Mataku belum bisa terpejam, meski kantuk mulai menyerang. Suara gemericik air sungai di belakang rumahku, sedikit tersamar oleh deru suara pesawat terbang yang melintas di langit.

Di atas meja di samping tempat tidurku, masih ada setengah gelas kopi, yang mulai dingin. Kopi itu sengaja kuseduh untuk menemaniku menulis. Tapi, sejak dua jam setelah aku menyeduhnya, belum satu paragraf pun yang terketik di layar ponselku.

Entah kenapa, sejak tadi pagi, tidak ada ide yang muncul untuk menulis cerita-cerita seram. Beberapa kejadian seram yang pernah aku alami pun seolah terlupa.

Jam pada ponselku sudah menunjukkan pukul 22.08, dan aku harus menyelesaikan tulisanku sebelum pukul 24.00. Itu berarti tersisa tidak sampai dua jam.

Baru saja aku mau mulai mengetik, tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggilku. Aku beranjak dari tempat  tidur, dan menuju ruang depan, untuk membukakan pintu, karena aku mengira itu adalah suara tetangga yang membutuhkan sesuatu.

Tapi, setelah pintu terbuka, tidak ada siapapun di depan pintu. Hanya saja, sekilas tercium bau bunga melati atau bunga sedap malam.

"Mungkin aku yang salah dengar, gegara banyak berpikir," gumamku sambil menutup pintu, dan menguncinya.

Aku kembali ke kamar belakang, untuk memulai tulisanku. Namun, belum lagi aku sempat merebahkan diri di tempat tidur, suara itu terdengar lebih jelas. Aku mencoba mendengarkan lebih saksama. Tapi suara itu kembali menghilang.

Suasana malam ini cukup sunyi, hanya suara gemericik air sungai dan dengung kipas angin di kamarku, sehingga, jika ada seseorang yang berbicara, akan terdengar cukup jelas.

"Kori.. Kori, buka pintunya. Tolong aku, Kori," suara itu cukup jelas memanggil namaku. Tapi, sepertinya itu bukan dari depan, tapi di belakang rumah.

Aku mengernyitkan dahi, dan mencoba meyakinkan diriku sendiri, bahwa suara itu berasal dari belakang rumah. Karena, tidak ada jalanan di belakang rumahku. Hanya ada tanggul pembatas sungai dengan halaman belakang rumah. Jaraknya pun tidak jauh, hanya sekira empat meter.

"Siapa," tanyaku, sambil berharap agar pemilik suara itu menyahut, supaya aku bisa memastikan arah suara itu.

Suara itu kembali terdengar memanggil namaku. Kali ini aku benar-benar yakin bahwa suara itu dari belakang. Hanya saja, menurutku suara itu sangat aneh. Aku tidak mengenalnya.

Aku bergegas membuka pintu belakang. Tapi, tidak ada siapapun di situ. Aku mulai merinding dan berniat menutup pintu.

"Tolong aku, Kori. Jangan tutup pintunya," suara itu terdengar lagi.

Spontan aku celingak-celinguk mencari sumber suara, meski rasa takut masih menerpa. Saat aku melihat ke atas, ke tempat penampungan air, seorang perempuan tengah duduk di atas tandon berwarna orange.

Matanya yang sayu, menatap lurus ke arahku. Wajahnya pucat, dengan bayangan hitam di seputar kelopak matanya. Rambut panjangnya terurai, sebagian tertiup angin. Wajahnya muram.

Hampir saja aku pingsan melihat sosok perempuan itu, yang aku pastikan bahwa dia adalah hantu.

Hanya dalam hitungan detik, aku sudah kembali menutup dan mengunci pintu. Aku berbalik untuk menuju kamar. Tapi, saat aku memutar tubuhku, hantu perempuan itu sudah ada di hadapanku.

Dia memangis. Suaranya yang memilukan dan menyayat hati, membuatku bergidik.

"Jangan ganggu saya. Alam kita berbeda. Kembalilah ke alammu," kataku memberanikan diri.

Dia terus menangis tersedu. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan takutku jauh lebih besar daripada perasaan kasihanku padanya.

Aku mencoba membaca ayat-ayat suci yang kuhapal, tapi rasa takut yang membelenggu, membuatku lupa bunyi sebagian ayat-ayat itu.

Hantu perempuan itu mengulurkan tangannya untuk menggenggam jemariku. Lutut ini serasa tidak mampu menahan berat tubuhku. Kakiku seperti menempel di lantai.

Kali ini aku benar-benar tidak mampu berkata-kata. Hanya bibirku yang bergetar karena ketakutan. Seluruh tubuhku terasa dingin. Mungkin sama dinginnya dengan jemari hantu yang kini menggenggam jariku.

Sambil terus menggenggam jemariku, hantu itu tidak berhenti tersedu. Air matanya yang menetes, membasahi punggung tanganku.

