Anas pun menuju rumah yang ditunjukkan, lalu mengetuk pintu rumah itu. Seorang perempuan keluar dan menjawab salam yang diucapkan Anas. Wajahnya mirip dengan wajah Anas.

Anas menduga, perempuan itu adalah ibu kandungnya, yang tidak pernah dikenalnya sejak dia lahir.

"Bu, benar ini rumahnya Pak Basuki?," tanya Anas.

Perempuan itu membenarkan, dan mempersilakan Anas untuk duduk dan menunggu. "Duduk dulu, dik. Bapak sedang ke warung, beli sabun," ucapnya ramah.

Sekira lima menit kemudian, Pak Basuki tiba. Dia hanya mengenakan kaus oblong berwarna putih, yang warnanya sudah pudar. Dia menyapa Anas dengan ramah, tapi tatap matanya menyiratkan rasa penasaran.

Setelah masuk dan menyerahkan sabun pada istrinya, Pak Basuki kembali ke teras, dan duduk berhadapan dengan Anas. Dia mengeluarkan rokok dan korek dari kantongnya, kemudian menyulutnya.

Aroma khas rokok kretek menyebar, seiring dengan embusan asap dari bibirnya yang kehitaman. Sambil memperhatikan Anas, dia kemudian bertanya.

"Masnya cari saya ya? Dari mana dan ada keperluan apa?," tanyanya.

Sebetulnya Anas ingin sekali berdiri dan memeluk ayahnya itu. Dadanya berdegup kencang. Dia menahan rasa bahagia, sekaligus memendam tanya, kenapa ayahnya tidak pernah sekalipun menghubunginya.

Sejak tadi Anas ingin menumpahkan air matanya. Tapi, dia mencoba bertahan. Dia tak ingin kedua orangtua kandungnya ini kaget dan shock melihatnya.

Perlahan Anas menjelaskan maksud kedatangannya, diawali dengan memperkenalkan diri. Pak Basuki tampak sedikit terkejut waktu Anas memperkenalkan diri.

Belum sempat Anas menjelaskan semuanya, Pak Basuki sudah berdiri dan memeluk Anas. Dia berteriak memanggil istrinya. Air mata Pak Basuki menetes membasahi pipinya yang sedikit tirus. Demikian pula istrinya, Bu Basuki, tak hentinya mengusap kepala Anas dan memeluknya, setelah Pak Basuki memperkenalkan Anas padanya.

Keduanya kemudian mengajak Anas untuk masuk, dan menyuruhnya mandi, dilanjutkan dengan sarapan bertiga. Seusai sarapan, Pak Basuki memanggil Anas ke dalam kamarnya. Kata Pak Basuki, ada hal penting yang akan dibicarakan.

Setelah berada di dalam kamar, dan menutup pintunya, Pak Basuki membuka lemarinya, dan mengambil sesuatu dari laci lemari di bagian bawah.

Pak Basuki membuka bungkusan itu. Ternyata isinya adalah satu batu akik besar berwarna hijau. Pak Basuki menjelaskan, bahwa batu akik itu diperolehnya dari Ki Blendo, beberapa puluh tahun silam.

Pak Basuki menceritakan tentang perjanjiannya dengan Ki Blendo pada saat itu. Kata dia, beberapa saat setelah Anas dilahirkan, Ki Blendo menagih janjinya, tapi saat itu Anas ada di kota. Padahal, untuk menjadikan Anas sebagai anak buahnya di kampung itu, Anas harus tewas di kampung tersebut.

Saat itu Ki Blendo murka, dan berniat membunuh Pak Basuki. Hanya saja, waktu itu Pak Basuki berkilah, dan mengatakan, suatu saat Anas akan datang kembali ke kampung itu.

Pak Basuki menyerahkan batu akik tersebut pada Anas, dan menyuruh untuk menyimpannya. Kata dia, suatu saat, batu itu akan berguna untuk Anas.

Dia lalu menjelaskan, sebenarnya upayanya mengungsikan Anas ke kota, adalah strategi agar Anas tidak 'diambil' oleh Ki Blendo.

"Sebetulnya perjanjian semacam itu tidak benar. Kalaupun harus ada yang jadi tumbal atas perjanjian dengan jin, maka yang menjadi tumbal adalah orang yang berjanji, bukan anaknya," Pak Basuki menjelaskan.

Hanya saja, biasanya jin lebih memilih anak dari pembuat perjanjian, karena hal itu akan lebih menyakitkan untuk si ayah. Apalagi, anak yang belum balig, membuat jin itu menjadi lebih kuat, dan si anak belum bisa melawan jika dibunuh.

