Di depannya ada tiga mangkok berisi kuah darah dan puluhan cacing berwarna merah. Cacing-cacing itu masih hidup, dan ia melihat isteri saya memakannya. Dan ia melihat darah pekat dan kental keluar dari sela-sela giginya.

Telah sepekan saya tidak menerima kabar darinya. Ia telah pergi, tapi saya masih menanti penjelasan darinya. Kaki saya terasa beku, hampir tak berdaya menghadapi semua ini.

Perpisahan dan kenyataan harus saya terima dan hadapi dengan bersamaan. Hati saya perih.

Saya telah menghubungi kerabat dekatnya. Mencari tahu ke mana kira-kira isteri saya pergi. Tapi sia-sia, tak ada yang mengetahui keberadaanya. Meskipun Ibu menjadi orang pertama yang bersuara atas perpisahan kami, ia tetap membantu saya menemukannya.

Yang sangat menusuk hati saya sebenarnya bukan hanya kenyataan ia pergi, tapi ia berkata sedang mengandung. Itu berarti ada benih saya di dalam dirinya. Saya semakin terpuruk.

Hampir semua makanan saya tolak. Saudara perempuan saya satu per satu mendatangi kamar. Mengetuk pintu, membujuk, dan akhirnya pulang dengan putus asa karena saya tetap tak ingin makan.

Makanan yang berhasil masuk hampir-hampir tak ada rasanya.

Setelah berkabung dalam kamar berhari-hari, saya memutuskan keluar kamar. Melihat saya sempoyongan berjalan, Ibu mencoba menghalangi. Saya meyakinkannya kalau saya hanya ingin menghirup udara segar dan baik-baik saja.

Pagi itu kampung saya sedang ramai oleh banyaknya pemuda yang akan berangkat ke Jakarta. Saat itu, saya melihat gerombolan baju putih berkerumun di pasar.

Melihat itu, saya pun takjub dan heran saat mengetahui jumlah mereka yang akan mengikuti reuni 212 di Monumen Nasional, Jakarta, sangat banyak. Ada puluhan orang berseragam, bersorban, dan memakai celak di bawah matanya berjalan bergerombol sambil meneriakkan kalimat tauhid.

Indonesia memang sedang dilanda politik identitas, apalagi menjelang Pilpres 2019. Agama menjadi sesuatu yang sangat mudah digiring dan menjadi jualan politik.

Ah, saya hampir tak ingin mengambil pusing dengan itu semua. Yang saya inginkan sekarang adalah bertemu dengan istri saya.
Usianya telah melewati senja, tapi ia masih kuat berladang dan bertani. Ia adalah saudara Ibu tertua, ia juga yang pertama kali merasakan ada sesuatu yang salah dari istri saya. Saat menelusurinya, bapak yang sering saya sapa dengan Borahim itu menemukan petunjuk dalam mimpinya.

Ia hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya dalam mimpi. Tapi setelah saya tanya berulang-ulang Paman Borahim pun bercerita akan mimpi-mimpinya.

Katanya, malam itu, malam di mana ia pertama kali bermimpi tentang istri saya adalah malam pertama saya menjadi suami. Bulu kuduk saat paman Borahim mulai menceritakannya.

Ia melihat istri saya telanjang, rambutnya menjuntai, dan giginya bertaring panjang. Ia melihat ruangan kosong hanya ada isteri saya di situ. Di depannya ada tiga mangkok berisi kuah darah dan puluhan cacing berwarna merah.

Cacing-cacing itu masih hidup, dan ia melihat istri saya memakannya. Dan ia melihat darah pekat dan kental keluar dari sela-sela giginya. Dan saya hampir saja muntah mendengar itu semua.

Paman Borahim tak menanggapi mimpi itu, tapi ia selalu dikirimkan mimpi yang sama, sampai ada peristiwa penangkapan parakang di kampung di mana kami tinggal.

Saya kembali tertegun, dan tak tahu harus menghadapi ini dengan seperti apa.

Bersambung...