Panglima Burung namanya sudah sangat terkenal di tanah Kalimantan, hingga mendunia. Ia identik dengan orang Dayak. Namun, soal kesaktiannya, hal itu masih menjadi misteri.

Jakarta, Cermis.id - Di Kalimantan, khususnya dalam suku adat Dayak, dipercaya ada suatu makhluk yang disebut-sebut sakti mandraguna dan sifatnya yang baik. Namanya Panglima Burung.

Ya, sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, dan konon ia selalu bersinggungan dengan alam gaib. Sebab itu, banyak cerita yang berseliwer, jika Panglima Burung, oleh orang Dayak, dianggap sebagai pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang dihormati. Sapaannya adalah Pangkalima, bagi orang Dayak pedalaman.

Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok ini, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan, ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Tersiar pula kabar jika Panglima Burung berwujud gaib dan bisa menyerupai laki-laki atau perempuan, tergantung situasi. Ada juga yang bilang, sosok Panglima Burung merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual.

Soal mengapa dinamakan Panglima Burung, dasarnya pun masih dipertanyakan, banyak yang bilang ia adalah jelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.

Ada juga versi yang menceritakan bahwa Panglima Burung adalah gelar yang diberikan kepada seorang panglima di tanah Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Suku Dayak (foto: Iman Brotoseno/FIickr)

Kehidupan sehari-hari panglima ini seperti orang biasa (cuma tidak menikah) dan sosok panglimanya akan hadir jika terjadi kekacauan di tanah Dayak.

Begitu juga dengan Panglima Naga. Panglima Naga adalah warga Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Panglima Naga sudah berpulang, namun beliau memiliki keponakan dan keluarga.

Salah satu Keponakan Panglima Naga adalah anggota Dewan Kabupaten Sekadau 2004-2009. Jadi Panglima Burung, Panglima Naga, adalah sosok yang benar-benar ada. Begitu mayoritas orang Kalimantan menceritakannya.

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak.

Namun setiap pengakuan itu, hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.

Sejauh ini, banyak isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang sangat pas untuk menggambarkan, apa dan siapa Panglima Burung.

Ialah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.

Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu? Bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran.

Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto. Kadang, harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.

Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, terbuka, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang, baik religi maupun ritual.

Seperti Panglima Burung yang konon tetap bersabar dan tenang mendiami pedalaman. Masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah, ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka.

Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.

Riuh rendah kehidupan para pendatang tak membuat mereka marah dan tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang lingkungannya adalah orang Dayak Ngaju atau yang akrab disebut Danum Kaharingan.

Mengapa ia disebut sederhana, sebab Panglima Burung disebut tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam.

Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.

Soal peperangan

Ada satu perkara barulah Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Itu yang masih menjadi cerita misteri, sewaktu tragedi perang yang menyeret suku terjadi.

Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka.

Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam, jika sudah kesabarannya sudah habis.

Jika toh sudah murka, Panglima Burung akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Caranya? Ada ritual adat yang kerap dibuat di Kalimantan Barat, yakni Mangkuk Merah.

Hal ini dilakukan untuk mengumpulkan para prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Jika sudah begitu, tarian-tarian perang bersahut-sahutan, dan mandau melekat erat di pinggang.

Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis.

Mereka siap berperang, mengayau (memenggal kepala) dan membawa kepala yang dianggap musuhnya tersebut kemana-mana. Baru bisa berhenti, apabila kepala adat yang dianggap perwakilan Panglima Burung menyadarkan mereka.

Inilah yang terjadi di kota Sampit Kalimantan Tengah beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.

Intinya, kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi atau pilihan terakhir. Saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, begitu yang mereka yakini dalam sudut pandang mereka.

Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan.