Sebetulnya Rini enggan menceritakan kejadian yang dialaminya pada 2008 silam. Saat itu dia masih mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi di Makassar.

Awalnya, Rini selalu mengalihkan pembicaraan, jika ditanya tentang kejadian misterius yang dialaminya waktu itu. Dia selalu berusaha menghindar.

Aku sangat memahami pribadi Rini. Semakin dia merasa ditekan atau dipaksa, akan semakin rapat pula dia menyimpan kisahnya. Satu-satunya cara agar dia menceritakan kejadian itu, adalah dengan mengajaknya bersantai.

Seperti saat ini, aku mengajaknya ngopi sambil menikmati senja di tepi Pantai Losari. Meski senja di sini tak lagi seindah beberapa tahun lalu, tapi setidaknya bisa membuat Rini merasa lebih rileks.

Ya, senja di Losari saat ini tidak lagi semanis beberapa tahun lalu. Daratan yang memanjang dari arah jalan Metro Tanjung Bunga ke arah utara, seperti codet yang hadir pada wajah pantai itu, meski kadang tersamar oleh jingga matahari yang terbenam di balik horizon.

Kami memulai pembicaraan dengan hal-hal ringan. Mulai dari candaan, saling ejek tentang kisah masa lalu, dan tentu saja dibumbui cukup banyak gombalanku.

Aku tahu, kali ini Rini benar-benar merasa rileks. Tawanya lepas, seperti burung-burung putih yang terbang menuju pulang. Raut wajahnya bercahaya, menurutku lebih berbinar daripada mentari senja ini. Kacamata dan kawat giginya menambah kesempurnaan Rini.

Satu lagi yang membuat gadis relijius ini semakin menawan. Dia selalu tampil apa adanya. Rini tidak risih menjepit sebatang rokok kretek tanpa filter di antara telunjuk dan jari tengahnya. Rokoknya Dji Sam Soe, bro. Bukan rokok putih atau rokok-rokok ringan lainnya.

Sepertinya aku mulai ngelantur. Seharusnya aku menceritakan tentang pengalaman Rini diselamatkan oleh makhluk halus. Setidaknya dimulai dengan dia bersedia menceritakan kisahnya.

Setelah hampir setengah jam kami bercanda, aku mulai mencari cara untuk mengupas sedikit demi sedikit pengalamannya. Aku memulai dengan menunjukkan cerita seram dari cermis.id padanya.

Aku menunjukkan cerita tentang arwah korban kecelakaan yang meminta tolong pada pemuda. Aku berpura-pura meminta pendapatnya tentang cerita itu.

"Kalau menurutku itu bisa saja terjadi," kata Rini tanpa menjelaskan alasannya.

Rini melanjutkan kegiatannya, memotret beberapa perahu nelayan yang melintas, lalu menyeruput kopi hitam pesanannya.

Dua pengamen tiba-tiba muncul di hadapan kami. Mereka menyanyikan lagu milik Iwan Fals, kalau tidak salah, judulnya Kemesraan.

Aku dan Rini menyimak lagu yang dibawakan hingga usai. Lalu, Rini mengulurkan uang pecahan Rp2 ribu dan memberikan dua batang rokok kreteknya.

Tiba-tiba Rini terdiam. Wajahnya tampak tegang. Matanya menatap ke pinggir laut, tepat di bibir pantai. Aku menoleh ke arah tatap matanya menyorot. Tidak ada siapa pun atau apa pun di situ. Hanya ada beberapa anak bermain di bebatuan, tapi letaknya beberapa meter dari situ.

Suara azan Magrib mulai terdengar, seperti bersaing dengan deru knalpot kendaraan di jalan itu. Aku memanggil Rini, untuk mengingatkan bahwa waktu magrib sudah tiba. Tapi dia seperti tak mendengar suaraku. Matanya terus memperhatikan tempat yang sama.

Aku mengulang panggilanku. Kali ini dengan suara yang lebih kencang, sambil mencubit pelan lengannya. Rini menoleh, wajahnya masih terlihat tegang. Tapi dia berusaha menutupinya dengan tersenyum.

Rini mengambil kopinya, lalu dengan jemari sedikit bergetar, dia menyeruput pelan. Kemudian mengambil sebatang rokok dari bungkusnya, dan menyulutnya.

