatiannya.

Dua bilah keris terpajang pada dinding ruangan. Di sudut sebelah kanan, dekat pintu masuk ke ruangan di belakangnya, satu guci kuno berdiri. Di sampingnya terdapat patung kayu berbentuk manusia. Tingginya sekira 70 sentimeter.

Koleksi lainnya, seperti jenglot, batu akik, keris mini, dan beberapa jenis jimat, tersusun rapi dalam rak kaca di sudut kiri ruangan.

"Ehm... Begini, Mbah... Saya mau minta tolong supaya cepat dapat jodoh. Atau minimal nggak dihina sama cowok-cowok,. Bisa nggak ya, Mbah?" kata Wulan tanpa tedeng aling-aling.

Sejenak Pak Kromo terdiam, lalu memperhatikan Wulan, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kemudian dia meminta Wulan mengulurkan tangannya.

Ada hawa hangat terasa saat Pak Kromo memegang tangannya. Mengalir ke sekujur tubuh Wulan. Namun tiba-tiba Wulan merasa mual, sangat mual.

Pak Kromo melepas genggamannya pada tangan Wulan, kemudian berdiri dan mengambil air putih. Dia menyuruh Wulan meminum air putih itu.

"Nduk, permintaanmu bisa dikabulkan, tapi syaratnya agak berat. Sebab, ada kesalahan yang dilakukan oleh orangtuamu di masa lalu. Itu menutup auramu," kata Pak Kromo sambil menghisap rokok elektrik beraroma vanila.

Kata Pak Kromo, Wulan harus puasa putih selama tujuh hari. Kemudian setiap tengah malam, dia harus mandi dengan air mandi yang sudah dicampur serbuk kecoklatan dari Pak Kromo.

Syarat terakhir, kata Pak Kromo, menjadi syarat terberat, yakni berendam pada dua pertemuan sungai, atau tempuran.

"Nanti, kamu akan melihat banyak makhluk gaib saat berendam. Mereka akan menggodamu. Tapi kamu jangan sampai tergoda atau meninggalkan tempatmu berendam sebelum seorang perempuan menemuimu, karena risikonya, kamu tidak akan pernah menikah sampai akhir hidupmu," lanjut Pak Kromo menjelaskan.

Pak Kromo kemudian menanyakan pada Wulan, apakah dia ingin awet muda dan bisa mendapatkan lelaki mana pun yang diinginkan. Syaratnya sangat mudah. Nanti setelah ritual berendam di tempuran sudah selesai, Wulan hanya perlu mencari foto pria yang diinginkannya. "Kamu cukup merapalkan mantera ini, lalu embuskan pada foto pria itu, dan bakar sampai menjadi abu," jelasnya, sambil memberikan secarik kertas bertuliskan mantera.

Pak Kromo melanjutkan, meski syaratnya sangat mudah, tetapi itu membutuhkan tumbal. Tumbalnya adalah cowok yang kemudian menyukai Wulan akibat pengaruh mantera itu.

Awalnya Wulan berpikir dia tidak membutuhkan mantera itu. Tapi kemudian, dia ingat perlakuan Doni dan temannya di kafe. Marahnya kembali muncul.

"Iya, Mbah, saya mau," ucap Wulan.

Setelah menerima semua uba rampe atau persyaratan yang dibutuhkan, dan memberikan mahar pada Pak Kromo atas jasanya, Wulan pamit.

Sepekan berjalan, Wulan telah melakukan puasa putih dan mandi setiap tengah malam. Tubuhnya terasa sedikit lemah karena selama sepekan hanya mengonsumsi nasi putih. Tapi dia mengabaikannya.

Niatnya sudah sangat bulat, dan dendamnya pada Doni begitu kuat. Dua hal itu menjadi penyemangatnya dalam melaksanakan syarat dan ritual.

Tibalah hari dia harus melaksanakan syarat terakhir, yakni berendam di pertemuan dua sungai, atau tempuran.

Sesudah magrib Wulan telah menyiapkan diri. Beberapa perlengkapan dan syarat sudah dimasukkan dalam tas.

Tepat pukul 22.00, dia mengendarai sepeda motornya seorang diri, menuju pinggiran kota di sebelah selatan, tempat pertemuan dua sungai.

Setelah memarkir sepeda motor di tempat yang dirasa aman, perlahan Wulan menuruni lereng sungai. Dia merasa waswas, takut jika tiba-tiba bertemu ular atau binatang lainnya.

Selangkah demi selangkah, dia menapakkan kaki di tanah pinggir sungai. Hanya ada cahaya bulan yang menjadi penerang di tempat itu. Rumah warga terletak cukup jauh dari situ.

Tubuh Wulan hanya ditutup oleh selembar kain. Perlahan kakinya menyentuh air sungai yang dingin. Wulan mulai ragu saat merasakan dinginnya air. Namun tekadnya kembali bulat saat ingat bahwa ritual lain telah selesai dia lakukan.

Air sungai sudah mencapai betisnya yang putih. Wulan terus melangkah menuju tengah. Dia harus memastikan air sungai mencapai lehernya.

Setelah beberapa menit berendam, dia tidak lagi merasa dingin. Air sungai yang mengalir justru terasa hangat. Matanya yang terpejam, membuatnya setengah mengantuk.

Tiba-tiba Wulan mendengar suara air sungai terpercik, seperti ada seseorang yang melemparkan batu ke sungai. Dia mengabaikan suara itu.

Lalu, terdengar suara mendesis di dekat telinganya. Disusul dengan sesuatu yang panjang dan dingin merayap melilit lehernya. Wulan ketakutan. Dia tahu itu adalah ular.

Saat membuka matanya, ular yang melilitnya memiliki kepala seperti kepala ayam. Mata makhluk itu mengerjap-ngerjap. Sementara, di tepi sungai, dia melihat makhluk lain, bertubuh besar dengan kulit kehijauan. Matanya merah menyala.

Wulan sudah hampir berlari meninggalkan tempat itu. Untung saja dia ingat pesan dari Pak Kromo, bahwa dia harus mengabaikan semua gangguan. Jika tidak, dia tidak akan menikah seumur hidupnya.

Bersambung