Setelah Paman Borahim mengungkap semuanya, seorang laki-laki di hadapan saya ini kembali menguatkan keponakannya. Ia berkata:

“Kau tahu istrimu telah pergi dan isi surat itu secara tidak langsung sebenarnya ia telah mengakui kalau ia seorang parakang. Tapi, istri tetaplah istri. Dalam agama kita, wajib hukumnya seorang suami bertanggung jawab dengan istrinya, apalagi saat ini, ia mengaku sedang mengandung buah cinta kalian. Tapi….”

Paman Borahim tiba-tiba berhenti dan tak melanjutkan kata-katanya. Ada raut kecemasan dari keruput di wajahnya. Bibirnya seperti terkancing, enggan berkata apa-apa.

“Tapi kenapa, om?” Desak saya

“Tidak apa-apa, nak. Sekarang fokus kamu adalah mencari istrimu dan memastikan keadaannya. Jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya.” kata Paman Borahim sambil menyeruput kopi hangat dan kue baroncong yang baru saja dihidangkan oleh adik perempuan saya, Santi.

Karena penasaran dan khawatir, kata-kata Paman Borahim alih-alih menenangkan. Saya justru semakin yakin ada sesuatu yang berusaha ditutup-tutupi oleh beliau.

“Om, sekarang ini saya sedang kacau. Benar kata om, bagaimanapun dia tetap istri saya. Mau istri saya parakang ataupun poppo. Saya yang paling dekat dengannya, apalagi orang tuanya telah meninggal. Jadi jangan menutupi apapun lagi om.” Desak saya kembali kepada Paman Borahim sambil menatap kedalaman matanya.

Dengan terbata-bata Paman Borahim memulai ceritanya kembali. Ia mengatakan takut menceritakan ini karena pasti saya akan semakin terpukul. Tapi, saya sudah terlanjut sakit. Semuanya harus diungkap.

Mulai dari prasangka Ibu dan keluarga saya jika sebenarnya parakang yang saat itu dikepung di Puskesmas adalah isteri saya. Apalagi ketika saya mengingat kembali keidentikan mata anjing itu dengan matanya. Saya semakin merinding mengingatnya.

“Saya hanya khawatir dengan anakmu, nak,” ucapnya dengan penuh kecemasan.

Kata Paman Borahim, jika istri saya saat ini sedang mengandung seorang bayi maka bisa jadi, kelak anak saya akan menjadi parakang.

“Dalam ilmu parakang, seseorang yang menggunakan ilmu parakang harus menurunkan ilmunya kepada keturunannya. Itu harus dilakukan agar ada yang terselamatkan. Misalnya, ayahnya seorang parakang, ia harus menurunkan ilmu itu kepada anaknya. Jika tidak ia akan susah mati dan merasakan kesakitan hebat. Saat seorang parakang yang mengetahui dirinya sudah dekat dengan kematian, maka ia akan segera menurunkan ilmu itu kepada keturunannya, biasanya kepada anaknya.” Lanjut Paman Borahim

Mendengar itu, saya kembali merinding, takut, sekaligus khawatir. Namun, rasa ingin tahu saya semakin tingigi. Betapa tidak, ini menyangkut calon buah hati saya kelak.

Saya kemudian mencari tahu informasi tentang parakang. Mendatangi banyak paranormal dan dukun. Mengulik informasi melalui buku sampai internet. Sampai suatu hari saya bertemu dengan Bajo.

Bajo adalah teman SD saya. Memang kami telah berpuluh-puluh tahun tidak bertemu, tapi rupanya ia masih mengenali wajah saya saat pertama kali bertemu di pasar. Ibu yang memberitahukan kalau saya haus bertemu Bajo jika ingin mengetahui keberadaan istri saya.

Bersambung...