Rumah itu milik seorang bangsawan. Halamannya cukup luas, dengan semacam tempat sesaji di tengah-tengah halaman. Di sisi kanan halaman, sebatang pohon kamboja yang cukup rindang berdiri kokoh.

Rumah itu dihuni oleh sepasang suami istri dari luar pulau, Mulyo dan istrinya. Mereka memiliki dua anak laki-laki, masing-masing berusia tiga dan satu tahun.

Mulyo merupakan seorang pegawai negeri sipil (PNS) di salah satu organisasi perangkat daerah (OPD) di kabupaten itu. Sementara, istrinya, Aning, adalah ibu rumah tangga yang cukup rajin.

Mulyo baru enam bulan bertugas di sana. Sebelum pindah bersama keluarganya, Mulyo tinggal di salah satu tempat kos. Saat itu, setiap bulan dia mengunjungi keluarganya di Jogja.

Pekan lalu Mulyo dan keluarganya mulai menempati rumah tersebut. Keluarga mereka mengontrak rumah dengan harga yang sangat murah.

Bangunan rumah itu sebetulnya tidak terlalu luas, dengan lukisan wajah pemilik pada dinding ruang utama. Lukisan itu tampak hidup. Dia mengenakan pakaian adat daerah setempat, dengan sorot mata tajam.

Awalnya Mulyo dan Aning tidak merasa aneh dengan harga murah yang diberikan. Mereka juga tidak merasa aneh dengan kondisi rumah itu, meski jika diperhatikan dengan saksama, rumah itu memang tampak sedikit angker.

Aroma sisa dupa yang dibakar setiap malam Jumat, menambah kesan magis di rumah itu.

Malam pertama mereka bermalam di rumah itu, sebetulnya ada kejadian yang aneh. Hanya saja keluarga tersebut tidak memperhatikan.

Semua bola lampu listrik yang ada di rumah itu padam. Padahal semuanya adalah bola lampu yang baru dibeli. Sehingga mereka hanya menggunakan lampu minyak kecil sebagai sumber penerangan.

Anak kedua pasangan itu, Hari, tidak berhenti menangis, dan selalu menatap ke sudut atas kamar mereka. Saat pandangannya dialihkan dari sudut itu, Hari diam, tapi akan kembali menangis saat secara tak sengaja dia menoleh ke sudut itu.

"Kayaknya Hari takut kalau melihat ke sudut itu," ucap Aning pada suaminya, sambil membalik posisi tidur Hari, agar tidak berbalik dan melihat sudut yang dimaksud.

Suaminya mengangguk sambil memperhatikan sudut yang ditakuti oleh anaknya. Tapi dia tidak melihat atau menemukan apa pun.

Menjelang tengah malam, Aning mendengar suara langkah kaki di luar kamar. Suaranya begitu jelas, sepertinya dia mengenakan sendal dan sedikit menyeret kakinya saat melangkah.

Aning membangunkan Mulyo, dan memberitahukan bahwa dia mendengar suara langkah kaki di luar. Mulyo kemudian mengambil parang dari dalam lemarinya, dan berjalan keluar kamar.

Tapi dia tidak menemukan siapa pun di luar. Hanya suara desir angin malam yang membawa harum bekas pembakaran dupa.

Bulan di langit bersinar cukup terang, meski bentuknya tidak bulat utuh. Suara burung hantu sesekali terdengar memecah kesunyian.

Mulyo kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Tapi baru saja dia menyimpan parangnya, suara langkah kaki itu kembali terdengar. Langkahnya seperti mondar mandir di depan kamar.

Mulyo kembali keluar, dan memperhatikan sekelilingnya, namun sama seperti sebelumnya, tidak ada siapa pun di situ.

Tiba-tiba matanya menatap pada kursi goyang tua di sudut ruangan, yang masih bergerak maju mundur. Dia mendekati kursi itu, tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda bekas diduduki. Debunya masih tebal menempel pada sandaran tangan.

Mulyo kembali ke kamar, dan memberitahukan pada istrinya bahwa tidak ada siapa pun di luar. Namun, lagi-lagi suara langkah kaki di depan kamar kembali terdengar.

Mulyo dan istrinya hanya saling berpandangan di antara temaram cahaya lampu minyak.

Keesokan paginya, saat Aning membeli sayur dari pedagang keliling, beberapa tetangganya seperti heran melihatnya keluar dari rumah itu.

Seorang perempuan muda yang mengenakan daster, bertanya pada Aning, sejak kapan dia mulai menempati rumah itu. Aning menjawab bahwa dia dan keluarganya baru sehari tinggal di situ.

