Baca Dulu: Istri Saya Seorang Parakang XII

Cermis.id- Dingin pagi buta menusuk hingga Bajo tak mampu menggerakkan badannya untuk bergegas mengambil air wudhu. Subuh hari seperti ini, air sangat dingin. Namun, pada siang hingga sore hari, cuaca sangat panas. Dulu, saat masa kanak-kanak, Bajo dan Mapta sering bermain-main di sungai, di belakang rumah Ibu Mapta. Waktu itu, baru berdiri satu pabrik semen. Cuaca masih tidak se-ekstrem saat ini.

Kini, ketika kita berada di lego-lego rumah Ibu Mapta, kita dapat melihat gunung yang semakin memendek dan tipis. Debu semakin banyak dan cuaca semakin panas. Warga kampung dan sebagian besar keluarga Mapta banyak yang menjadikan pabrik semen sebagai tumpuan hidupnya. Hingga saat ini, hidup tiga pabrik baru lagi yang memproduksi marmer. Warga semakin banyak yang bekerja di pabrik, mereka sebagian besar berusia muda dan belum berkeluarga. Biasanya selepas lulus SMP dan SMA mereka memilih bekerja di pabrik sembari mengurus sawah dan ladang yang masih ada dibandingkan harus ke kota untuk berinvestasi di kampus.

Cerita Sebelumnya Lagi: Istri Saya Seorang Parakang I

Bajo berjalan menuju dapur yang berdekatan dengan tempat mabissa-bissa (tempat orang Bugis mencuci piring, menyimpang air untuk masak, mencuci beras, sayur, dsb. Semenjak banyak masyarakat Bugis yang menganut agama Islam, tempat mabissa-bissa juga menjadi tempat untuk bersuci atau berwudhu.

Suasana masih hening di rumah Mapta. Sepertinya belum ada yang terbangun sepagi itu. Ia melewati kamar Aru dan Mapta juga kamar Ibu Mapta menuju tempat mabissa-bissa. Kamar-kamar itu masih tertutup rapat. Namun, sehabis dari mengambil air wudhu, saat melewati kamar Mapta, ia melihat kamar itu terbuka lebar. Bajo beranggapan kalau itu Mapta yang membukanya meski di sekeliling rumah tak ada siapa-siapa.

Bajo menuruni tangga dan tak ada siapa-siapa juga di kolong rumah selain teriakan anak-anak yang baru pulang dari masjid memecah keheningan. Bajo kembali ke atas, baru di tangga ke dua, tiba-tiba suara keras muncul di atas genteng, membuat jantungnya berdebar keras. Suara itu seperti benda berat yang sengaja dijatuhkan. Bajo kemudia kembali naik ke rumah dengan cepat, namun sampai di atas rumah, para penghuni tak ada yang terbangun padahal suara itu amat besar. Bajo tiba-tiba merinding dan ia ingat belum shalat subuh. Ia kemudian bergegas menuju kamarnya, menunaikan shalat subuh.

Selepas shalat, Bajo menenangkan pikirannya. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi. Sementara itu, ia mengingat tadi sebelum turun tangga, kamar Mapta terbuka. Bajo belum sempat mengecek keadaan Mapta dan Aru.

Sejenak kemudian, ia seperti tak bisa menggerakkan badannya dan suara keras dari genteng rumah kembali datang.