Karjo memasuki area proyek, bersama lima orang anak. Usia anak-anak itu, sekitar enam hingga delapan tahun. Karjo berada di depan, diikuti oleh kelima anak. Wajah anak-anak itu menyiratkan rasa takut.

Karjo segera menghadap pada pimpinan proyek, sesaat setelah dia memasuki area proyek pembangunan jembatan itu.

Hanya dalam hitungan menit, seluruh lampu di area proyek itu dinyalakan. Semua mesin dan peralatan yang ada, pun dinyalakan. Suaranya yang bising, berpadu dengan debu yang beterbangan.

Area proyek yang tadinya sunyi dan gelap, kini terang benderang, meski tak dapat dilihat dari luar, karena tertutup oleh pagar seng di sekeliling area proyek.

Bulan yang hanya separuh, menyaksikan dari kejauhan, saat anak-anak itu digiring ke tempat pemancangan tiang jembatan.

Wajah-wajah mereka yang lugu, tampak mengilap akibat keringat. Salah satu dari mereka menanyakan tempat yang akan dituju. Tapi Karjo dan enam rekannya hanya diam. Wajah Karjo dan teman-temannya terlihat tegang.

Tiang pancang jembatan yang sedang dikerjakan, sudah empat kali dipasang. Tapi, selama empat kali pula, tiang itu roboh tergerus air. Sementara tiang di sebelah utara, sama sekali tidak bisa dipasang, karena area sekitar lokasi tiang, selalu basah oleh air sungai.

Jika tiang pancang itu belum terpasang, maka tidak ada pekerjaan lain yang bisa selesai. Sebab, tiang-tiang itulah yang akan menjadi penyangga badan jembatan.

Beragam upaya telah dilakukan oleh pekerja maupun kontraktor proyek itu, agar jembatan bisa terpasang. Mulai dari memompa air sungai dengan mesin berkapasitas besar, hingga menggunakan tenaga ahli dan alat canggih untuk menanam tiang.

Tapi, semua usaha itu sia-sia. Tiang jembatan tetap tidak bisa terpasang. Sementara, batas waktu pengerjaan semakin mepet.

Bulan lalu, Cahyo, kontraktor proyek pengerjaan jembatan, mendatangi paranormal. Dia sudah putus asa dengan upaya yang dilakukan selama ini, sehingga mencoba upaya yang di luar nalar.

Paranormal itu mengatakan, lokasi pembangunan jembatan itu, merupakan salah satu lokasi keramat. Untuk dapat membangun jembatan, 'penunggu' tempat itu akan meminta tumbal.

Tumbal yang diminta, bukan kepala kerbau, seperti yang selama ini beredar di tengah masyarakat. Tetapi, tumbalnya berupa kepala lima orang anak, yang masing-masing dipasang di lima titik tiang pancang.

Cahyo kemudian menyuruh Karjo untuk mencari lima orang anak. Tapi, dia sengaja menyuruh Tarjo untuk mencari anak-anak dari luar pulau, agar yang mereka lakukan tidak terendus.

Langit malam yang kelam, menjadi saksi perbuatan sadis Karjo dan rekan-rekannya. Mereka masing-masing memegang satu orang anak, kemudian memasukkan pada tiang berdiameter sekitar satu meter. Lalu, mengecornya dengan campuran semen dan pasir.

Mereka sengaja menyalakan semua mesin dan peralatan, agar teriak ketakutan dari anak-anak itu tidak terdengar, tersamarkan oleh deru mesin-mesin berukuran raksasa.

Empat anak yang melihat temannya dimasukkan dalam pipa, kemudian dicor dengan campuran semen, serentak berteriak. Mereka menangis ketakutan, karena tahu, bahwa kejadian itu akan menimpa mereka satu persatu.

Keempatnya berusaha melarikan diri. Tapi, lima orang dewasa lain, sudah mencengkeram bahu anak-anak itu. Mereka dengan kejam menyeret anak-anak tersebut. Satu per satu anak-anak itu dimasukkan ke dalam pipa yang berbeda.

"Ampuuuun, Om. Saya jangan dimasukkan ke dalam situ. Ampuuuun. Apa salah saya?," seorang anak berteriak. Tapi suaranya tenggelam oleh deru mesin.

Anak kelima berusaha memberontak, bahkan saat sebagian tubuhnya sudah masuk dalam pipa. Jemari mungilnya masih menempel pada pinggiran pipa. Dia berusaha merayap naik. Tapi campuran semen dan pasir yang dituang, menghapuskan segala harapannya. Tubuhnya tertimbun oleh semen, menyatu dengan rangka yang ada di dalamnya.

Para pekerja itu sengaja tidak hanya menggunakan kepala anak-anak itu sebagai tumbal, karena mereka yakin, akan kesulitan menyembunyikan tubuh kelima anak.

Ada kejadian mistis setelah anak kelima dimasukkan dalam pipa dan dituangi campuran semen. Langit tiba-tiba memerah. Warnanya seperti percikan darah. Suasana pun mencekam, meski lokasi itu terang benderang.

Air sungai yang tadinya menggenangi area tiang, tiba-tiba menyusut, entah ke mana. Tiang-tiang itu pun secara tiba-tiba berdiri tegak.

Karjo dan keenam rekannya merinding melihat hal itu. Terlebih, tiba-tiba aroma wangi menyelimuti lokasi itu, dibarengi dengan munculnya sosok wanita cantik di antara kelima pipa tiang jembatan.

Rambutnya panjang terurai, mengenakan gaun berwarna kuning. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya memandangi Karjo dan teman-temannya satu persatu. Kemudian menghilang.

Karjo segera meminta pada teman-temannya, untuk melanjutkan pengecoran dan pemasangan tiang, agar keesokan harinya mereka bisa melakukan pekerjaan lain.

Para pekerja, kembali beraktivitas, melakukan pengecoran hingga hampir dini hari. Sebagian mereka tidak mengetahui kejadian tadi. Mereka hanya tahu, bahwa tiang sudah bisa dipasang.

Hanya beberapa belas pekan sejak kejadian malam itu, jembatan sudah terbangun, meski belum bisa dilalui oleh kendaraan. Pengerjaan sudah hampir memasuki proses finishing.

Tapi, Karjo selalu merasa ngeri dan bersalah setiap kali dia melihat calon jembatan itu. Di pelupuk matanya, terbayang tangis kelima anak kecil yang dijadikannya sebagai tumbal. Tangis mereka yang bercampur deru mesin, seolah mendengung di telinganya.

Bahkan, beberapa kali Karjo melihat  anak-anak kecil yang bermain di lokasi itu, sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya. Kejadian itu seolah nyata.

Anak-anak kecil yang bermain di tempat itu, masih sering terlihat saat jembatan tersebut sudah bisa difungsikan. Beberapa orang yang sempat melihat mereka, mengatakan, anak-anak itu tak jarang membonceng pengendara sepeda motor atau menumpang mobil.

Namun, setiap kali ada orang yang melihat anak-anak itu, bisa dipastikan, akan ada kecelakaan di tempat itu, dan korbannya tidak pernah ada yang hidup. Anehnya lagi, seluruh korban kecelakaan adalah orang dewasa. Kalau pun ada anak kecil yang bersama mereka, si anak dipastikan selamat tanpa lecet.

Menurut beberapa paranormal yang pernah didatangi oleh warga setempat, kecelakaan yang terjadi di lokasi itu, disebabkan oleh anak-anak yang dulunya dijadikan tumbal pembangunan. Mereka membalas dendam pada pengguna jalan, khususnya orang dewasa.