Dia lalu bercerita, bahwa dirinya baru meninggal tiga hari yang lalu akibat kecelakaan lalulintas. Dia menabrak jembatan, dan jatuh ke dalam sungai bersama sepeda motornya.

Sepeda motornya tenggelam di sungai, di bawah jembatan yang terletak sekira satu kilometer dari rumahku. Kata dia, waktu itu keadaan sangat gelap, dan dia tidak melihat bahwa ada jembatan tepat di tikungan.

Saat dia terjatuh, tidak ada seorang pun yang melihatnya, karena waktu itu sudah larut malam.

"Tolong saya. Sampaikan pada keluargaku, bahwa jenazahku masih ada di sungai, terjepit di antara bebatuan di tengah sungai," pintanya.

Keberanianku mulai muncul, entah datang dari mana. Perlahan aku mulai melafadzkan ayat kursi, dan menepiskan genggamannya pada jemariku.

Hantu itu melangkah mundur. Sorot matanya yang tadi menunjukkan kesedihan, berganti menjadi tatapan marah. Matanya melotot menatapku tajam. Lalu dia tertawa. Suaranya melengking nyaring. Tidak ada lagi isak tangis yang menyayat hati.

Dua taringnya yang tampak mengerikan, tiba-tiba muncul saat dia tertawa. Dia melayang menuju ke arahku, dengan kedua tangan diulurkan, seperti hendak mencekikku.

Aku terkejut melihat reaksinya saat aku mulai membaca ayat kursi. Sangat berbeda dengan saat dia meminta pertolonganku tadi.

Jemarinya telah menyentuh leherku, padahal ayat kursi yang kubaca belum sampai setengahnya. Nafasku tersengal, membuat bacaanku terpotong.

Hantu itu terus mendorongku hingga ke tembok. Cekikannya semakin kuat mencengkeram. Pandanganku mulai gelap. Aku meronta sebisaku. Tanganku meraih wajahnya dan mencakar sebisaku. Tapi itu tidak membuatnya melepaskan cekikannya. Justru dia semakin marah.

Dengan pandangan yang mulai menghitam, aku menendang perutnya sekuat mungkin.

Upayaku berhasil. Dia terdorong ke belakang dan cekikannya terlepas. Aku berteiak sekuat-kuatnya, dan berharap agar penguni rumah yang lain terbangun.

Aku terus berteriak minta tolong, sampai aku merasakan ada tangan yang mengguncang bahuku.

"Kori, bangun. Bangun, istighfar," aku mendengar suara ayahku.

Aku membuka mataku. Ayahku duduk di tepi tempat tidur. Sementara ibuku, berdiri di depan kamar. Sedangkan aku sendiri berbaring di tempat tidur.

"Kamu mimpi apa, Nak? Minum air putih dulu. Istighfar, Nak," ucapnya menyarankan.

Aku bangun dan duduk di sampingnya. Lalu meneliti seluruh bagian tubuhku. Tidak ada bekas cekikan. Hanya saja, lengan dan punggung tanganku basah, tepat di tempat yang tadi terkena tetesan air mata hantu perempuan dalam mimpiku.

Setelah minum segelas air putih, dan kondisiku tidak lagi tegang akibat kaget, aku menceritakan mimpiku pada ayah dan ibu, termasuk lenganku yang basah. Ayah mengangguk-angguk. Sepertinya dia mengetahui sesuatu.

"Sepertinya mimpi itu memang petunjuk. Hantu itu memang mendatangimu. Dia butuh bantuan," kata ayah, sambil berjalan keluar kamar, dan pergi entah ke mana.

Ternyata ayah pergi ke pos ronda. Dia mengajak beberapa warga untuk mengecek ke bawah jembatan. Mereka mencari sepeda motor yang dikatakan oleh hantu itu dalam mimpiku.

Benar saja, mereka menemukan sepeda motor tersebut di sana. Dengan tubuh dan pakaian yang basah, warga mengangkat sepeda motor itu ke tepi sungai.

Tapi, mereka sepakat untuk tidak mencari jasad pemilik sepeda motor itu. Mereka akan melapor pada polisi pada keesokan paginya, supaya polisi dan petugas yang mencari jasad perempuan itu, jika memang ada.

Keesokan paginya, belasan anggota tim Basarnas menyisir lokasi di sekitar dua batu besar di tengah sungai, tepat di belakang rumahku.

Pencarian hanya memakan waktu kurang dari setengah jam. Tim menemukan jasad perempuan itu. Pakaiannya masih utuh. Dompet pada kantong celananya juga ada. Isinya beberapa identitas kependudukan.

Tiba-tiba, aku melihat hantu yang tadi malam mendatangiku, dia keluar dari jasad kaku itu. Kemudian melayang, sambil tersenyum padaku, lalu hilang entah ke mana.