Bibirnya yang tanpa lipstik membentuk lingkaran kecil, mengembuskan asap rokok. Aroma tembakau berbaur dengan bau khas lautan dan asap pisang epe yang dibakar tak jauh dari situ.

"Saya ke masjid dulu, mau salat Magrib. Nanti saya ceritakan apa yang tadi saya lihat," ucapnya sambil berdiri dan melangkah menuju masjid.

Aku menunggunya di situ, membiarkan Rini yang melangkah dengan sedikit tergesa. Dalam hati aku menerka-nerka apa yang dilihat atau dipikirkan Rini tadi.

Senja mulai beranjak, perlahan berganti dengan malam yang mengirim kelam. Warna jingga keemasan di langit masih terlihat, tetapi mulai berbaur dengan hitam dan bulan yang berbentuk seperti mangkuk besar berwarna kuning pucat.

Lampu-lampu mulai dinyalakan.  Beberapa toko dan bangunan seperti sengaja memasang lampu yang berkedip. Suara lagu dangdut koplo dari beberapa pedagang kaki lima, semakin kencang terdengar.

Kuambil sebatang rokok milik Rini yang ditinggalkan di atas meja. Kebetulan rokok kesukaanku sama dengan miliknya. Aku yakin dia tidak akan marah.

Sambil menunggu Rini kembali, aku mencoba mencari cara agar dia mau menceritakannya malam ini, karena besok belum tentu dia punya waktu bersantai seperti saat ini.

Hampir lima belas menit berlalu, Rini belum juga datang. Mungkin dia menunggu hingga waktu salat Isya tiba. Itu berarti aku masih harus menunggu hingga satu jam ke depan.

Ternyata dugaanku salah. Dari jauh aku melihatnya menyeberang jalan sambil menenteng kantong plastik putih. Sepertinya dia habis belanja di minimarket di seberang jalan.

Setibanya di depanku, Rini tidak segera duduk di kursi. Dia memilih duduk pada beton pembatas pantai, menghadap ke laut, sambil membuka bungkus makanan ringan yang dibelinya.

Dia memanggilku untuk duduk di sampingnya. Katanya dia ingin menceritakan sesuatu. Mungkin sesuatu yang dilihatnya tadi, tepat saat matahari terbenam.

Sebelum bercerita, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti khawatir terhadap sesuatu. Kemudian, setengah berbisik dia bercerita bahwa saat azan magrib tadi, ada sosok menyeramkan yang dilihatnya di pinggir pantai.

"Kamu tau kan aku pernah diselamatkan oleh hantu. Hantu itu tadi datang lagi. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak menampakkan diri padaku," kata Rini lirih.

Aku pernah dengar cerita bahwa dia pernah mengalami kejadian misterius, Rini diselamatkan oleh hantu. Tapi aku tidak tahu persis bagaimana ceritanya.

"Makhluknya kayak bagaimana, Rin?," tanyaku.

Rini tidak langsung menjawab. Dia meletakkan telunjuknya di depan bibir, seperti melarangku untuk berbicara. Matanya menatap ke lesehan di sebelah utara kami.

"Dia datang lagi," bisik Rini padaku.

Rini lalu mengeluarkan sebatang jarum dari kantong plastik putih yang dibawanya. Aku tidak mengerti apa yang akan dilakukan, dan untuk apa dia membeli jarum itu.

Dia menggoreskan jarum itu pada jarinya, lalu dia menarik jariku dan menggoresnya. Setelah itu, Rini menempelkan lukanya pada lukaku.

Jantungku seperti berhenti berdetak saat luka kami bersentuhan. Bukan sentuhannya yang membuat jantungku seperti copot, tapi makhluk mengerikan yang berdiri tidak jauh dari kami.

Tingginya sekitar tiga meter, dengan telinga lebar dan runcing. Tubuhnya ceking, hingga tulang-tulang pada dadanya tampak menonjol. Rambutnya merah, panjang hingga mencapai lutut.

Aku tidak tahu apakah dia laki-laki atau perempuan. Yang pasti makhluk itu sangat menyeramkan. Apalagi saat dia menatap kami berdua. Mata makhluk itu seperti hampir keluar dari lubangnya.

Bersambung...