"Tolooooong...," teriak Ais sekencang-kencangnya. Tapi tidak seorang pun mendengar teriakannya. Bus itu tetap melaju, mengikuti jalan setapak di tengah hutan. Ais menangis sejadi-jadinya.

Ais panik. Dia berusaha membuka pintu bus, tapi pintu itu tidak bisa dibuka. Sepertinya pabriknya memproduksi bus itu dengan pintu otomatis. Dia mencoba memukul-mukul kaca jendela bus, tapi percuma. Pukulan tangan Ais yang kecil tak mampu memecahkan kaca setebal lebih dari lima milimeter tersebut.

Tangis Ais semakin keras. Dia berharap ini semua hanya mimpi buruk. Tapi saat dia mencubit tangannya, Ais merasa sakit. Artinya, ini adalah kenyataan. Ais beristighfar, berdoa pada Tuhan, agar dia diselamatkan.

Sekilas dia teringat pada Eka, temannya yang tadi akan menjemput di stasiun. Seandainya tadi dia mengikuti saran Eka, pasti saat ini dia sudah istirahat sendirian di kamar penginapan. Mungkin Ais sudah berbaring di kasur empuk dengan laptop di hadapannya, dan cemilan di sampingnya.

Dia juga membayangkan, seandainya saat ini Eka ada di dalam bus, pasti Ais tidak akan setakut ini. Mungkin Eka akan memeluknya untuk menenangkan. Lalu Ais akan menyandarkan kepalanya di bahu Eka, seperti sepasang kekasih.

Tapi Ais menepis khayalannya. Dia harus menghadapi kenyataan, bahwa saat ini dia sendirian di dalam bus yang melaju di hutan. Bus yang berjalan tanpa sopir.

Ais memeriksa ponselnya, berharap agar dia dapat menghubungi Eka, agar Eka bisa mencarinya ke hutan ini, tapi Ais tidak tahu dia berada di hutan mana. Jaringan internet maupun selulernya juga tidak ada. Sinyal pada ponselnya menunjukkan tanda silang.

Di kejauhan, lamat-lamat dia melihat dua orang berdiri. Sepertinya orang itu akan naik bus yang ditumpanginya. Harapannya kembali muncul. Setidaknya dia tidak sendiri di dalam bus ini.

Benar saja, bus tanpa sopir ini mengurangi kecepatannya, kemudian menepi ke depan kedua orang itu. Pintu bus secara otomatis bergeser ke kiri dan ke kanan.

Ais merasa sangat bersyukur, karena salah satu dari penumpang itu adalah perempuan. Keduanya lalu duduk tepat di hadapan Ais.

Pintu bus kembali tertutup, seiring dengan kembali berjalannya bus tersebut, entah menuju ke mana.

Suasana di luar bus semakin gelap, hanya lampu bus yang menjadi penerang. Bayangan hitam pepohonan membuat suasana semakin mencekam.

Ais mencoba membuka pembicaraan dengan kedua penumpang baru itu, tapi Ais ragu, karena sejak naik hingga saat ini, keduanya tidak pernah saling bercakap. Dia kembali membayangkan jika dirinya bersama Eka di dalam bus ini. Pasti mereka akan bercerita dan bercanda, tanpa menghiraukan dua penumpang yang baru naik.

"Sejujurnya saya berharap ada Kak Eka menemani di sini," ucapnya dalam hati.

Selama ini Ais berusaha menolak kata hatinya, bahwa dia memiliki perasaan pada Eka, bahwa dia menyimpan rindu yang sangat pada laki-laki tengil itu. Ais selalu membohongi dirinya sendiri, dan mencoba membunuh perasaan itu, meski akhirnya rasa itu justru membuncah, memenuhi rongga dada dan pikirannya.

Ais kembali mencoba menepis bayangan Eka yang bermain dalam pikirannya, mencoba menghapus senyum Eka yang tidak manis-manis amat tapi seperti tergambar di pelupuk matanya. Saat ini yang harus dilakukan bukan membayangkan Eka, tapi bercakap dengan penumpang di depannya.

"Mbak, bus ini menuju ke mana ya? Apa memang trayeknya lewat hutan seperti ini?," tanya Ais pada perempuan di depannya.

Perempuan itu tidak langsung menjawab. Dia menatap Ais dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Matanya sayu tapi tampak sedikit menakutkan. Wajahnya pucat dengan bibir berwarna kehitaman.

