Matanya menyala-nyala, ekornya dikibas-kibaskan, seperti ingin melonglong, tapi tak bisa.

Puluhan warga telah mengerumuninya, kini manusia jadi-jadian akan segera ditangkap dan diketahui siapa sebenarnya makhluk dibalik tubuh anjing itu.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang ketika menangkap parakang. Manusia jadi-jadian yang terkenal di Suku Bugis. Biasanya mereka menjadi parakang karena faktor pesugihan, atau diturunkan dari orang tuanya.

Di hadapan saya ini, entah ia menjadi Parakang karena ingin mendapatkan tahta, harta, dan wanita. Atau jika parakangnya seorang perempuan, biasanya karena ingin awet muda dan mendapatkan laki-laki muda.

Penyebab lainnya, bisa karena ia mendapatkan warisan darah sebagai Parakang dari orang tuanya.

Tiba-tiba kesedihan menyergap di dada saya. Bagaimana jika ternyata anjing yang ada dihadapan saya ini adalah manusia yang hanya terperangkap oleh kebanalan orang tuanya?

Bagaimana jika ia hanya korban dan tidak tahu apa-apa tentang parakang? Bagaimana kalau ia sendiri tidak mengetahui jika tubuhnya telah menjelma menjadi anjing?

Selain malu karena identitasnya akan diketahui, kemungkinan ia akan mati dihajar warga. Jika warga  mengibaskan dua kali daun lontar di tubuhnya, maka tamatlah riwayatnya. Ia akan mati.

Belum selesai membayangkan peristiwa itu. Suara gemuruh datang. Seluruh warga panik. Anjing yang tadi ditangkap basah sedang mengais-ngais selokan di samping Puskesmas dan disinyalir menjadi pelaku meninggalnya bayi Bu Komariah telah menghilang.

Manusia jadi-jadian itu lenyap, sebelum warga memukulnya.

Warga kelimpungan. Sandi, pemuda yang diutus mencari daun lontar belum juga datang. Si parakang telah menghlilang duluan.

Seluruh warga marah. Katanya sulit menemukannya lagi karena pasti parakang itu akan sangat berhati-hati. Sayapun pulang ke rumah dengan wajah lemas. sebagai seorang calon Bapak, saya juga khawatir jikalau suatu hari, isteri saya hamil dan bayinya diincar oleh parakang.

Di sisi lain, ada perasaan lega. Khawatir jika parakang yang tadi diburuh warga hanyalah turunan dari orang tuanya.
Entah sejak kapan, desa ini ramai kembali dengan kabar hadirnya parakang. Sepertinya tidak lama saat saya pindah di desa ini. tepatnya ketika rumah saya telah selesai dan saya bersama isteri pindah di desa ini.

Sesungguhnya istri sayalah yang sangat ingin pindah ke desa ini. Sejak kami menikah beberapa bulan yang lalu, ia bahkan belum pernah ke desanya lagi. Bertemu dengan orang tuanya.

Di desa ini, kami hidup bahagia, meskipun rumah yang saya bangun sangat sederhana. Pekerjaan saya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) belum bisa membeli banyak perlengakapan rumah.

Istri saya sangat pengertian, meski tak bekerja apa-apa. Akan tetapi, ia hampir tak meminta uang bulanan. Saya yang harus berinisiatif memberikannya.

Namun, saya juga bertanya-tanya. Dari mana ia mendapatkan uang banyak. Kami memang belum lama menikah, tapi ia sangat baik dan tak perhitungan kepada adik-adik saya. Setiap bulan, ia mengirimkan mereka uang.

Yang aneh, saya memang mengetahui ia telah yatim piatu, tapi istri saya tak pernah bersilaturahmi ke keluarganya yang lain. lalu, di mana ia mendapatkan uang? Mungkinkah karena warisan dari orang tuanya?

Sejak peristiwa kaburnya manusia jadi-jadian itu, entah kenapa saya tak bisa berhenti memikirkannya. Saya ingat betul, waktu itu, isteri saya pamit ke Puskesmas. Katanya ia ingin bertemu teman SMP nya di sana. Kebetulan, temannya terangkat menjadi PNS di Puskesmas desa kami.

Beberapa saat kemudian, sehabis shalat ashar di masjid, di belakang Puskesmas telah ramai. Warga ramai menyebut, “ada parakang”, “ada parakang”.

Karena warga telah sangat ramai, saya susah melihat penampakan manusia jadi-jadian itu. Saat sekelebat melihat penampakan anjing di hadapan saya, saya terkesiap.

Mata itu, tatapan mata anjing itu amat saya kenali. Bahkan saya merasa sangat akrab dengannya. Tapi, tapi saya tak tahu di mana saya pernah melihatnya, tapi saya sungguh amat mengenalinya. Ia, mata anjing itu amat saya kenali.

Bersambung...