Saat anak yang akan dijadikan tumbal sudah dewasa, dia akan melawan. Setidaknya dia bisa protes karena buka  dia yang membuat perjanjian. Tapi, jika itu terjadi, maka ayah si anak, atau orang yang membuat perjanjian yang akan tewas dijadikan tumbal.

"Bapak sengaja menceritakan ini padamu, karena bapak yakin, Ki Blendo akan mencarimu. Dia pasti sudah tahu bahwa kamu ada di wilayahnya. Kalau itu terjadi, sampaikan saja bahwa kamu tidak pernah membuat perjanjian. Tunjukkan batu itu padanya," Pak Basuki menjelaskan.

Setelah memberi beberapa wejangan, Pak Basuki berpamitan. Dia mengaku akan ke sawah, untuk membersihkan gulma yang tumbuh di sekitar padi.

Beberapa saat setelah Pak Basuki meninggalkan rumah, tiba-tiba langit menjadi gelap. Matahari yang tadi bersinar cerah, seolah hilang di balik awan kelabu.

Angin pun bertiup cukup kencang. Suara burung-burung yang tadi bersahutan, tiba-tiba hilang. Demikian pula dengan kokok ayam. Suasana terasa mistis dan mencekam.

Anas mengira hujan akan turun. Dia masih belum sensitif atas hal-hal yang berbau supranatural. Berbeda dengan ibunya, yang langsung merasa khawatir dan cemas akibat perubahan suasana yang tiba-tiba tersebut.

"Bapak kamu tadi ke mana? Sepertinya  Ki Blendo murka. Coba lihat di langit, tiba-tiba awan hitam itu muncul dan burung-burung berhenti berkicau," tanyanya khawatir.

"Tadi katanya mau bersihkan rumput di sawah, Bu. Emang kenapa?," Anas balik bertanya.

Ibunya mengernyitkan dahi. lalu mengatakan, bahwa rumput-rumput di sawah, sudah dibersihkan sejak dua hari lalu.

"Waktu di kamar tadi, bapakmu cerita apa? Bukan tentang Ki Blendo kan?," tanya ibu lagi.

Anas menjawab, bahwa yang dibicarakan di kamar memang tentang Ki Blendo, dan cara agar nyawa Anas bisa selamat dari Ki Blendo. Tapi, sebagai penggantinya, Ki Blendo akan mengambil nyawa Pak Basuki, sebagai orang yang telah membuat perjanjian. Itu pun jika Ki Blendo sudah menemui Anas.

Ibunya terlihat lemas saat mendengar jawaban Anas. Dia berucap setengah menggumam, bahwa Pak Basuki pasti sedang menuju goa di tepi hutan, untuk bersemedi dan menemui Ki Blendo.

Bu Basuki masuk ke dalam kamar, kemudian kembali keluar. Lalu dia mengajak Anas ke goa yang dimaksud. Kata ibunya, mereka harus berusaha menghalangi Pak Basuki menemui Ki Blendo.

Ibunya melangkah cepat, menyusuri pematang sawah dan jalanan menanjak, menuju ke tepi hutan, tempat goa yang dimaksud.

Tidak butuh waktu lama untuk tiba di lokasi yang tampak sunyi dan gelap itu. Dinding goa yang lembab dan cahaya yang temaram, membuat suasana terasa angker. Ditambah lagi dengan aroma tanah bercampur lumut, membuat tempat itu semakin wingit.

Dalam keremangan suasana goa, terlihat sosok seseorang yang sedang duduk bersila, di atas batu yang ada di ujung goa itu.

Anas dan ibunya tidak segera menegur sosok yang sedang duduk bersila itu. Keduanya ingin memastikan bahwa orang itu adalah Pak Basuki.

Mereka berjalan pelan dan mengendap-endap, seperti khawatir jika sosok yang sedang bersila itu terganggu. Setelah dekat, mereka yakin bahwa sosok itu adalah Pak Basuki.

Pak Basuki terlihat khidmat bersemedi. Matanya terpejam, kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Wajahnya tampak tenang.

Anas tidak berani menegur atau menyentuh bapaknya, karena dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan. Tapi, ibunya, segera mengguncang bahu suaminya, dan menyuruhnya untuk berhenti bersemedi.

Guncangan yang dilakukan oleh Bu Basuki pada bahu suaminya, tidak terlalu kuat, tapi, Pak Basuki tampak lemas dan roboh ke atas batu.

Bu Basuki terpekik. Dia sadar apa yang terjadi pada suaminya. Hal yang dikhawatirkannya sejak tadi, sudah terjadi. Suaminya telah meninggal. Dia yakin, itu perbuatan Ki Blendo, akibat janji yang dibuat oleh suaminya.

Keduanya lalu membawa pulang jenazah Pak Basuki, untuk dimandikan dan dimakamkan hari itu juga.