Ais terkejut melihat wajah perempuan itu. Tampak dingin dan tanpa ekspresi. Menurutnya seperti mayat hidup.

"Bus ini menuju di Pasar Bubrah. Di sana titik akhirnya," jawab perempuan itu lirih.

Ais tidak mengerti. Baru kali ini dia mendengar ada daerah bernama Pasar Bubrah. Meski tidak begitu lancar berbahasa Jawa, tapi Ais tahu arti bubrah, yakni terhambur atau tidak tertata.

Tapi dia tidak kembali bertanya. Nyalinya mulai menciut saat melihat wajah dan suara perempuan itu. Apalagi saat dia memperhatikan pria yang bersama perempuan itu.

Dia seperti tidak memiliki bola mata hitam. Seluruh bola matanya berwarna putih, di sekeliling matanya terlihat lingkaran kehitaman.

Lagi-lagi Ais teringat pada Eka. Kali ini dia benar-benar berharap Eka ada di sampingnya, memeluknya untuk menenangkan. Ais tidak lagi mencoba menepis perasaannya pada Eka. Dia membiarkan lamunan dan khayalan manis dengan Eka memenuhi rongga kepalanya.

Tiba-tiba bus itu kembali berhenti. Rupanya ada lagi penumpang yang naik. Kali ini seorang nenek yang membawa bungkusan di tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang tongkat.

Nenek itu mengenakan kacamata hitam. Sesuatu yang menurut Ais sangat tidak lazim. Mengenakan kacamata hitam pada malam hari, apalagi di tengah hutan yang gelap.

"Mungkin nenek itu buta dan tongkat itu sebagai alat bantunya," duga Ais dalam hati.

Tapi, jika memang nenek itu buta, keluarganya pasti orang-orang yang tidak memiliki perasaan. Mereka tega membiarkan seorang nenek buta untuk naik bus seorang diri di tengah hutan.

Ais bergidik saat dia kembali sadar bahwa dirinya berada di dalam bus yang melaju sendiri di tengah hutan. Dia yakin bahwa ada sesuatu yang gaib yang dialaminya. Dia kembali berdoa.

Nenek itu tertatih saat melangkah di dalam bus. Sepertinya memang dia buta, karena tongkatnya digoyangkan ke kiri dan ke kanan untuk mengetahui jalur yang rata di dalam bus.

Ais mencoba menolongnya. Dia memegang lengan nenek itu dan mengajaknya duduk di samping Ais. Setelah duduk, nenek itu mengucapkan terimakasih atas bantuan Ais.

"Sepertinya nenek ini tidak semenakutkan kedua orang di depanku," Ais berucap dalam hati.

Ais lalu mengajak nenek itu bercakap. Dia menanyakan tujuan nenek itu, dan bertanya apakah nenek itu tidak bisa melihat.

"Nenek mau ke Pasar Bubrah. Iya, nenek tidak bisa melihat. Makanya nenek pakai tongkat," jawabnya.

Suara nenek itu datar dan ramah, membuat Ais merasa sedikit lebih tenang. Ais berbesar hati, bahwa nenek ini akan menemani dan membantunya setiba di Pasar Bubrah nanti.

Tiba-tiba nenek itu bertanya pada Ais. "Nak, apakah kamu mau membantu nenek? Bantu nenek supaya bisa melihat lagi," pintanya pada Ais.

Ais yang pada dasarnya suka menolong, spontan menjawab bahwa dia bersedia membantu nenek itu. Ais juga bertanya bagaimana caranya dia bisa membantu si nenek agar bisa melihat.

"Terimakasih sebelumnya, Nak. Kalau begitu, tolong pasangkan bola mata nenek ke tempatnya," ucap si nenek sambil membuka kacamata dan mengeluarkan dua biji mata dari bungkusan di tangan kanannya.

Wajah nenek itu menjadi sangat menakutkan. Rongga matanya menganga tanpa biji mata di dalamnya. Sementara di tangannya, dia memegang dua biji mata.

Spontan Ais kembali berteriak. Dia menjerit sekeras-kerasnya. Ais berlari menuju bagian belakang bus, lalu menelungkupkan wajahnya pada kursi bus. Dia sangat ketakutan. Perutnya mual melihat dua biji mata di tangan nenek itu.

Bersambung