Dewi baru saja masuk ke dalam kamar. Kamar yang ditempatinya di asrama mahasiswa itu, adalah kamar nomor tujuh. Letaknya tepat di depan musala asrama mahasiswa asal Sulawesi Selatan (Sulsel), di Jl Teuku Cik Di Tiro, Yogyakarta.

Malam itu, sekitar tahun 1999, panitia seminar dalam rangka hari ulang tahun asrama, melaksanakan rapat terakhir untuk kegiatan mereka. Panitia kegiatan itu, adalah pengurus asrama.

Panitia memutuskan untuk menjadikan kamar nomor tujuh, sebagai kamar tidur panitia perempuan, karena malam telah larut.

Para panitia perempuan itu, sebagian tinggal atau kos tidak jauh dari asrama, mereka menyebutnya sebagai satelit. Sebagian lain tinggal di asrama untuk mahasiswi asal Sulsel.

Panitia sengaja memilih kamar nomor tujuh sebagai kamar mereka, karena kamar itu cukup luas untuk ditempati. Dewi sekamar dengan beberapa gadis lain. Dia mengambil posisi tidur di kasur kosong, di samping Iva, yang seumuran dengannya.

Saat Dewi mulai mengantuk, secara tidak sengaja, dia melihat ke arah pintu kamar, dia melihat sesosok perempuan berjubah putih. Rambutnya panjang terurai hingga menyentuh lantai.

Sontak Dewi kaget. Dia ingin berteriak, namun suaranya tertahan di tenggorokan.

"Pakai jubah putih, rambutnya panjang sampai lantai. Dia tinggalnya di kamar nomor tujuh, paling belakang, di depan  musala. Padahal sebelum masuk, saya sudah mengucapkan salam," ucapnya mengisahkan.

Hantu perempuan itu melayang membelakangi Dewi, kemudian keluar menembus pintu.

Dewi masih belum mampu berkata-kata. Tubuhnya gemetar seperti orang kedinginan. Dia ingin membangunkan Iva, tapi dia khawatir Iva justru akan ketakutan.

Suara beberapa panitia cowok masih terdengar dari kamarnya. Mereka masih berdiskusi di ruang televisi asrama, sambil menonton televisi. Tapi Dewi enggan keluar untuk memberitahukan kejadian tadi.

Yang ditakutkan adalah, jika dia keluar dari kamar, saat melewati pintu, tiba-tiba hantu tersebut muncul kembali di hadapannya.

"Tapi tidak keluar ka, karena takut ka, karena di kepalaku, siapa tahu ada menunggu di depan pintu, baru yang lain sudah nyenyak tidurnya, kamase," lanjut Dewi.

Hingga menjelang pukul 03.00 dini hari, Dewi belum bisa memejamkan mata. Sosok hantu yang melayang menembus pintu itu, seperti membayanginya. Setiap dia menutup mata, sosok itu muncul dalam pikirannya.

Tapi, Dewi kemudian berdiri, karena merasa haus dan ingin mengambil air minum di meja. Saat meneguk air dari gelas, Dewi merasa seperti ada yang meniup belakang lehernya. Tiupan itu dibarengi dengan aroma wangi, seperti bau kembang melati.

Bulu kuduk Dewi merinding. Dia menghabiskan minumnya secepat mungkin, dan berbalik untuk kembali ke kasur, agar bisa sembunyi di bawah selimut.

Tepat saat berbalik, dia kembali melihat hantu itu melayang membelakanginya, dan kembali keluar menembus pintu. Padahal, beberapa saat lalu, saat mengambil air minum, dia tidak melihat hantu itu.

Dewi terpekik pelan. Lalu dia jatuh terduduk di lantai, sebelum akhirnya dia mampu melangkah menuju kasurnya, dan memeluk Alquran yang ada di kamar itu.

Akhirnya, hingga azan Subuh terdengar, Dewi belum juga tidur. Padahal, paginya dia bertugas pada kegiatan seminar tersebut.

Sebelumnya, Dewi pernah mendengar  cerita tentang hantu penghuni kamar nomor tujuh. Menurut cerita dari beberapa orang yang pernah melihatnya, hantu itu adalah hantu bule, bernama Nona.

"Saya tidak pernah lihat dari depan. Cuma lihat dari belakang, tapi itu pun sudah bikin takut setengah mati. Rambutnya sampai di lantai," tegasnya.

Sejak kejadian malam itu, Dewi selalu merasa dihantui oleh Nona. Ke mana pun dia pergi, bayangan perempuan berambut panjang menyentuh lantai, selalu mengiringi. Bahkan saat Dewi berada di Surabaya, untuk penelitian.

Pernah suatu malam, Dewi baru saja pulang dari lokasi penelitian. Setibanya di tempat kos, dia duduk di ruang tamu. Tiba-tiba, rekannya, Sinta, melintas dan masuk ke dalam kamar mereka.