"Mbak, kita yang orang sini aja takut lho kalau disuruh masuk ke dalam. Mbak nggak pernah mengalami yang aneh-aneh?," tanyanya.

Aning menjelaskan semua yang dialaminya tadi malam. Mulai dari seluruh lampu rumah yang padam hingga suara langkah kaki di luar kamar.

Seorang perempuan lain turut nimbrung, dan menjelaskan bahwa rumah itu sudah beberapa kali dihuni oleh pengontrak sebelumnya, tapi rata-rata mereka hanya bertahan semalam saja, kemudian pindah ke tempat lain.

Kata dia, rumah milik bangsawan tersebut merupakan salah satu yang paling angker di kabupaten itu, dan sejak lama tidak pernah ada lampu yang bisa menyala. Semuanya padam secara tiba-tiba.

Aning baru menyadari semua keanehan yang dialaminya semalam. Tapi dia tidak ambil pusing. Dia dan keluarganya harus tinggal di daerah itu, dan saat ini kondisinya tidak memungkinkan untuk pindah kontrakan.

Saat Aning berada di dapur untuk memasak, anaknya Hari yang baru bisa merangkak, menemaninya di dapur. Tapi tiba-tiba Hari tertawa keras, lalu merangkak seperti mengejar sesuatu.

Hari seperti sedang bermain-main dengan anak lain, padahal di dapur hanya ada dia dan ibunya, Aning. Tapi Aning hanya memperhatikan, tanpa menegur atau bertanya.

Tak lama berselang, Hari menangis keras, tangannya melambai ke arah pintu dapur, seperti memanggil seseorang. Dia lalu merangkak cepat menuju pintu. Aning mendekati Hari dan menggendongnya.

Sesudah semua masakan siap, Aning membawanya ke ruang makan. Namun saat melintas di depan lukisan pemilik rumah di ruang tengah, sekilas Aning melihat lukisan itu tersenyum, dan letak lukisan itu miring ke kiri.

Dia berhenti sesaat untuk memperhatikan. Wajah dalam lukisan itu berekspresi datar, tidak tersenyum. Lalu dia memperbaiki letak lukisan agar tidak miring, kemudian melanjutkan langkahnya ke ruang makan.

Saat hendak kembali ke dapur, dia kembali melewati lukisan itu. Posisi lukisan itu kembali miring ke kiri. Aning ingat sekali bahwa letak lukisan itu sudah diperbaikinya tadi, saat membawa makanan ke ruang makan.

Dia kembali memperbaiki letak lukisan pria berkumis tipis itu sebelum melanjutkan langkahnya ke dapur.

Sore harinya, sepulang Mulyo dari kantor, Aning menceritakan hal-hal yang dialaminya. Sepertinya Mulyo sudah tahu bahwa ada sesuatu dengan rumah itu.

Mulyo mengeluarkan tiga bola lampu dari kantong plastik hitam yang dibawanya, kemudian mengganti lampu-lampu yang mendadak rusak dan padam.

Lampu itu menyala saat dia mencoba menekan switch yang ada di dinding. Tapi belum cukup 30 detik, lampu itu tiba-tiba meredup dan padam.

Menjelang waktu magrib, Mulyo terpaksa membeli minyak tanah di warung dekat rumahnya, sebagai bahan bakar untuk lampu minyak di rumah itu.

Pemilik warung menyarankan agar Mulyo menyiapkan sesaji dan meletakkannya di halaman rumah, seperti yang dilakukan sebagian besar warga di daerah itu. Mulyo hanya mengiyakan, namun tidak pernah melakukannya.

Seusai magrib, Mulyo dan Aning sedang di kamar. Keduanya tersentak kaget, karena seperti ada yang menggaruk-garuk jendela kayu di kamar mereka.

Spontan Mulya membukanya untuk mengetahui siapa yang menggaruk. Tapi di luar tidak ada orang. Setelah jendela itu kembali ditutup, suara garukan itu muncul lagi.

Mulyo berinisiatif untuk keluar dan melihat langsung siapa yang iseng menggaruk jendela kamarnya. Hasilnya, dia tidak menemukan siapapun di luar, dan suara garukan itu berubah, seperti berasal dari dalam kamar.

"Ning, kamu yang menggaruk jendela dari dalam?," tanyanya pada Aning, istrinya. Tapi Aning mengatakan, suara garukan itu berasal dari luar kamar.

Bersambung...