Cermis.id - Malam tujuh belas Agustus, di salah satu makam keramat. Begitu aku dipahamkan tentang badai yang datang dengan edan. Embusnya dahsyat. Makin lama makin kencang.

Aku dan beberapa orang sedang berada di Gajah Mungkur, nama salah satu anak gunung Penanggungan yang terkenal mistis. Tingginya memang tak menyaingi Mahameru, setinggi 1653 mdpl.

Tapi, sekian pendaki mengakui kemistisannya. Kisah masyhur yang kudengar ialah Pawitra. Konon, puncak Gunung Penanggungan adalah puncak Himalaya yang diangkut Batara Wisnu saat keseimbangan bumi guncang.

Pawitra adalah satu-satunya gunung yang diapit empat gunung kecil sesuai arah mata angin. Dengan bahasa lain, disebut sebagai gunung yang dikunci. Kabarnya, Pawitra adalah bahasa Sanskerta yang berarti suci atau kudus.

Penanggungan memang unik. Ia dijelaskan sebagai gunung berapi yang istirahat atau mati suri. Jadi, sewaktu-waktu bisa meletus. Hal inilah yang semakin menguatkan kepercayaan kuno, bahwa ia adalah kunci dari segala gunung berapi yang sedang dikunci. Kata Penanggungan pun sering dikaitkan dengan kata dasar tanggung, bahwa Penanggungan adalah gunung yang menanggung gunung lainnya.

**

Aku hanya memakai celana pendek loreng tentara dan jaket tipis. Semakin lama, semakin tampak kedinginan. Kami berjumlah sembilan orang dengan satu tenda single layer, berkapasitas empat dan satu terpal agak besar. Sembrono? Tidak. Hal yang sama pernah kami lakukan di Semeru yang suhunya lebih ekstrem.

“Loh gak bawa sarung dan celana?”

“Enggak” Jawabku sekenanya.

Aku berangkat dari Kediri dan perlengkapan pendakianku ada di rumah,di Sidoarjo. Jadinya, ya asal naik saja. “Wah pelanggaran. Yowis dihentikan saja badainya.” Lalu, ia yang dituakan sekaligus pimpinan rombongan kami mengajak keluar dari tenda. Semuanya.

Lokasi kami saat itu di Candi Gajah, tepat di lereng Penanggungan. Kami melingkar. Lalu, ia yang kami tuakan, walau masih muda, merapalkan mantra yang samar-samar kupahami sebagai bahasa Jawa dan Arab. Beberapa kali berjeda dengan ucapan “Alfatihah”.

Setelah kurang lebih 20 menitan, ia berdiri lalu duduk bersila di salah satu arca yang hanya cukup diduduki satu orang, menghadap puncak Pawitra sambil memejamkan mata. Suasana hening. Kami tetap melingkar di bawah arca.

Kurang lebih 5 menit kemudian, ia membuka mata sambil berkata: Sudah. Nyalakan ke arah Bukit Bayangan. Dia (entah siapa maksudnya) ada di sana.

Lalu empat orang dari lingkaran kami berdiri. Memoncongkan petasan ke langit, sedikit condong ke Bukit Bayangan Gunung Penanggungan. Lalu…

Darrrrrrrr…. Darrrrr….. Darrrrr…

Suara empat petasan bersahutan. Kulihat jam masih pukul 22.49 WIB. Terlalu dini untuk merayakan 17 Agustus dengan petasan. Ohiya, sebagai catatan tambahan, beberapa gunung melarang membawa petasan.

Aku juga tak mengerti kenapa malam itu teman-teman diperintah membawa petasan, padahal beberapa kali naik gunung, kami tak pernah membawa benda berisik itu. Dan memang kurang etis, sebab bisa merusak keheningan gunung dengan suara ledakan.

Ajaibnya, setelah bunyi petasan terakhir, badai langsung hilang. Aku takjub, tapi tak terlalu terkejut. Hal-hal aneh sudah sering kualami semenjak berkumpul dengan mereka semua.

Mereka orang-orang aneh yang susah dimengerti dan menarik untuk selalu kuikuti demi bisa membaca hal-hal yang tak lumrah. Mereka, bagiku, adalah bab unik dari kitab semesta.

Dan benar saja, tidak hanya keanehan itu. Siangnya, seorang tua menghampiri kami sambil menyodorkan sebotol air mineral besar. Isinya tinggal separuh. Sambil tersenyum ia berkata dalam bahasa Jawa yang kuterjemahi begini.

"Ini sumber Penanggungan. Keluarnya hanya setetes-setetes dan kalaupun tak tahu tempatnya, bisa saja seharian takkan ketemu. Minumlah. Di sini memang enak untuk tirakatan."

