Baca Dulu: Istri Saya Seorang Parakang XI
Cermis.id- Cahaya lampu semakin remang. Di sebuah ruang tamu, duduklah satu keluarga. Mereka akhirnya duduk ber-empat. Ada Aru, Mapta, Bajo, Ibu Mapta. Mereka memulai cerita tentang Nenek Male. Aru sesekali memandangi Mapta saat suaminya itu menyeruput teh panas. Ada kegetiran di wajahnya, ketakutan, sedih, dan rasa bersalah yang teramat besar.
Mapta meminta agar tak membahas asal-usul Aru yang seorang parakang. Untuk sementara waktu, mereka ingin beristirahat. Peristiwa kemarin menyita banyak energi dan emosi. Aru hanya menyampaikan pesan dari Nenek Male. Ia membiarkan Mapta membuka kain pemberian Nenek Male.
"Kata Nenek Male, saya tidak boleh membukannya jika tidak bersama denganmu. Karena kau sudah di sini, mari kita buka bersama," ucapnya masih dengan kecanggungan dan raut wajah tak biasa, ia meletakkan kain tersebut di atas meja, persis di hadapan Mapta.
" Bagaimana Nenek Male memberikannya?" tanya Mapta.
"Dia hanya memberikannya dan berpesan harus dibuka bersama, Mapta."
Percakapan tentang Nenek Male pun dimulai. Hingga saat ini mereka tidak tahu siapa dia sebenarnya, asalnya, dan apakah dia benar-benar manusia. Tidak ada yang mengerti selain mengetahui bahwa Nenek Male mengetahui banyak hal.
Kain tersebut berisi foto keluarga Aru. Di dalam foto, ada ibu dan bibinya. Usia mereka saat gambar itu diambil kira-kira 23 tahun.
"ini tante saya yang tinggal di pulau Kalimantan. Dia sering pulang ke Sulawesi Selatan. Setiap kepulangannya ke kampung adalah keberuntungan. Dia sangat kaya, bahkan mungkin dia sendiri tak mampu menghitung kekayaannya. Warga di kampung senang karena bibi selalu bagi-bagi uang" cerita Aru mengenang bibinya.
"Kapan terakhir kali dia ke kampung mu," tanya Mapta.
"Tidak lama, sebelum pesta pernikahan kita ia datang. Dia cukup lama saat itu karena dia merasa ingin berbalas budi kepada ibu yang telah meninggal terlebih dahulu. Sehingga katanya dia ingin menjaga saya. Sekarang, dia sudah kembali ke Kalimantan. Dia juga tak punya anak. Anehnya, suami bibi tidak pernah berkunjung ke keluarga bibi karena selalu alasan sibuk kerja. Mereka pengusaha tambang."
"Pasti ada alasannya Nenek Male memberikan foto itu kepada kalian. Coba periksa lagi apakah masih ada pesan lain di dalam kain itu?" kata Bajo dengan wajah seriusnya persis ketika kita dikejar hantu saat kecil dulu.
"Tidak ada barang lain, selain sebuah pesan di balik fotonya." Ucap Aru.
Tidak ada satupun di rumah itu yang mampu mengerti pesan Nenek Male yang menggunakan huruf lontara. Hurufnya bisa dieja tapi bahasa Bugisnya menggunakan bahasa Bugis Kuno.
Nenek Male mengantarkan Aru, Bajo, dan Mapta pada cerita baru lagi. Namun setidaknya, Aru telah ditemukan. Apakah benar dia seorang parakang atau sebenarnya hanya sekadar korban. Jawabannya akan ditemukan esok hari saat Aru bercerita semuanya.