Nada pesan masuk terdengar dari ponselku yang tergeletak di meja. Aku menduga pesan itu berasal dari Aisah, teman lamaku. Sudah cukup lama aku dan Aisah tidak bertemu. Terakhir sekitar dua atau tiga tahun lalu, saat masih sama-sama bertugas meliput di kantor gubernur.

Sejak tiga hari lalu Ais, sapaan akrab Aisah, menghubungiku melalui aplikasi perpesanan instan. Dia berencana membuat artikel tentang kegiatan budaya di kota ini, Jogja.

Sebagai teman yang lama tinggal di kota ini, aku menawarkan untuk menjemput dan mengantarnya menemui beberapa tokoh budaya di sini, juga lokasi dan kegiatan yang mendukung artikelnya.

Sebetulnya bagiku Ais bukan sekadar teman. Sejak pertama mengenalnya, aku sudah jatuh hati padanya. Tapi jujur saja, aku sungkan untuk berterus terang padanya. Aku takut dia menjauh dan akhirnya tidak mau mengenalku.

Aku lebih suka keadaannya seperti saat ini, tanpa status hubungan yang istimewa, tapi aku bisa dekat dengannya kapan pun aku mau. Daripada aku harus menyampaikan perasaanku tapi dia menjauh.

Tapi, sudahlah, saat ini bukan waktunya untuk menceritakan perasaanku pada Ais, karena dia sudah tiba di Stasiun Tugu.

Aku menawarkan diri untuk menjemput dan mengantarnya ke penginapan, tapi Ais menolak. Katanya dia ingin mencoba bus trans, sekalian melihat-lihat suasana Jogja dari atas bus.

"Tapi saya nggak tahu trayek bus. Nanti Ais turunnya di mana?," tanyaku melalui ponsel.

Jawabannya di luar dugaanku. Ternyata selain cantik, baik dan cerdas, cara berpikir Ais sangat simpel. Nalarnya jalan.

Kata Ais, bus apa pun yang ditumpanginya, akan berakhir di terminal. Jadi, meski pun nantinya dia salah trayek, dia akan kembali ke terminal dan mencari trayek yang tepat untuk ke Prawirotaman, tempatnya menginap.

"Kalaupun nanti saya tidak dapat bus yang ke Prawirotaman, saya kan bisa pesan ojek online," ucapnya sambil tertawa.

Aku ikut tertawa. Bukan karena ucapannya yang lucu, tapi aku menertawai diriku sendiri, yang tidak berpikir sampai ke sana.

Sebenarnya penawaranku untuk menjemput, bukan hanya untuk memudahkan Ais, tapi agar aku juga bisa lebih cepat bertemu dengannya. Setidaknya dengan melihat wajah dan senyumannya, rinduku yang terpendam dapat sedikit terobati.

Dengan setengah memaksa, aku kembali memintanya agar mau kujemput. Tapi seperti biasanya, sifat keras kepalanya muncul. Aisah ngotot untuk tetap menumpang bus trans.

Akhirnya aku mengalah, tapi dengan catatan, dia harus memberitahuku jika sudah ada di dalam bus. Setidaknya menginformasikan nomor trayek bus saat bus tiba di shelter. Dia menyanggupinya.

Aku bergegas mengenakan celana panjang dan menghidupkan mesin sepeda motorku, lalu meluncur ke terminal, berharap Aisah akan turun di terminal dan aku memboncengkannya menuju penginapan.

Matahari sore seperti tahu bahwa aku sedang bahagia, sinarnya seolah redup, kalah dengan berbinarnya wajahku. Maklum saja, beberapa kali aku janjian untuk bertemu dengan Ais, tapi selalu batal. Entah karena dia yang sedang sibuk atau aku yang sedang ada kegiatan.

Sambil bersiul dan sesekali berdendang, di atas sepeda motor aku menyusuri aspal. Semua yang kulewati jadi nampak lebih indah. Bahkan lampu lalu lintas terlihat seperti emoji orang tersenyum.

Sekitar setengah jam kemudian, aku sudah tiba di Terminal Giwangan. Satu-satunya terminal bus di kota ini. Beberapa bus Trans Jogja melintas di pintu masuk terminal.

Aku memeriksa ponselku, berharap ada kabar dari Ais. Sepertinya hari ini semesta sedang berpihak kepadaku. Ada pesan dari "La Juma 2", nama kontak Aisah pada ponselku. Aku sengaja memberi nama kontak itu,agar mudah dicari saat aku akan menghubunginya.