Lalu Pak Tua itu pergi, meninggalkan teka-teki. Siapa ia sejatinya, dari mana ia sebenarnya, mengapa ia berkata demikian, kenapa ia memberi minuman, dan pelbagai tanya yang mungkin saja hanya muncul di pohon kepalaku.

Air pemberiannya dibagi rata untuk kami minum. Sedikit asal berkah, barangkali begitu harusnya.

**

Beberapa dari kami berangkat 15 Agustus. Aku ikut gelombang kedua yang berangkat tanggal 16 Agustus, sore menjelang malam. Jadi, selain badai, kisah Pak Tua dengan sumber Penanggungan, sekadar kudengar dari mereka yang datang duluan.

Pada 17 Agustus pagi, kami melihat lelaki yang kutaksir umurnya di kisaran 45 tahun, sedang ngarit (memangkas rumput di sekitar Candi Gajah dengan celurit), lalu kami ketahui bahwa ia dalah Pak Nimun, juru kunci Gajah Mungkur.

Pada tanggal 10 Agustus, kami sebenarnya sudah ke Gajah Mungkur, ziarah ke Makam Mbah Lipah (Mbah Khalifah). Aku masih ingat, di makam Mbah Lipah, seorang yang kami tuakan itu berkata: Ayo cari makam di sekitar sini, gak mungkin Mbah Lipah sendirian. Ada orang lain di sini.

Lalu kami menyebar tapi tak ketemu. Dan hari ini, seminggu setelah kejadian itu, Mbah Nimun berkisah: Saya sudah jadi juru kunci di sini selama 25 tahun, tapi belum pernah tahu tentang kuburan di dekat Mbah Khalifah. Saya kaget pas mimpi disuruh mencari satu makam kuno di sekitar sana.

Terus ada juga orang Banyuwangi tiba-tiba bertamu mengatakan, bahwa ada makam kuno di Gajah Mungkur yang tidak terawat. Akhirnya, malam harinya saya nginep (bermalam) di dekat makam Mbah Khalifah. Saya melihat orang tinggi besar memakai pakaian putih ke arah Barat. Saya agak takut, kayaknya bukan orang beneran.

Paginya saya cari ke arah di mana orang itu berjalan dan ketemu seorang pengarit. Saat saya tanya tentang makam kuno, ia mengaku pernah menemukannya, lalu mengantar saya ke sana. Dan ternyata benar-benar ada dan sesuai arah seorang yang berjalan semalam.

Lalu kami diantarkan ke makam kuno yang baru dibersihkannya beberapa hari lalu. Di depan makam itu, seorang yang kami tuakan meminta izin ke Pak Nimun: Kulo paringi dupo nggeh, Pak, ben katah ingkang mriki (Saya kasih dupa, Pak, nggeh, biar banyak yang ke sini).

Pak Nimun menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Lalu, dupa pun dibakar dan ditancapkan di dekat batu nisan makam tersebut. Kemudian, kami semua mengheningkan cipta beberapa menit. Ditepuknya makam itu tiga kali, lalu kami kembali ke tenda dan Pak Nimun berpamit pulang ke rumah.

**

Semenjak peristiwa itu, Gajah Mungkur semakin ramai didatangi entah sekadar ke candi-candinya atau mampir dari atau menuju puncak Pawitra. Menurut info dari Pak Nimun, berdasarkan peta kuno, ada seratus lebih candi di Gajah Mungkur dan kini tersisa tak sampai sepuluh candi saja.

Ada Candi Kerajaan, Dharmawangsa, Gajah, Wayang, Kama IV, Griya, dan situs Watu Jolang. Bahkan, telah berdiri Pos Pendakian resmi ke Penanggungan. Sayangnya, para pendaki biasanya diberhentikan di Pos Kunjorowesi bukan Tlogo yang lebih dekat ke Gajah Mungkur, walau tujuannya tidak ke puncak Pawitra.

Dan berselang dua tahun, aku baru tahu kisah aslinya. Makam siapa sebenarnya yang dinapaktilasi teman-teman. Konon, ia sendiri yang datang dalam sebuah semadi dan meminta disambang dengan syarat jasad bertemu jasad.

Artinya, makamnya tidak boleh didatangi secara metafisik yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan sebutan ngerogosukmo yakni memisahkan sukma dari raga. Sayangnya, jati diri pemilik makam tidak bisa kusebutkan dengan pelbagai pertimbangan. Singkatnya, ia seorang yang bijaksana pada masa hidupnya dan memiliki pengaruh kuat di Jawa.

Ditulis oleh M.A. Mas’ud, Anggota Sinau Detak Aksara (Malang)