Cermis.id - Bangun tidur, seharusnya harus mengambil waktu beberapa jenak. Jika hari biasa, Anda seharusnya minum dulu atau duduk sebentar. Tak baik terburu-buru melakukan sesuatu saat bangun tidur.

Setidaknya itu yang saya pelajari dari pesan orangtua saya. Pemali katanya. Ya, saya percaya. Setelah saya melanggarnya, maka saya mendapatkan kecelakaan di tengah jalan. Terus terang, saya hampir tewas.

Dari jauh hari saya sudah merencanakan akan ke Kajang, salah satu daerah di Sulawesi Selatan, di Kabupaten Bulukumba. Saya merencanakan akan berangkat pagi.

Awalnya memang ada larangan dari orangtua, tapi saya meyakinkannya bahwa semuanya aman. Keputusan saya bulat. Dari Subuh, saya sudah keluar ke rumah kerabat yang tak jauh dari rumah.

Saya belum makan saat itu. Saya selalu menyesali keterburu-buruan saya. Sepertinya, saya takut jika telat sampai di tujuan atau saya yang terlalu bernafsu sampai lebih cepat di Kajang karena muak dengan kota?

Ibu menyilakan untuk minum teh, tapi saya tolak. Saya tahu, ibu seorang peminum dan pembuat teh yang baik. Teh andalannya adalah cap Gunung. Sejak kecil, saya terbiasa meminumnya.

Ia membiarkanku pergi saja setelahnya. Dari jauh, kudengar kalimatnya yang menyuruhku hati-hati. Saya paham. Saya lihat langit masih meremang ungu menjelang putih bersih. Kendaraan belum ramai.

Saya sampai di rumah kerabat. Ibunya masih mengaji di ruang tamu. Sementara ayahnya duduk makan kue kering yang tersedia di toples, sambil menonton tv.

Kerabat saya menyelesaikan salat Subuhnya dulu, lalu memastikan diri untuk berangkat ke Kajang. Motor yang kami pakai adalah motornya. Saya belum punya kendaraan.

"Pakai helm, Nak!"

Ibu kerabat saya itu berpesan. Hampir saja saya berpikir tak ingin memakai helm. Untung saja. Akhirnya kami pergi dengan terburu-buru, sebab kupikir, tak enak melaju kesiangan.

Kami menaikkan gas dengan tingkat motor yang sudah tidak normal. Itupun awalnya saya sudah meminta izin pada kerabat syaa, dan ia sudah mengiyakan. Iya ikhlas dan bicaranya tampak senang.

Akhirnya, setelah cukup lama meninggalkan Makassar, di daerah Takalar, saya kecelakaan. Saya ugal-ugalan. Saya yang salah. Jika saja tadi tak memakai helm, apa jadinya saya dan kerabat saya itu?

Saya menabrak pantat mobil yang ingin belok ke kiri. Celakanya, saya menghiraukan lampu seinnya yang dinayalakan secara tiba-tiba. Saya kaget dan motor sudah tidak bisa dikendalikan. Bruk!

Kaca mobil belakang itu pecah dihantam kepala temanku yang terlempar. Untung ia pakai helm. Jika tidak, kepalanya sudah hancur berantakan. Saya cukup ngeri melihatnya.

Saya terseret cukup jauh di aspal. Helm saya terlepas. Untungnya muka saya tidak hancur. Namun darah, astaga, seperti orang yang kecelakaan berat. Malu melihat wajah saya saat itu.

Persoalan ganti rugi akhirnya selesai. Saya akhirnya membawa motor itu kembali ke Makassar dengan wajah yang penuh darah. Motor kerabat saya ringsek bukan main, tapi masih tetap bisa melaju.

Saya sampai ke rumah. Ibu saya kaget bukan kepalang melihat saya pulang dengan tidak semestinya. Ibu saya menangis dan berlari memeluk tubuh saya. Saya bilang, saya tidak apa-apa.

Akhirnya, saya mencuci muka. Dan betapa kagetnya, ternyata yang luka cuma bibir, itu pun kecil. Namun darahnya penuh menutupi muka. Astaga.

Saya disuruh duduk dan minum obat agar nyerinya hilang. Sambil duduk, saya diam dan berpikir, saya tidak mau lagi terburu-buru mengerjakan sesuatu saat baru bangun dari tidur. Itu membuat saya trauma dan percaya akan pemali sampai hari ini.