Dewi merasa heran, karena biasanya Sinta mengucapkan salam sebelum masuk, dan menegur. Tapi, kali ini, dia masuk tanpa mengucapkan salam. Bahkan menyapanya pun tidak.

"Mungkin aku punya salah yang tidak kusengaja," kata Dewi dalam hati.

Dewi segera beranjak. Dia berjalan menuju kamar, untuk menanyakan kesalahan yang dilakukannya pada Sinta.

Dari luar kamar, dia melihat Sinta berdiri di dekat kursi kayu di dalam kamar. Tapi, Dewi tidak bisa melihat jelas, karena jendela kamar sedikit tertutup oleh rak buku.

Dewi masuk tanpa mengetuk pintu, kemudian kembali menutupnya. Lalu berbalik ke arah Sinta berdiri. Tapi, bukan Sinta yang ada di situ.

Sosok hantu Nona berdiri membelakanginya. Kemudian melayang-layang sebentar di kamar itu, lalu keluar dengan menembus tembok.

Meski sering terbayang-bayang oleh sosok hantu Nona, tapi rasa takut masih menyelimuti Dewi. Dia hanya melongo saat melihat hantu bule itu, yang lagi-lagi dilihatnya dari belakang.

Dewi bergegas menuju tempat tidur, dan menyelimuti dirinya, agar rasa gemetar itu hilang. Tapi, dia masih tak habis pikir, kenapa Sinta bisa berubah menjadi hantu Nona. Dewi yakin sekali, bahwa yang dilihatnya masuk ke dalam kamar, adalah Sinta.

Hanya berselang sekitar lima menit, pintu kamar terbuka. Sinta masuk setelah mengucapkan salam. Wajahnya terlihat lelah dan sedikit lebih gelap. Mungkin akibat terlalu lama terpapar matahari Surabaya.

Dewi menceritakan kejadian barusan. Sinta bergidik ngeri, dan menjelaskan bahwa sejak tinggal sekamar bersama Dewi di Surabaya, dia beberapa kali mengalami hal aneh.

Sinta mengaku pernah melihat Dewi salat tahajud di dalam kamar. Tapi wajah Dewi saat itu tidak kelihatan, karena lampu kamar dalam kondisi padam. Memang, setiap malam lampu kamar mereka dipadamkan, karena keduanya tidak bisa tidur dalam kondisi terang.

"Tapi aku kan dalam keadaan setengah mengantuk. Jadi belum sadar sepenuhnya. Eh, pas aku balik badan, ternyata kamu ada di sampingku. Jadi aku coba liat yang salat, ternyata udah nggak ada. Mungkin aku mimpi ya?," ucap Sinta menjelaskan.

Dewi merinding saat mendengar cerita Sinta, karena memang sejak di Surabaya, dia belum pernah sekali pun melaksanakan salat tahajud.

Bukan hanya di Surabaya. Hantu Nona juga mengikuti Dewi hingga ke Gunung Lawu. Saat itu, Dewi dan beberapa temannya pergi mendaki ke Gunung Lawu.

Ketika mereka tiba di pos dua, Dewi beristirahat sambil duduk-duduk dan menyantap camilan bekalnya. Saat itu, tiba-tiba aroma wangi melati, melintas. Dewi kaget, karena dia ingat sekali aroma itu. Aroma yang muncul sebelum hantu Nona hadir.

Dewi menoleh ke sekelilingnya. Tiba-tiba dia melihat bayangan putih berkelebat di sebelah kanannya. Saat Dewi menoleh ke kanan, Nona terlihat melayang menuju ke arah turun. Lagi-lagi Dewi hanya melihatnya dari belakang.

Hantu Nona berhenti mengikutinya, hanya saat dia tidak berada di Pulau Jawa. Misalnya, saat Dewi pulang kampung ke Makassar selama beberapa pekan. Sekali pun dia tidak pernah melihat penampakan hantu Nona.

Tapi, saat kembali ke Jogja, Nona beberapa kali menampakkan dirinya. Termasuk saat dia pindah kos di pinggir kota, di sebelah barat Yogyakarta.

Dewi merasa terbebas dari hantu Nona, saat dia pulang ke Makassar, setelah kuliahnya selesai, sekitar tahun 2005, atau 14 tahun lalu. Selama 14 tahun itu, dia tidak pernah sekalipun melihat Nona.

Tapi, saat kantornya memberinya tugas di Jogja selama tiga bulan, Nona kembali datang dan menampakkan wujudnya, meski selalu dari belakang.

Ketika pertama kali kembali ke Jogja, sebetulnya Dewi sudah melupakan keberadaan hantu bule itu. Tapi, saat dia berada di toilet di salah satu mal di Jogja, Nona kembali muncul, melayang dan menembus dinding toilet. Bahkan Nona hadir di tempat kosnya.