Aku mencoba untuk membukanya kembali. Namun pintu itu terkunci. Entah siapa yang menguncinya dan bagaimana. Aku yakin sekali, tadi tidak ada anak kunci yang terselip di lubangnya, baik di dalam maupun di luar ruangan.
Tiba-tiba dari atas, terlihat cahaya redup. Nampak seperti lilin yang dipegang oleh seseorang. Dia berjalan menuruni tangga, menuju ke arahku.
Pria itu mengenakan topi layaknya cowboy yang kebesaran, dengan jubah panjang terjuntai. Topinya menutupi hampir seluruh wajah. Jika diperhatikan dengan saksama, topi itu hanya menempel di leher.
Tangan kanannya memegang piring kecil berisi lilin yang menyala. Sementara, tangan kirinya memegang bungkusan.
Aku tidak bisa bersembunyi, karena tidak ada apapun di tempat itu, yang bisa digunakan untuk bersembunyi.
Pria itu semakin dekat ke arahku. Aku yakin, dia sudah mengetahui kehadiranku di situ.
"Boleh saya minta tolong?" tanyanya padaku dengan suara serak, saat dia berada tepat di hadapanku.
Tangan kirinya terulur, memberikan bungkusan yang dipegangnya. Setelah aku menerima bungkusan itu, tangannya meraih topi cowboy yang dikenakannya.
"Tolong pasangkan kepalaku yang ada dalam kantong itu. Aku tidak bisa memasangnya sendiri," kata suara yang ternyata berasal dari kantongan yang kupegang.
Dia membuka topi yang ada di atas lehernya. Ternyata, pria itu tidak memiliki kepala.
Spontan aku melepaskan kantongan yang kugenggam, kemudian berlari menaiki tangga menuju lantai atas. Aku tidak tahu apa yang dia katakan, dan aku tidak mau tahu.
Nafasku masih terengah-engah saat aku tiba di lantai empat menara itu. Pada setiap lantai yang aku lewati, aku mencoba membuka pintu yang menghubungkan tangga darurat, dengan ruangan di dalam gedung. Tapi hanya pintu di lantai ini yang bisa terbuka.
Aku masuk ke ruangan, kemudian menguncinya dari dalam. Agar pria tanpa kepala itu tidak bisa masuk. Aku lupa bahwa dia adalah hantu, yang bisa masuk lewat mana saja.
Di ruangan itu terdapat satu set kursi. Aku bisa melihatnya karena cahaya dari lampu-lampu di luar gedung, masuk melalui kaca jendela.
Aku melangkah perlahan menuju kursi, dan duduk di situ, untuk mengatur nafas. Kursi itu berdebu. Aku bisa merasakannya saat tanganku menyentuhnya.
Meski berdebu, kursi itu cukup empuk diduduki. Hanya saja, kursi itu seperti bergerak-gerak di bawahku. Saat aku menoleh ke arah kanan, sepasang mata dengan pinggiran kelopak berwarna hitam, menatapku. Rupanya aku duduk di atas perutnya.
Aku tersentak dan berdiri, lalu berjalan menuju pintu. Sosok perempuan yang tadi aku duduki, berdiri menatapku. Rambutnya panjang terurai, hingga menyentuh lantai.
Gaunnya berwarna putih, dengan beberapa robekan, seperti gaun yang sudah lama tertimbun tanah. Dia melayang mendekatiku.
"Ampun Mbah, eh, Mbak. Maafkan saya, tadi saya tidak sengaja menduduki Mbak," ucapku meminta maaf.
Dia terus menatapku tajam. Kemudian dia tertawa mengikik. Suaranya tajam dan tinggi. Dia terus tertawa sambil tetap melayang mendekatiku.
Aku bergidik ngeri, dan terus mencoba membuka selot kunci pintu, tapi jemariku gemetar, membuatnya menjadi sulit dibuka. Dan tanpa sadar, celanaku basah oleh kencingku sendiri.
Akhirnya aku berhasil membuka pintu besi itu, saat hantu perempuan berambut panjang berjarak sekitar dua meter dari tempatku berdiri.
Aku kembali berlari menaiki tangga, sampai ke lantai enam gedung itu. Lalu berusaha kembali masuk ke dalam ruangan.
Kali ini aku tidak kembali menutup pintunya, karena khawatir akan terjadi hal yang sama. Aku sudah ketakutan setengah mati oleh dua hantu mengerikan tadi.
Ruangan itu kosong. Hanya ada dua pintu lain, yang entah menuju ke mana. Aku mendekati salah satu pintu itu, dan membukanya.
Tiba-tiba, dua anak kecil melompat ke arahku. Satu dari mereka langsung naik ke belakangku, seperti meminta untuk digendong. Sementara yang satunya, berlari mengelilingiku.
Ada yang aneh dari mereka. Bibirnya tidak horizontal, tapi vertikal, sehingga membuatnya menjadi menyeramkan. Aku berusaha menurunkan anak yang berada di belakang punggungku, tapi pegangannya pada leherku sangat erat.
Setelah beberapa saat berusaha, anak itu berhasil aku turunkan. Tapi keduanya marah dan memukuliku. Salah satu dari mereka menggigit lenganku, giginya runcing.
Aku kembali berlari keluar, menuju tangga. Tapi, saat berada di depan pintu, dua hantu yang sebelumnya, manusia tanpa kepala dan hantu perempuan sudah menunggu di situ.
Aku terjebak. Dua hantu anak kecil mengejar di belakangku, dan dua hantu lain di depanku. Jantungku berdetak sangat kencang, seluruh persendianku terasa lemas, pandanganku berkunang-kunang, lalu semuanya gelap. Aku pingsan.
Saat tersadar, aku sudah ada di halaman belakang gedung. Bulan bersinar cukup terang, warnanya kuning berpendar jingga. Tapi tiba-tiba berubah menjadi merah darah.
Dua petugas keamanan sudah tertidur. Hanya ada seorang pria, yang berjalan mendekatiku. Dia mengenakan semacam jas, jalannya pincang.
Setelah cukup dekat, dia bertanya, kenapa aku ada di lokasi itu. Aku menjelaskan seluruh kejadian yang kualami di dalam gedung.
Pria itu mendengarkan dengan sabar. Kemudian dia mengangkat wajahnya, dan bertanya padaku.
"Tapi muka hantu itu tidak seperti wajahku, kan?," tanyanya.
Aku tersentak kaget. Ternyata wajah pria itu rata. Dia tidak memiliki hidung, mata, maupun bibir dan telinga. Aku berteriak dan berlari menuju pos jaga, untuk membangunkan para penjaga.
Saat salah satunya bangun, aku kembali menceritakan tentang kejadian yang kualami, termasuk tentang pria tanpa wajah, yang baru saja aku temui.
"Wajahnya seperti wajahku?," dia bertanya sambil membuka topi.
Aku tak mampu berucap. Tubuhku kembali lemas, dan pingsan.
Saat aku tersadar, hari sudah pagi. Beberapa warga mengelilingiku. Kata mereka, aku ditemukan tertidur di pemakaman.