Cerita Sebelumnya: Istri Saya Seorang Parakang VIII

Cermis.id- Sebelum berangkat menemui Aru, Bajo meminta mengambil garam yang telah dibaca-bacai untuk ditaburkan di beberapa sisi rumah. Di kedua sisi tangga, sumpang (dapur), jendela, kamar, pintu belakang dan depan dan terakhir di lego-lego (teras).

Kata Bajo kemungkinan desa yang sekarang ditempati Aru adalah tetangga desa ini. "Tadi saya diperintahkan untuk berjalan ke utara, artinya ke desa Fangiri. Desa itu dekat dengan pesisir, pasti tidak jauh dari jalan besar Mapta."

"Bagaimana kalau ternyata salah Bajo, sementara waktu kita semakin singkat. Pikirkan lagi, apa benar kita harus berjalan ke utara?"

"Saat ini tidak bisa menggunakan pikiran Mapta, gunakan perasaanmu." Kata Bajo sembari membentak sebab melihat saya yang penuh keraguan.

"Teruskan perjalanan kita, Bajo."

Perjalanan ditempuh dengan motor, kami sampai di desa Fangiri setelah 15 menit di jalan. Kami beberapa saat terpaku demi melihat laut lepas di depan. Tidak ada siapa-siapa di pagi hari. Malam terang bulan nelayan tidak berlayar mencari ikan.

"Sepi sekali, Bajo. Apa yang akan kita lakukan di sini?"

"Kita menunggu di sini. Ritual itu akan dilakukan di laut. Kamu tenang. Perbaiki perasaanmu, Mapta."

Gerombolan kawanan burung terbang di atas kami. Deru ombak seperti ingin memaksa.

"Kita segera pergi saja dari sini Bajo. Perasaan saya sugguh buruk. Aru barangkali tidak akan datang."

20 meter dari kami, seorang nenek tua dengan badan membungkuk, rambutnya nyaris putih semua. Bersanggul. Menggunakan sarung dan kain penutup dada. Perutnya yang gumpal terlihat dari jarak kami. Ia menghampiri kami dan semakin dekat, saya melihat sebuah tato di lengan kanannya.

Bajo bersigap di samping saya. Ia berulang kali mengatakan untuk terus tenang. Jangan gelisah.

"Setahu saya, orang-orang yang dekat dengan laut selalu menerima pendatang. Jujur saja dengan maksud kedatangan kita."

"Bagaimana kalau dia membunuh kita, Bajo."

"Tidak mungkin karena kita ke sini hanya untuk mencari Aru. Tidak bermaksud yang lain."

Nenek itu semakin dekat dan semakin dekat sampai mata kami telah hampir bertatapan.

Giginya kuning. Aromanya sangat khas. Bajo berusaha menenangkan tapi saya melihat kakinya sempat bergetar. Dengan santun, nenek itu mengatakan maksud kedatangan kami.

Bajo menjelaskan dengan sejujur-jujurnya bahwa kami datang untuk mencari Aru dan anak dalam kandungannya.

"Nek, namanya siapa?" Tanya Bajo tentu saja dengan bahasa Bugis khas daerah setempat.

"Male."

Ia lalu menyunggingkan senyum dan mengatakan bahwa Aru tidak akan ke tempat ini. Aru rupanya sejak kemarin telah memikirkan usaha untuk meloloskan diri.

"Ritual terakhirnya memang akan dilakukan di laut, tapi Aru tidak akan bisa sampai di sini. Lebih baik kalian pulang saja karena ini bukan dunia kalian. Tidak ada yang bisa menyelamatkan Aru selain dirinya sendiri."

Bersambung...