"Kak, saya naik Trans Jogja yang nomor 9A. Kalau salah jalan, nanti saya langsung turun di terminal saja. Ini barusan naik di bus," tulisnya dalam pesan.

Jujur saja, aku tidak hafal nomor trayek Bus Trans Jogja, karena selama ini aku tidak pernah menggunakan moda transportasi massal tersebut. Biasanya aku menggunakan jasa ojek online, atau mengendarai sepeda motorku.

Aku mengecek waktu pengiriman pesan dari La Juma 2, di situ tertulis pukul 16.15. Itu berarti sekitar 25 menit yang lalu. Menurut logikaku, paling lama setengah jam ke depan bus itu sudah tiba di terminal ini.

Aku memperhatikan seluruh bus Trans Jogja yang masuk ke terminal, tapi anehnya tidak satu pun bus bernomor trayek 9A yang kutemui.

20 menit berlalu, dan tetap saja tidak satu pun bus dengan nomor trayek itu yang tiba. Aku mulai gelisah. Sepertinya ada yang tidak beres dengan trayek tersebut.

"Pak, Trans Jogja nomor trayek 9A masuk ke sini nggak ya?," tanyaku pada seorang pengemudi bus Trans Jogja yang turun untuk beristirahat.

"9A atau 6A, Mas? Semua trayek lewat terminal, tapi nomor 9A nggak ada," jelasnya.

Aku tidak mengerti maksud ucapannya, dan kembali bertanya pada pria berkacamata itu. "Maksudnya nggak ada gimana ya Pak?," tanyaku tak mengerti.

"Trayek nomor 9A itu nggak ada, Mas. Trayeknya nggak sampai nomor 9. Mungkin Masnya salah lihat," jawabnya lagi, tapi kali ini dengan nada yang sedikit kesal.

Setelah mengucapkan terimakasih, aku kembali ke tempat dudukku di ruang tunggu. Aku mengecek ulang pesan dari Aisah. Tidak ada satu pun pesan baru darinya.

Aku membalas pesannya, bertanya posisinya saat ini. Tapi satu tanda centang terlihat di bagian kanan bawah pesanku. Artinya pesanku belum terkirim padanya. Aku menunggu beberapa detik, berharap pesan itu segera terkirim dan dibaca.

Satu menit berlalu, tanda centang itu tidak bertambah. Aku mencoba berpikir positif, mungkin saja jaringan internet pada ponsel Aisah sedang tidak bagus. Tapi hingga lima menit berlalu, satu tanda centang itu tidak berubah.

Aku mulai waswas, tapi tetap mencoba berpikir positif, berharap bahwa Aisah hanya kehabisan kuota internet atau ponselnya kehabisan daya dan dia tidak membawa power bank.

Jam pada ponselku sudah menunjukkan pukul 17.00, tapi bus yang ditumpangi oleh Ais belum juga muncul, dan pesanku pun belum terkirim.

Sementara, di dalam bus nomor trayek 9A, Ais tertidur. Kepalanya bersandar pada sandaran kursi. Dia tertidur karena saat naik ke atas bus, seluruh penumpangnya sedang tidur.

Ais tidak sadar bahwa bus itu berjalan tidak pada jalanan yang lazim. Bus itu melaju di atas tanah berbatu, di tengah hutan. Pohon-pohon besar di kiri dan kanan bus, seperti berjalan ke belakang. Tapi Ais nyenyak tidur karena kelelahan dalam perjalanan.

Saat dia terbangun, hari sudah senja. Matahari pun entah di mana, karena rimbun dedaunan pohon-pohon hutan hanya memberikan sedikit celah pada sinar mentari untuk mengintip Ais di dalam bus.

Ais tersentak. Dia hanya sendirian di atas bus. Para penumpang yang tidur saat dia naik, sudah tidak ada di tempatnya masing-masing.

Ais memandang ke luar bus, hanya bayangan pepohonan yang nampak. Bulu kuduknya berdiri. Ais merasa sangat ketakutan, lalu berdiri dan melangkah menuju kursi sopir.

Jantungnya mendadak seperti berhenti berdetak, bus itu jalan sendiri. Tidak ada sopir yang mengemudikannya.

"Tolooooong...," teriak Ais sekencang-kencangnya. Tapi tidak seorang pun mendengar teriakannya. Bus itu tetap melaju, mengikuti jalan setapak di tengah hutan. Ais menangis sejadi-jadinya.

Bersambung...